Revolusi yang Dikhianati

Leon Trotsky (1936)


Bab III. Sosialisme dan Negara

 

1. Rejim transisional

Apakah benar, sebagaimana yang dinyatakan oleh pihak otoritas, bahwa sosialisme telah diwujudkan di Uni Soviet? Dan, jika tidak, apakah kesuksesan yang tercapai setidaknya telah memastikan terwujudnya sosialisme dalam batas-batas nasional, tanpa mempedulikan jalannya peristiwa di seluruh dunia? Penilaian kritis yang sebelumnya atas indeks utama perekonomian soviet dapat memberi kita satu titik pijak untuk memberi jawaban yang tepat atas pertanyaan itu, tetapi kita akan membutuhkan juga beberapa titik rujuk teoritik sebagai pemandu.

Marxisme berangkat dari perkembangan teknik sebagai tenaga pendorong kemajuan yang utama, dan menyusun program komunis berdasarkan dinamika kekuatan produktif. Jika Anda membayangkan suatu bencana kosmik akan menghancurkan planet kita dalam waktu dekat ini maka Anda akan, tentu saja, menolak perspektif komunis dan banyak hal-hal lainnya. Walaupun begitu, kecuali masalah bahaya yang problematik ini, tidak ada landasan ilmiah apapun untuk menempatkan batasan bagi kemajuan yang dapat dicapai dalam produktivitas teknik dan kemungkinan perkembangan budaya. Marxisme disesaki dengan optimisme akan kemajuan, dan itu saja telah membuatnya berposisi tidak terdamaikan dengan agama.

Premis material dari komunisme adalah begitu tingginya perkembangan kekuatan ekonomi manusia sehingga tenaga kerja produktif, setelah tidak lagi menjadi beban, tidak akan lagi membutuhkan pecut di punggungnya, dan distribusi barang kebutuhan hidup, yang senantiasa berada dalam keadaan berkelimpahan, tidak perlu dikendalikan – sebagaimana yang terjadi saat ini di tengah keluarga berada dan asrama-asrama “beradab” – kecuali kendali dari pendidikan, kebiasaan dan pendapat publik. Terus terang saja, saya pikir sungguh bebal jika memandang perspektif yang terlalu moderat ini sebagai satu hal yang “utopis”.

Kapitalisme menyiapkan kondisi dan kekuatan untuk sebuah revolusi sosial: teknik, ilmu pengetahuan, dan proletariat itu sendiri. Walau demikian, struktur komunis tidak dapat begitu saja menggantikan masyarakat borjuis. Warisan material dan budaya dari masa lalu tidaklah cukup untuk keperluan itu. Dalam langkah-langkah pertamanya, negara kelas pekerja belumlah dapat mengijinkan semua orang untuk dapat bekerja “menurut kemampuannya sendiri” – yakni, sebanyak yang dapat dan ingin dilakukannya – negara pekerja juga belum dapat menganugerahi setiap orang “sesuai dengan kebutuhannya masing-masing” tidak peduli berapa banyak kerja yang dilakukannya. Demi meningkatkan kekuatan produktif, perlulah mengandalkan norma kerja upahan – yakni distribusi barang kebutuhan hidup sesuai dengan kuantitas dan kualitas kerja masing-masing individu.

Marx menamai tahap pertama dari masyarakat baru ini sebagai “tahapan terendah dari komunisme”, untuk membedakannya dari yang tertinggi, di mana ketidakadilan dalam hal materi akan menguap bersamaan dengan hantu-hantu kemelaratan. Dalam hal ini, sosialisme dan komunisme seringkali dikontraskan sebagai tahapan yang lebih rendah dan yang lebih tinggi dari masyarakat yang baru itu. “Tentu saja kita belum mencapai komunisme yang sempurna,” demikian tulis doktrin resmi Soviet saat ini, “tetapi kita telah mencapai sosialisme – yakni, tahapan terendah dari komunisme.” Sebagai buktinya, mereka mengajukan bukti adanya dominasi perusahaan negara dalam sektor industri, pertanian kolektif dalam sektor pertanian, perusahaan negara dan koperasi dalam sektor komersial. Sekilas, ini berkorespondensi dengan skema Marx yang a priori – dan, dengan demikian, hipotetis. Tetapi kaum Marxis justru dituntut untuk tidak berhenti pada persoalan bentuk-bentuk kepemilikan tanpa mempedulikan produktivitas yang dicapai oleh tenaga kerja. Dengan istilah komunisme tahap rendah Marx merujuk pada sebuah masyarakat yang sejak awal memiliki perkembangan ekonomi yang jelas-jelas lebih tinggi dari kapitalisme yang termaju sekalipun. Secara teoritik, konsepsi ini tidak mengandung kesalahan apapun, karena jika dilaksanakan dalam sebuah komunisme skala dunia, sekalipun tahapannya masih sangat rendah, tingkat perkembangannya akan lebih tinggi daripada yang pernah dicapai masyarakat borjuis. Di samping itu, Marx mengharapkan bahwa rakyat Perancislah yang akan mengawali revolusi sosial itu, rakyat Jerman meneruskannya, dan rakyat Inggris menyelesaikannya; dan, mengenai Rusia, Marx menganggapnya ada jauh di belakang. Tetapi urutan konseptual ini dikacaukan oleh kenyataan. Siapapun yang kini mencoba menerapkan konsepsi historis universal Marx secara mekanik pada kasus Uni Soviet yang unik pada tahapan perkembangannya yang sekarang, akan langsung terjerembab ke dalam kontradiksi yang sama sekali buntu.

Rusia bukanlah mata rantai terkuat dari kapitalisme, melainkan yang terlemah. Uni Soviet hari ini tidaklah berada di atas level perekonomian dunia, tetapi sekedar berusaha mengejar ketertinggalannya dari negeri-negeri kapitalis. Jika Marx menyebut masyarakat yang akan dibangun berdasarkan kepemilikan sosial atas kekuatan produktif yang dimiliki kapitalisme termaju di eposnya, yakni tahapan terendah dari komunisme, maka rujukan ini jelas tidak dapat diterapkan pada Uni Soviet, yang saat ini masih dianggap ketinggalan dalam hal teknik, budaya dan kenyamanan hidup dari negeri-negeri kapitalis. Lebih tepat menyebut rejim Soviet hari ini, dengan semua kontradiksinya, bukan sebagai sebuah rejim sosialis, melainkan sebuah rejim persiapan transisional dari kapitalisme menuju sosialisme.

Tidak ada satu jentikpun kesombongan intelektual dalam upaya mencapai pengistilahan yang tepat. Kekuatan dan kestabilan sebuah rejim ditentukan dalam jangka panjang oleh produktivitas tenaga kerjanya secara relatif. Sebuah perekonomian sosialis yang memiliki teknologi yang jauh lebih unggul daripada yang dimiliki oleh kapitalisme akan sungguh terjamin dalam perkembangan sosialisnya – bisa dibilang secara otomatis – satu hal yang sayangnya masih mustahil jika kita tinjau perekonomian Soviet.

Mayoritas para pembela Uni Soviet cenderung beralasan kira-kira demikian: Sekalipun Anda mengakui bahwa rejim Soviet yang sekarang belumlah sosialistik, perkembangan kekuatan produktif selanjutnya yang berdasarkan pondasi yang sekarang ada, cepat atau lambat, akan membawa kita pada kemenangan sosialisme. Maka, hanya faktor waktu yang tidak pasti. Dan, mestikah kita bercek-cok mengenainya? Betapapun gemilangnya argumen ini bila dilihat sekilas, argumen ini sangatlah superfisial. Waktu sama sekali bukan sebuah faktor sekunder jika kita sedang mempermasalahkan satu proses sejarah. Jauh lebih berbahaya jika kita merancukan masa depan dan masa kini dalam politik. Evolusi sama sekali bukan seperti yang dibayangkan oleh para evolusionis vulgar semacam Webb, yakni sebuah akumulasi dan “perbaikan” terus-menerus yang stabil. Di dalam evolusi terdapat peralihan dari kuantitas menjadi kualitas, krisis-krisis, lompatan-lompatan ke depan maupun ke belakang. Justru karena Uni Soviet masih jauh dari pencapaian tahapan pertama sosialisme, sebagai sebuah sistem produksi dan distribusi yang berimbang, maka perkembangannya tidak berjalan secara damai-tenteram melainkan dengan kontradiksi-kontradiksi. Kontradiksi ekonomi menghasilkan antagonisme sosial, yang pada gilirannya mengembangkan logikanya sendiri, tidak menunggu lagi perkembangan kekuatan produktif selanjutnya. Kita telah melihat betapa benarnya hal ini dalam kasus kulak yang tidak ingin “tumbuh” secara evolusioner ke dalam sosialisme dan yang, mengejutkan bagi birokrasi dan para ideolognya, menuntut satu revolusi baru sebagai pelengkap revolusi sebelumnya. Apakah birokrasi itu sendiri, sebagai pemegang kekuasaan dan kekayaan, ingin tumbuh dengan damai ke dalam sosialisme? Tentang ini, kita tentu boleh meragukannya. Biar bagaimanapun, jelas kita harus waspada dan tidak menerima begitu saja pernyataan-pernyataan dari birokrasi. Pada saat ini, mustahil memberi jawaban yang pasti mengenai arah perkembangan kontradiksi ekonomi dan antagonisme sosial dalam masyarakat Soviet dalam tiga, lima atau sepuluh tahun mendatang. Hasilnya akan ditentukan oleh pertarungan antar kekuatan sosial yang hidup – bukan hanya dalam skala nasional tetapi juga dalam skala internasional. Pada tiap tahapan baru, diperlukan satu analisa kongkrit mengenai relasi-relasi dan tendensi-tendensi aktual dalam hubungan dan interaksinya yang berkesinambungan. Kita kini akan melihat pentingnya analisa semacam ini dalam masalah Negara.

2. Program dan Realitas

Lenin, mengikuti Marx dan Engels, melihat bahwa keunikan dari revolusi proletariat terletak pada fakta bahwa, setelah berhasil menggulingkan para penindas, ia akan menghapus aparatus birokratik yang berdiri di atas seluruh masyarakat – dan di atas segalanya, menghapus angkatan polisi atau tentara reguler. “Proletariat membutuhkan sebuah Negara – inilah yang dikatakan oleh para oportunis,” tulis Lenin di tahun 1917, dua bulan sebelum pengambilalihan kekuasaan, “tetapi mereka, kaum oportunis, lupa menambahkan bahwa kaum proletar hanya membutuhkan sebuah Negara yang melayu – yakni, sebuah Negara yang dibangun dalam cara sedemikian rupa sehingga dengan segera Negara itu mulai pupus dan tidak terhindarkan lagi akan pupus.” (Negara dan Revolusi) Kritik ini diarahkan pada waktu itu untuk melawan kaum sosialis reformis seperti jenis-jenis Menshevik Rusia, Fabian Inggris, dll. Kini tulisan Lenin itu menyerang dengan kekuatan berlipat para pemuja Soviet dengan kultus negara birokratis mereka yang sama sekali tidak punya niat untuk “pupus”.

Tuntutan sosial bagi sebuah birokrasi tumbuh dalam sebuah situasi sosial di mana antagonisme yang tajam harus “dilunakkan”, “disesuaikan”, “diregulasi” (selalu menurut kepentingan kaum teristimewakan, kaum berpunya, dan selalu menguntungkan birokrasi itu sendiri). Dalam seluruh revolusi borjuis, tidak peduli betapapun demokratiknya, telah terjadi sebuah penguatan dan penyempurnaan dari aparatus birokratik. “Jajaran pejabat dan tentara reguler,” tulis Lenin, “itulah sebuah ‘parasit’ di tubuh masyarakat borjuis, sebuah parasit yang tumbuh dari kontradiksi internal yang membelah masyarakat ini, namun tidak lain hanyalah sebuah parasit yang menyumbat pori-pori kehidupan.”

Mulai di tahun 1917 – yakni, dari saat di mana pengambilalihan kekuasaan merupakan masalah praktis yang dihadapi partai – Lenin terus-menerus dipenuhi dengan pikiran untuk melikuidasi “parasit” itu. Setelah penggulingan kelas penindas – dia mengulangi dan menjelaskan di dalam tiap bab buku Negara dan Revolusi – bahwa  proletariat akan menghancurkan mesin birokrasi yang lama dan menciptakan aparatusnya sendiri, yang terdiri dari karyawan dan buruh. Dan mereka akan mengambil langkah-langkah yang akan mencegah diri mereka berubah menjadi birokrat – “langkah-langkah yang telah ditelaah secara rinci oleh Marx dan Engels: (1) bukan hanya pemilihan namun juga kemungkinan recall setiap saat; (2) gaji yang tidak lebih tinggi dari gaji seorang buruh biasa; (3) transisi segera menuju sebuah rejim di mana semua orang akan memenuhi fungsi kendali dan pengawasan sehingga semua orang dapat berfungsi sebagai ‘birokrat’ sewaktu-waktu, dan dengan demikian tidak seorangpun akan menjadi birokrat sepenuhnya.” Janganlah berpikir bahwa Lenin tengah berbicara tentang masalah yang harus dipecahkan sepuluh tahun ke depan. Tidak, inilah langkah pertama yang “kita seharusnya dan memang harus memulai segera setelah mencapai sebuah revolusi proletariat.”

Pandangan berani yang sama mengenai Negara di dalam sebuah kediktatoran proletariat mendapatkan pengejawantahan paripurnanya setahun setengah setelah direbutnya kekuasaan dalam program partai Bolshevik, termasuk bagian tentang angkatan bersenjata. Sebuah negara yang kuat, tetapi tanpa para mandarin [para pejabat tinggi – Editor]; kekuatan bersenjata, tetapi tanpa kaum Samurai! Bukan tugas mempertahankan negeri yang menghasilkan sebuah kekuatan militer dan birokrasi, tetapi struktur kelas masyarakat yang meresap ke dalam pengorganisasian pertahanan. Angkatan bersenjata hanyalah sebuah salinan dari hubungan sosial. Perjuangan melawan bahaya dari luar tentu saja mengharuskan negara kelas pekerja, sebagaimana di negeri lainnya, membangun sebuah organisasi militer yang secara teknis terspesialisasi, tetapi tidak perlu menghasilkan sebuah kasta perwira yang teristimewakan. Program partai menuntut adanya penggantian tentara reguler dengan rakyat yang dipersejatai.

Rejim kediktatoran proletariat, dengan begitu, dari awal berdirinya telah berhenti menjadi “Negara” dalam makna lama – sebuah aparatus khusus yang memegang kekuasaan atas mayoritas rakyat. Kekuatan material, bersama dengan persenjataan, berpindah tangan langsung dan segera pada organisasi rakyat pekerja seperti soviet. Negara sebagai aparatus birokratik mulai pupus di hari pertama berdirinya kediktatoran proletar. Demikianlah suara program partai – yang belum dianulir sampai hari ini. Aneh: ini terdengar bak suara menggaung dari hantu yang bergentayangan dari makam Lenin.

Bagaimanapun Anda hendak mengartikan watak Negara Soviet yang sekarang, satu hal jelas mencolok mata: pada akhir dekade kedua masa hidupnya, Negara ini tidak hanya belum pupus, ia bahkan belum mulai “pupus”. Yang lebih parah lagi, ia telah berubah menjadi sebuah aparatus pemaksa yang belum pernah ada sebelumnya dalam sejarah. Birokrasi bukan saja tidak menghilang, menyerahkan kursinya kepada rakyat, tetapi telah berubah menjadi sebuah kekuatan tak terkendali yang mendominasi rakyat. Angkatan bersenjata bukan saja belum digantikan oleh rakyat bersenjata, tetapi telah melahirkan sebuah kasta perwira yang teristimewakan, yang dimahkotai dengan pangkat marsekal, sementara rakyat, “pemanggul senjata dari kediktatoran” bahkan kini dilarang untuk membawa senjata non-eksplosif di Uni Soviet. Sekalipun kita berusaha memulurkan jangkauan imajinasi kita, kita tidak dapat membayangkan adanya hal yang lebih kontras antara skema Negara kelas pekerja yang dibayangkan oleh Marx, Engels dan Lenin, dengan Negara yang secara nyata kini dipimpin oleh Stalin. Sementara dia terus menerbitkan karya-karya Lenin (pastinya dengan catatan-catatan dan penyimpangan yang dilakukan badan sensor), para pemimpin Uni Soviet sekarang ini, dan para perwakilan ideologinya, sama sekali tidak angkat bicara tentang penyebab adanya jurang perbedaan yang begitu besar antara program dan kenyataan. Kita akan mencoba melakukannya untuk mereka.

3. Karakter Ganda Negara Kelas Pekerja

Kediktatoran proletar hanyalah sebuah jembatan antara masyarakat borjuis dan sosialis. Dengan demikian, pada hakikatnya yang terdalam, wataknya adalah sementara. Sebuah tugas yang insidental namun juga sangat penting dari sebuah Negara yang merupakan pengejawantahan kediktatoran proletariat adalah menyiapkan pembubaran dirinya sendiri. Derajat pemenuhan tugas “insidental” ini, pada tahap tertentu, merupakan ukuran dari keberhasilan pemenuhan misi fundamentalnya: pembangunan sebuah masyarakat tanpa kelas dan tanpa kontradiksi material. Birokrasi dan harmoni sosial merupakan dua hal yang saling berkebalikan satu sama lain.

Dalam polemiknya yang terkenal melawan Duhring, Engels menulis: “Ketika, bersama-sama dengan dominasi kelas dan perjuangan untuk penghidupan pribadi yang dihasilkan oleh anarki produksi seperti sekarang ini, konflik-konflik dan ekses-ekses yang dihasilkan oleh pertarungan ini lenyap, dari sejak itu tidak akan ada lagi hal yang harus direpresi, dan tidak akan ada keperluan untuk hadirnya sebuah alat represi yang khusus, Negara.” Orang-orang bodoh menganggap angkatan bersenjata sebagai sebuah lembaga yang abadi. Dalam realitasnya, angkatan bersenjata hanya akan mengekang manusia sampai pada saat manusia menguasai alam. Agar Negara kelak melenyap, “dominasi kelas dan pertarungan untuk penghidupan pribadi” haruslah juga lenyap. Engels menyatukan kedua kondisi ini, karena dalam perspektif perubahan rejim sosial, beberapa dekade sama sekali bukanlah waktu yang panjang. Tetapi segalanya akan nampak berbeda bagi generasi yang memanggul beban sebuah revolusi. Benar bahwa anarki kapitalis menghasilkan pertarungan satu orang melawan sesamanya, namun masalahnya, sosialisasi alat-alat produksi belumlah secara otomatis menyingkirkan “perjuangan untuk penghidupan pribadi.” Inilah inti masalahnya!

Sebuah negara sosialis, bahkan jika terjadi di Amerika sekalipun, berdasarkan kapitalisme yang termaju, tidaklah dapat dengan begitu saja memasok tiap orang dengan apapun yang dibutuhkannya, dan dengan demikian akan terpaksa mendorong tiap orang untuk menghasilkan sebanyak mungkin yang disanggupinya. Tugas menjadi perangsang dalam kondisi ini jelas jatuh pada Negara, yang pada gilirannya tidak dapat menghindar, dengan berbagai perubahan dan penyesuaian, dari metode kerja upahan yang dibentuk oleh kapitalisme. Dalam makna inilah Marx menulis di tahun 1875: “Hukum borjuis ... tidaklah terhindarkan dalam tahap pertama masyarakat komunis, dalam bentuk yang ia keluarkan setelah kelahiran yang penuh penderitaan dari masyarakat kapitalis. Hukum tidak bisa berdiri lebih tinggi dari struktur ekonomi dan perkembangan budaya masyarakat yang dikondisikan oleh struktur tersebut.”

Dalam penjelasannya terhadap kalimat-kalimat menakjubkan ini, Lenin menambahkan: “Hukum borjuis, dalam hubungannya dengan distribusi objek konsumsi, tentu saja mengambil bentuk Negara borjuis, karena hukum bukanlah apa-apa tanpa sebuah aparatus yang sanggup memaksakan ketundukan pada norma-normanya. Akibatnya (kita masih mengutip Lenin) di bawah Komunisme bukan hanya hukum borjuis akan bertahan untuk beberapa waktu, tetapi juga Negara borjuis itu akan bertahan, walau tanpa kaum borjuis!” Kesimpulan yang teramat penting ini, yang diabaikan oleh teoritisi resmi saat ini, memiliki makna yang menentukan bagi pemahaman atas watak Negara Soviet – atau  lebih tepatnya, bagi pendekatan pertama atas pemahaman tersebut. Sejauh Negara yang memanggul tugas untuk peralihan ke arah sosialisme dipaksa mempertahankan ketidakadilan – yakni hak istimewa atas materi bagi sebuah minoritas – dengan metode pemaksaan, sejauh itulah Negara tetap merupakan sebuah Negara “borjuis”, sekalipun tanpa kaum borjuasi. Kata-kata ini tidak mengandung pujian maupun kutukan; yang ada hanyalah menyebut sesuatu dengan nama yang sebenarnya.

Norma distribusi borjuis, dengan mempercepat pertumbuhan kekuatan material, seharusnya melayani tujuan-tujuan sosialis – tetapi hanya dalam analisa terakhir. Negara langsung memiliki, dan juga sejak awalnya, sebuah karakter ganda: sosialistik, dalam arti ia mempertahankan kepemilikan sosial atas alat-alat produksi; borjuis, dalam arti distribusi barang kebutuhan hidup dijalankan dengan ukuran nilai kapitalistik dan semua konsekuensi yang muncul daripadanya. Karakter kontradiktif seperti ini mungkin akan menggentarkan kaum dogmatis dan skolastik; kita hanya dapat menyampaikan rasa duka cita untuk orang-orang ini.

Bentuk akhir dari Negara kelas pekerja seharusnya ditentukan oleh perubahan relasi antara kecenderungan borjuis dan sosialisnya. Kemenangan kecenderungan sosialis seharusnya, secara ipso facto, memastikan penghancuran akhir atas angkatan bersenjata – yakni, pembubaran Negara di dalam sebuah masyarakat yang mampu memimpin dirinya sendiri. Dari sini saja cukup jelas betapa pentingnya masalah birokratisme Soviet, baik sebagai sebuah lembaga maupun sebagai sebuah sistem!

Itu karena Lenin, sesuai dengan keseluruhan temperamen intelektualnya, memberi sebuah ekspresi yang sangat tajam terhadap konsepsi Marx, sehingga dia mengungkapkan sumber dari kesulitan yang kelak muncul di masa depan, bahkan dari dirinya sendiri, sekalipun dia sendiri tidak berhasil mengusung analisanya sampai pemenuhannya. “Sebuah Negara borjuis tanpa borjuasi” ternyata terbukti tidak konsisten dengan demokrasi Soviet yang sejati. Fungsi ganda dari Negara tidak bisa tidak mempengaruhi strukturnya. Pengalaman menunjukkan apa yang gagal diramalkan dengan jelas oleh teori. Jika untuk mempertahankan kepemilikan sosial dalam menghadapi kontrarevolusi borjuis sebuah “negara buruh bersenjata” telah mencukupi, persoalannya sungguh berbeda ketika kita akan meregulasi ketidakadilan dalam ranah konsumsi. Mereka yang tidak memiliki properti tidak akan berkeinginan membangun dan mempertahankannya. Mayoritas tidak dapat membuang waktu mereka untuk memikirkan keistimewaan yang dimiliki minoritas. Untuk mempertahankan “hukum borjuis”, Negara kelas pekerja dipaksa menciptakan sebuah instrumen yang bersifat “borjuis” – yakni, angkatan bersenjata model lama, sekalipun dalam seragam yang berbeda.

Dengan begitu kita telah mengambil langkah pertama ke arah pemahaman atas kontradiksi fundamental antara program Bolshevik dan realitas Soviet. Jika Negara tidak pupus, tetapi tumbuh semakin despotik, jika badan pemegang kekuasaan kelas pekerja menjadi terbirokratisasi dan birokrasi ini mengangkat dirinya di atas masyarakat, ini bukan karena alasan-alasan sekunder seperti sisa-sisa psikologi masa lalu, dll., melainkan sebagai hasil dari keniscayaan yang kuat untuk melahirkan dan mendukung sebuah minoritas yang teristimewakan selama masih mustahil menjamin tercapainya keadilan yang hakiki.

Tendensi birokratisme, yang mencekik pergerakan kaum pekerja di negeri-negeri kapitalis, di mana-mana akan menunjukkan taringnya bahkan setelah sebuah revolusi proletariat. Tetapi jelas bahwa semakin miskin masyarakat yang lahir dari sebuah revolusi, akan semakin tegas dan telanjanglah perwujudan “hukum” ini, semakin kasarlah bentuk yang diambil oleh birokratisme, dan semakin berbahayalah kecenderungan ini bagi sebuah perkembangan sosialis. Negara Soviet bukan saja dicegah dari kepupusannya, tetapi juga dari pembebasan dirinya dari benalu birokrasi, bukan oleh “sisa-sisa” kelas penguasa sebelumnya, sebagaimana dinyatakan oleh doktrin militeristik Stalin, karena sisa-sisa itu sudah tidak punya kekuatan apapun. Pencegahan ini terjadi karena faktor-faktor lain yang jauh lebih digdaya, seperti kekurangan material, keterbelakangan budaya dan munculnya dominasi “hukum borjuis” di bidang yang paling langsung dan tajam menyentuh tiap manusia, yakni bagaimana menjamin kelangsungan hidupnya.

4. “Kemiskinan Umum” dan Angkatan Bersenjata

Dua tahun sebelum Manifesto Komunis, Marx muda menulis: “Sebuah perkembangan kekuatan produktif adalah premis praktis yang mutlak diperlukan [dari Komunisme], karena tanpanya kemiskinan akan menjadi umum, dan bersama dengan kemiskinan maka perjuangan untuk mendapatkan kebutuhan hidup akan dimulai lagi, dan itu berarti semua sampah yang lama akan bangkit kembali.” Pemikiran ini tidak pernah dikembangkan langsung oleh Marx, dan bukan pula satu hal yang disengaja: dia tidak pernah mengira sebuah revolusi proletariat akan terjadi di sebuah negeri terbelakang. Lenin juga tidak pernah berlama-lama memikirkan hal ini. Dia tidak mengira keterisolasian negara Soviet akan berlangsung begitu lamanya. Namun begitu, kutipan itu, yang hanya sebuah konstruksi abstrak yang dibuat Marx, sebuah kesimpulan dari keadaan yang sebaliknya, memberi kita sebuah kunci teoritik maha penting untuk kesulitan-kesulitan dan penyakit-penyakit kongkrit yang dihadapi rejim Soviet. Di atas basis kemiskinan yang historis, yang diperkuat oleh penghancuran oleh kaum imperialis dan perang sipil, “perjuangan untuk mendapatkan kebutuhan hidup” bukan hanya tidak menghilang pada hari setelah penggulingan kelas borjuis, dan bukan hanya tidak mereda di tahun-tahun berikutnya tetapi, sebaliknya, sesekali waktu mengambil bentuk yang sangat bengis yang tidak pernah terdengar sebelumnya. Apakah kita harus mengingat kembali bahwa di satu wilayah di negeri telah dua kali terjadi kasus kanibalisme?

Jarak yang memisahkan kekaisaran Rusia dari negeri-negeri Barat hanya dapat dihargai sekarang. Dalam kondisi paling menguntungkan – yakni, di kala tiada gangguan internal maupun bencana eksternal – akan dibutuhkan beberapa rencana lima tahun sebelum Uni Soviet dapat sepenuhnya menyerap pencapaian ekonomi dan pendidikan, satu hal yang menghabiskan waktu berabad-abad di negeri-negeri yang mempelopori kapitalisme. Penerapan metode sosialis sebagai solusi atas masalah-masalah pra-sosialis – inilah hakikat dari kerja ekonomi dan budaya di Uni Soviet hari ini.

Uni Soviet, pastinya, sekarang ini bahkan telah melampaui kekuatan produktif yang dicapai oleh negeri termaju di masa Marx hidup. Tetapi, pertama-tama, dalam sejarah pertentangan antara kedua rejim, persoalannya bukan hanya menyangkut yang mutlak namun juga yang relatif: perekonomian Soviet melawan kapitalismenya Hitler, Baldwin[1] dan Roosevelt[2], bukan Bismarck[3], Palmerston[4] atau Abraham Lincoln[5]. Kedua, cakupan tuntutan kebutuhan hidup manusia berubah sejalan dengan pertumbuhan teknologi dunia. Rekan-rekan sejawat Marx tidak mengenal mobil, radio, film, pesawat terbang. Tidak terbayangkan sebuah masyarakat sosialis tanpa kemungkinan menikmati secara bebas semua hal tersebut.

“Tahapan Komunisme terendah”, sebagaimana istilah yang dipakai Marx, dimulai pada tingkatan yang kini hampir dicapai oleh negeri-negeri kapitalis termaju. Program sejati dari rencana lima tahun Soviet mendatang, walau demikian, adalah untuk “mengejar Eropa dan Amerika.” Pembangunan jaringan transportasi dan jalan raya beraspal di seluruh wilayah Uni Soviet yang maha luas akan membutuhkan waktu yang jauh lebih lama dan materi yang jauh lebih banyak daripada sekedar menancapkan pabrik-pabrik mobil dari Amerika, atau bahkan untuk menyerap teknik mereka. Berapa tahun yang dibutuhkan untuk memungkinkan tiap warga Soviet mengemudikan mobil ke segala arah yang mereka inginkan, mengisi tangki bensinnya tanpa kesulitan di perjalanan? Dalam masyarakat barbar, penunggang kuda dan pejalan kaki adalah dua kelas yang berbeda. Mobil membelah masyarakat layaknya sadel kuda. Selama sebuah mobil “Ford” yang sederhana masih merupakan keistimewaan bagi minoritas, semua hubungan dan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat borjuis akan terus bertahan. Dan bersama itu, sang penjaga ketidakadilan, Negara, juga akan bertahan.

Dengan mendasarkan diri sepenuhnya pada teori Marxis tentang kediktatoran proletariat, Lenin tidak berhasil, sebagaimana telah kami katakan, baik dalam karya besarnya yang diabdikan pada masalah ini (Negara dan Revolusi) maupun dalam program partai, dalam menarik semua kesimpulan yang diperlukan tentang watak Negara dari keterbelakangan dan keterisolasian negeri. Untuk menjelaskan bangkit kembalinya birokratisme sebagai akibat tidak akrabnya massa dengan administrasi dan karena kesulitan-kesulitan khusus sebagai akibat perang, program partai hanya meresepkan langkah-langkah politik untuk mengatasi “distorsi birokratik”: pemilihan dan recall pejabat pada setiap saat, penghapusan keistimewaan material, kontrol aktif dari massa, dll. Diasumsikan bahwa sejalan dengan ini kaum birokrat, dari posisi bos, akan berubah menjadi sekedar agen teknis sementara, dan Negara perlahan-lahan dan secara bertahap akan menghilang dari panggung.

Peremehan yang mencolok atas kesukaran yang menjelang ini dijelaskan oleh fakta bahwa program itu didasarkan sepenuhnya pada sebuah perspektif internasional. “Revolusi Oktober di Rusia telah mewujudkan kediktatoran proletariat ... Era revolusi komunis proletarian dunia telah dimulai.” Inilah kata-kata pengantar program tersebut. Penulisnya bukan hanya tidak menempatkan diri mereka pada tujuan mendirikan “sosialisme di satu negeri” – gagasan ini belum masuk ke dalam kepala semua orang saat itu, malah terutama bukan di kepala Stalin – tetapi mereka juga tidak menyentuh pertanyaan mengenai apa karakter yang akan disandang Negara Soviet jika ia terpaksa selama dua dasawarsa memecahkan dalam keadaan terisolasi masalah-masalah ekonomi dan budaya yang telah dipecahkan oleh kapitalisme maju bertahun-tahun yang lampau.

Krisis revolusioner pasca perang tidaklah membawa kita pada kemenangan sosialisme di Eropa. Kaum Sosial Demokrat menyelamatkan kaum borjuasi. Periode ini, yang oleh Lenin dan rekan sejawatnya dilihat sebagai “kesempatan untuk sejenak menarik napas”, ternyata terentang sampai menjadi sebuah epos historis tersendiri. Struktur sosial Uni Soviet yang kontradiktif, dan karakter Negaranya yang ultra-birokratis, merupakan konsekuensi langsung dari jeda sejarah yang unik dan “tak teramalkan sebelumnya” ini, yang pada saat yang sama krisis ini membawa negeri-negeri kapitalis pada fasisme atau reaksi-reaksi pra-fasis.

Sementara upaya pertama mendirikan sebuah Negara yang bersih dari birokratisme ternyata hancur berantakan, terutama karena tidak akrabnya massa dengan pemerintahan swa-kelola, kurangnya anggota kelas buruh yang berbakti pada sosialisme, dll., dengan segera nampak bahwa di belakang masalah mendesak ini ada masalah lain yang lebih mendasar. Penggerusan Negara menjadi sekedar pelaksana fungsi “akuntansi dan kendali”, dengan semakin dipangkasnya fungsi-fungsi pemaksaan, seperti yang diamanatkan oleh program partai, mengasumsikan sebuah kondisi yang relatif berkecukupan secara umum. Justru syarat yang diperlukan inilah yang tidak ada. Tidak ada bantuan datang dari negeri-negeri Barat. Kekuatan Soviet-soviet yang demokratik mengalami kram, bahkan tak tertahankan pedihnya, ketika tugas saat ini adalah mengakomodasi kelompok istimewa yang kehadirannya diperlukan untuk mempertahankan diri, untuk industri, untuk teknik dan ilmu pengetahuan. Dalam apa yang jelas-jelas bukan sebuah operasi yang “sosialistik” ini, mengambil dari sepuluh orang dan memberikannya pada satu orang, kelompok istimewa ini menjadi terkristalisasi dan tumbuh menjadi satu kasta penguasa yang mengkhususkan diri dalam bidang distribusi.

Bagaimana dan mengapa keberhasilan ekonomi luar biasa di masa sekarang tidak juga membawa pengurangan, namun sebaliknya penajaman, kesenjangan dan, pada saat bersamaan, terus bertumbuhnya birokratisme, sehingga dari sebuah “penyimpangan” kini telah menjadi sebuah sistem administrasi? Sebelum mencoba menjawab persoalan ini, mari kita dengar bagaimana para pimpinan birokrasi Soviet yang berwenang  memandang rejim mereka sendiri.

4. “Kemenangan Mutlak Sosialisme” dan “Penguatan Kediktatoran”

Telah ada beberapa pengumuman dalam tahun-tahun terakhir ini selama “kemenangan mutlak” sosialisme di Uni Soviet – dengan mengambil bentuk yang sangat kategorikal dalam kaitannya dengan “penghapusan kulak sebagai sebuah kelas.” Pada tanggal 30 Januari 1931, Pravda, dalam tafsirnya atas salah satu pidato Stalin, menulis: “Selama masa lima-tahun yang kedua, sisa-sisa terakhir unsur kapitalis dalam perekonomian kita akan dihapuskan” (cetak miring dari kami). Dari sudut pandang perspektif ini, kesimpulannya adalah Negara akan memudar dalam periode yang sama, karena setelah “sisa-sisa terakhir” kapitalisme telah dihapuskan, Negara tidak lagi memanggul tugas apa-apa. “Kekuasaan Soviet,” tulis program partai Bolshevik menyangkut hal ini, “secara terbuka mengakui keniscayaan karakter kelas dari setiap Negara, sejauh masyarakat masih terbagi dalam kelas-kelas dan, dengan demikian, semua kekuasaan Negara belum melenyap sepenuhnya.” Namun, ketika beberapa orang ahli teori yang ceroboh dari Moskow mencoba, berangkat dari penghapusan “sisa-sisa terakhir” kapitalisme yang dipercaya dengan iman, untuk menyimpulkan telah pupusnya Negara, jajaran birokrat dengan segera menyatakan bahwa teori semacam itu adalah “kontrarevolusioner.”

Di manakah letaknya kesalahan teoritik kaum birokrasi – dalam premis dasarnya atau kesimpulannya? Dalam kedua-duanya. Terhadap maklumat pertama mengenai “kemenangan mutlak”, Oposisi Kiri menjawab: Anda tidak boleh membatasi diri sekedar pada bentuk sosio-yuridis dari relasi yang belum matang, kontradiktif, dalam bidang pertanian masih sangat tidak stabil, begitu saja menarik abstraksi dari kriteria yang fundamental: tingkatan yang dicapai oleh kekuatan produktif. Bentuk-bentuk yuridis itu sendiri pada hakikatnya memiliki kandungan sosial yang berbeda, tergantung dari tingkat teknologi yang dicapai. “Hukum tidak akan pernah bisa lebih tinggi daripada struktur ekonomi dan tingkat budaya yang dikondisikan olehnya.” (Marx) Bentuk-bentuk kepemilikan Soviet, berdasarkan capaian termodern dari teknologi Amerika yang dicangkokkan pada semua cabang kehidupan perekonomian – itu  memang akan menjadi tahap pertama dari sosialisme. Bentuk tersebut, apabila didasarkan pada produktivitas tenaga kerja yang rendah, hanya akan berarti sebuah rejim transisional yang takdirnya belum lagi ditimbang oleh sejarah.

“Tidakkah hal itu mengerikan?” kami menulis di bulan Maret 1932. “Negeri ini tidak dapat keluar dari kelangkaan barang. Terjadi penghentian pasokan di segala tingkatan. Anak-anak kekurangan susu. Tetapi para peramal resmi mengumumkan: ‘Negeri ini telah memasuki periode sosialisme!’ Apakah mungkin kita bisa lebih memburukkan nama sosialisme daripada tindakan ini?” Karl Radek[6], yang sekarang adalah seorang penerbit ternama dari lingkaran penguasa Soviet, menangkis komentar ini dalam koran liberal Jerman, Berliner Tageblatt, dalam sebuah edisi khusus yang diabdikan bagi Uni Soviet (Mei 1932), dalam kata-kata berikut, yang hendaknya kita kenang selamanya: “Susu dihasilkan oleh para sapi, bukan oleh sosialisme, dan Anda membingungkan sosialisme dengan gambaran sebuah negeri di mana sungai-sungainya dialiri susu bila Anda tidak memahami bahwa sebuah negeri dapat mengangkat dirinya untuk sementara waktu pada sebuah tingkat perkembangan yang lebih tinggi tanpa terjadinya peningkatan berarti dalam situasi material di tengah massa rakyat.” Kalimat-kalimat ini ditulisnya ketika paceklik berat tengah melanda negeri itu.

Sosialisme adalah sebuah struktur perencanaan yang diabdikan pada tujuan memenuhi kebutuhan manusia; jika tidak demikian, struktur itu tidak layak menyandang nama sosialisme. Jika sapi-sapi disosialisasi, tetapi terlalu sedikit sapi yang tersedia, atau pakannya tidak memadai, maka akan muncul konflik karena tidak cukupnya pasokan susu – konflik antara desa dan kota, antara pertanian kolektif dan individual, antara strata-strata proletar yang berbeda, antara seluruh massa pekerja dengan birokrasi. Kenyataannya, justru proses sosialisasi kepemilikan sapi yang telah mendesak kaum tani untuk membantai sapi-sapi mereka. Konflik sosial yang dipicu oleh kekurangan, pada gilirannya, dapat membangkitkan kembali “semua sampah lama.” Pada hakikatnya, demikianlah jawaban kami.

Kongres ke-7 Komunis Internasional, dalam satu resolusi tertanggal 29 Agustus 1935, dengan takzim menegaskan bahwa akumulasi dari keberhasilan industri negara, pencapaian kolektivitasasi, pemojokan anasir-anasir kapitalis dan likuidasi kulak sebagai sebuah kelas, “kemenangan mutlak dan tak tergoyahkan dari sosialisme dan penguatan negara kediktatoran proletariat dari segala sisi, telah tercapai di Uni Soviet.” Dengan semua nadanya yang kategoris, pernyataan Komunis Internasional ini sepenuhnya berkontradiksi dengan dirinya sendiri. Jika sosialisme telah mencapai kemenangan “mutlak dan tak tergoyahkan”, maka sebuah “penguatan” kembali atas kediktatoran jelas adalah omong-kosong. Dan, sebaliknya, jika penguatan atas kediktatoran merupakan akibat langsung dari kebutuhan nyata rejim penguasa, itu berarti kemenangan sosialisme masih jauh. Bukan hanya seorang Marxis, tetapi setiap pemikir politik yang realistis, harus memahami bahwa kebutuhan untuk “memperkuat” kediktatoran – yakni represi oleh pemerintah – bukan merupakan bukti atas sebuah keharmonian tanpa kelas, melainkan atas tumbuhnya pertentangan sosial yang baru. Apa yang mendasari semua ini? Kurang tersedianya barang-barang pemenuh kebutuhan hidup karena produktivitas kerja yang rendah.

Lenin pernah menyatakan bahwa sosialisme adalah “kekuasaan Soviet ditambah listrik.” Perumpamaan itu, yang kesepihakannya diakibatkan oleh tujuan propaganda saat itu, berasumsi bahwa setidaknya titik berangkat minimumnya adalah tingkatan pemenuhan kebutuhan listrik yang telah dicapai negeri-negeri kapitalis. Pada saat ini, di Uni Soviet pasokan enerji listrik perkapita hanyalah 1/3 dari negeri-negeri maju. Jika Anda juga mempertimbangkan bahwa soviet-soviet, sementara itu, telah dipinggirkan oleh sebuah mesin politik yang tidak dapat dikendalikan massa, Komunis Internasional tidak lagi memiliki apa-apa selain keharusan memaklumatkan bahwa sosialisme adalah kekuasaan birokrasi plus 1/3 tingkat elektrifikasi negeri kapitalis. Definisi semacam ini akan akurat secara fotografis, tetapi bagi sosialisme itu tidak cukup! Dalam sebuah pidato di depan kaum Stakhanovis[7] di bulan November 1935, Stalin, yang patuh pada tujuan-tujuan empiris dari konferensi tersebut, tanpa diduga mengumumkan: “Mengapa sosialisme dapat dan seharusnya dan niscaya akan menaklukkan sistem ekonomi kapitalis? Karena sosialisme dapat memberi ... tingkat produktivitas tenaga kerja yang lebih tinggi.” Tanpa disengaja, Stalin menolak resolusi Komunis Internasional yang disahkan tiga bulan sebelumnya tentang masalah yang sama, dan juga pernyataan-pernyataannya sendiri yang seringkali dikumandangkannya, di sini dia berbicara tentang “kemenangan” sosialisme dalam bentuk yang akan datang. Sosialisme akan menaklukkan sistem kapitalis, katanya, ketika sosialisme melampaui kapitalisme dalam produktivitas tenaga kerja. Bukan saja bentuk waktu kata kerjanya yang berubah, tetapi juga kriteria sosialnya, sebagaimana yang kita lihat dari waktu ke waktu. Jelas tidak mudah bagi warga Soviet untuk terus mengikuti perubahan “garis umum.”

Akhirnya, pada tanggal 1 Maret 1936, dalam sebuah percakapan dengan Roy Howard, Stalin menawarkan sebuah definisi baru untuk rejim Soviet: “Organisasi sosial yang telah kita ciptakan dapat disebut sebagai sebuah organisasi sosialis Soviet, masih belum selesai sepenuhnya, tetapi pada hakikatnya adalah sebuah organisasi masyarakat sosialis.” Dalam definisi yang disamarkan secara sengaja ini, kontradiksinya sebanyak jumlah katanya. Organisasi sosial itu disebut “Soviet sosialis”, tetapi Soviet adalah sebuah bentuk Negara, dan sosialisme adalah sebuah rejim sosial. Kedua kategori ini bukan hanya tidak sama tetapi, dari sudut pandang kepentingan kita, juga saling bertentangan. Sejauh organisasi sosial telah berubah menjadi sosialistik, soviet seharusnya akan lenyap, sebagaimana papan-papan penyangga disingkirkan ketika bangunannya selesai. Stalin memperkenalkan sebuah koreksi: Sosialisme “masih belum selesai sepenuhnya.” Apa artinya “belum sepenuhnya”? Baru 5 persen, atau baru 75 persen? Mereka tidak memberi tahu kita apa yang mereka maksudkan dengan sebuah pengorganisiran masyarakat yang “pada hakikatnya sosialis.” Apakah yang dimaksudkan adalah bentuk kepemilikan atau teknik? Samarnya definisi ini, mengimplikasikan sebuah kemunduran dari rumusan yang jauh lebih kategoris di tahun 1931-35. Satu langkah maju di jalur itu adalah pengakuan bahwa “hakikat” dari tiap organisasi sosial adalah kekuatan produktif, dan bahwa akar Soviet mungkin tidak cukup perkasa untuk menopang seluruh batang tubuh sosialis dan dedaunannya: kesejahteraan umat manusia.

 


Catatan

[1] Stanley Baldwin (1867-1947) adalah Perdana Menteri Inggris dari 1923-24, 1924-29, dan 1935-37. Dia adalah seorang konservatif.

[2] Franklin Delano Reoosevelt (1882-1945) adalah Presiden Amerika Serikat ke-32 (1933-1945) dari Partai Demokrat. Dia membawa Amerika Serikat ke Perang Dunia Kedua.

[3] Otto van Bismarck (1815-1898) adalah Kanselir Jerman yang pertama dari tahun 1871-1890.

[4] Viscount Palmerston (1784-1865) adalah Perdana Menteri Inggris dari tahun 1859-1865. Dia adalah seorang konservatif.

[5] Abraham Lincoln (1809-1865) adalah Presiden Amerika Serikat ke-16 (1861-1865) dari Partai Republik. Dia terkenal dengan perjuangannya dalam menyatukan Amerika Serikat dan membebaskan para budak hitam.

[6] Karl Radek (1885-1939) adalah anggota Partai Buruh Sosial Demokrat Rusia sejak permulaan, dimana dia aktif di Galicia, Polandia Rusia dan Jerman. Dia menjadi Bolshevik pada tahun 1917. Pada tahun 1923 menjadi anggota Oposisi Kiri, sebagai akibatnya dia dikeluarkan dari partai pada tahun 1927. Radek masuk ke partai kembali pada tahun 1930, namun kembali dikeluarkan pada tahun 1936. Diadili pada Pengadilan Moskow Kedua dan meninggal di penjara. Victor Serge mengatakan bahwa Radek: “Penulis yang brilian…licin, penuh dengan anekdot-anekdot yang sering memiliki sisi kejamnya…seperti bajak laut tua.”

[7] Kaum Stakhanovis adalah julukan untuk para buruh yang paling rajin dan menghasilkan produksi yang lebih tinggi. Julukan ini berasal dari seorang buruh tambang batu-bara bernama Aleksei Stakhanov (1906-1977) yang mampu menambang 102 ton batu-bara dalam waktu 5 jam 45 menit (14 kali lipat dari kuota per buruh). Karena itu, maka rejim Soviet membuatnya menjadi simbol buruh sosialis dan teladan untuk buruh-buruh lainnya. Gerakan Stakhanovis ini diluncurkan pada masa industrialisasi Soviet, selama rencana lima tahun kedua di tahun 1935. Pada akhirnya, gerakan Stakhanovis ini justru melahirkan aristokrasi buruh.


BAB II
DAFTAR ISI
BAB IV