Revolusi yang Dikhianati

Leon Trotsky (1936)


Bab II. Pertumbuhan Ekonomi dan Zig-zag Kepemimpinan

 

1. “Komunisme Militer[1]”, “Kebijakan Ekonomi Baru” (NEP[2]) dan Jalan Menuju Kulak[3]

Jalur perkembangan perekonomian Soviet sama sekali bukan dalam jalur yang tidak terganggu dan dengan kurva kenaikan yang stabil. Dalam 18 tahun pertama rejim baru ini, Anda dapat dengan jelas membedakan beberapa tahapan yang ditandai oleh krisis-krisis yang tajam. Kita perlu mengambil satu gambaran singkat dari sejarah ekonomi Uni Soviet dalam hubungannya dengan kebijakan pemerintahan, baik untuk diagnosis maupun prognosis.

Tiga tahun pertama setelah revolusi adalah sebuah periode perang sipil yang kejam. Kehidupan perekonomian sepenuhnya menjadi hamba kebutuhan di garis depan. Kehidupan budaya tersudut dan dicirikan oleh serangkaian pemikiran kreatif yang berani, di atas segalanya adalah pemikiran pribadi Lenin, sementara media untuk menyampaikannya teramat langka. Inilah masa yang disebut “komunisme militer” (1918-21), yang merupakan satu pararel heroik dengan “sosialisme militer”[4] di negeri-negeri kapitalis. Masalah ekonomi pemerintahan Soviet di tahun-tahun itu pada dasarnya adalah bagaimana mendukung industri perang, dan menggunakan sumberdaya yang kecil dari warisan masa lalu untuk kepentingan militer dan menjaga keselamatan hidup rakyat kota. Komunisme militer, pada hakikatnya, adalah rejimentasi sistematik atas konsumsi di dalam sebuah benteng yang tengah terkepung.

Tetapi, kita perlu mengakui bahwa dalam konsepsi awalnya Komunisme Militer ditujukan pada sasaran yang lebih luas. Pemerintah Soviet berharap dan berusaha keras untuk mengembangkan metode rejimentasi ini secara langsung menjadi sebuah sistem perekonomian terencana dalam hal distribusi maupun produksi. Dengan kata lain, dari “komunisme militer” pemerintah berharap secara bertahap, tanpa harus merusak sistemnya, untuk sampai pada komunisme sejati. Program partai Bolshevik yang disahkan di bulan Maret 1919 menyatakan: “Dalam bidang distribusi tugas yang kini dihadapi oleh Pemerintah Soviet adalah dengan teguh terus melangkah dengan skala yang terencana, terorganisir dan mencakup seluruh negeri untuk menggantikan perdagangan dengan distribusi barang.”

Akan tetapi, realitas semakin berbenturan dengan program “komunisme militer”. Produksi terus menurun dan bukan hanya diakibatkan oleh dikekangnya stimulus kepentingan pribadi di antara kaum produsen. Kota menuntut gandum dan bahan baku dari wilayah pedesaan, tanpa memberi apa-apa sebagai gantinya selain potongan-potongan kertas aneka warna yang dinamai, menurut ingatan yang lama, uang. Dan kaum muzhik[5] mengubur persediaan mereka di dalam tanah. Pemerintah mengirim detasemen kaum buruh bersenjata untuk mengambil gandum itu. Kaum muzhik memangkas produksinya. Produksi industri baja jatuh dari 4,2 juta ton menjadi 183.000 ton — itu 1/23 dari keadaan sebelumnya. Total panen gandum turun dari 36,3 juta ton menjadi 22,8 juta ton di tahun 1922. Ini adalah tahun paceklik yang parah. Pada saat bersamaan, perdagangan luar negeri jatuh dari 2,9 milyar rubel menjadi 30 juta. Keruntuhan kekuatan produktif mencapai tingkat yang belum pernah terlihat dalam sejarah sebelumnya. Negeri ini, dan pemerintahannya, berada persis di bibir jurang.

 Harapan utopis dari epos komunisme militer akhirnya mendapati dirinya dihujani kritik yang kejam. Kesalahan teoritik dari partai penguasa tetap tidak akan terjelaskan apabila Anda mengabaikan fakta bahwa semua perhitungan di masa itu didasarkan pada harapan akan adanya kemenangan dini dari kaum proletariat di Barat. Pada waktu itu semua orang beranggapan bahwa kemenangan proletariat di Jerman akan memasok Soviet Rusia bukan hanya dengan mesin dan komponen manufaktur melainkan juga dengan puluhan ribu buruh, insinyur, dan organisator yang trampil. Dan tidak diragukan lagi bahwa jika revolusi proletariat menang di Jerman — satu hal yang terhambat oleh satu sebab tunggal: kaum Sosial Demokrat — perkembangan ekonomi Uni Soviet dan juga Jerman akan maju dengan lompatan besar sehingga nasib Eropa dan dunia hari ini niscaya akan jauh lebih sejahtera. Walau demikian, kita dapat meyakini dengan pasti bahwa sekalipun kejadian membahagiakan itu terjadi, kita akan tetap perlu menanggalkan sistem distribusi produk langsung oleh negara dan menggantikannya dengan metode perdagangan.

Lenin menjelaskan perlunya menghidupkan kembali pasar karena keberadaan jutaan usaha pertanian subsisten yang terisolasi di negeri itu, yang tidak terbiasa mendefinisikan relasi ekonominya dengan dunia luar kecuali melalui perdagangan. Sirkulasi perdagangan akan membangunkan sebuah “koneksi”, begitu istilahnya, antara kaum tani kecil dengan industri-industri yang ternasionalisasi. Rumusan teoritik untuk “koneksi” ini sangatlah sederhana: industri harus memasok wilayah pedesaan dengan barang-barang kebutuhan dengan tingkat harga tertentu yang memungkinkan dihentikannya pengumpulan paksa atas produksi petani kecil oleh aparatus negara.

Perbaikan relasi ekonomi dengan wilayah pedesaan jelas-jelas merupakan tugas paling kritis dan mendesak dari NEP. Namun, sebuah eksperimen singkat menunjukkan bahwa industri itu sendiri, sekalipun wataknya sudah tersosialisasikan, memerlukan metode pembayaran uang seperti yang dijalankan oleh kapitalisme. Sebuah perekonomian terencana tidak dapat bersandar semata-mata pada data intelektual. Sistem suplai dan permintaan, untuk waktu yang panjang, masih akan menjadi basis material yang diperlukan dan mekanisme korektif yang tak dapat digantikan.

Pasar, yang dilegalkan oleh NEP, memulai pekerjaannya dengan bantuan mata uang yang terorganisasi. Sedini tahun 1923, berkat rangsangan awal dari wilayah pedesaan, industri mulai bangkit. Dan, di samping itu, kebangkitan itu langsung menapak di jalur cepat. Cukuplah bila dikatakan bahwa produksi berlipat dua pada tahun 1922 dan 1923, dan pada tahun 1926 telah mencapai tingkat seperti yang dicapai sebelum perang — yakni, telah tumbuh lebih dari lima kali lipat dari capaiannya pada tahun 1921. Pada saat bersamaan, sekalipun dengan tempo yang lebih lambat, panen juga meningkat.

Dimulai di tahun 1923, perbedaan pendapat yang telah ditengarai sebelumnya di dalam partai tentang relasi antara industri dan pertanian mulai menajam. Di sebuah negeri yang telah menguras habis cadangan sumberdayanya, industri tidak akan berkembang kecuali dengan dengan meminjam bahan pangan dan bahan baku dari kaum petani. Akan tetapi, “pinjaman paksa” yang terlalu besar ini dapat menghancurkan stimulus kerja para petani. Tanpa kepercayaan akan masa depan yang lebih baik, kaum tani akan menjawab ekspedisi pengumpulan pangan dari kota dengan menolak bertanam. Di pihak lain, jika pengumpulan dilakukan dengan terlalu murah hati, produksi di kota akan mengalami kemandegan. Tanpa pasokan produk industri, kaum tani akan beralih pada kerja industri hanya untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, dan menumbuhkan kembali industri rumahan yang tua. Perbedaan pendapat di partai diawali dengan masalah berapa banyak yang harus diambil dari desa untuk industri guna mempercepat periode keseimbangan dinamis antara keduanya. Pertikaian ini segera menjadi lebih kompleks karena masalah struktur sosial desa itu sendiri.

Di musim semi 1923, pada kongres partai, seorang perwakilan Oposisi Kiri[6]— pada waktu itu belum dikenal dengan nama demikian — menunjukkan selisih antara harga barang industri dan pertanian dalam bentuk sebuah diagram yang mengerikan. Fenomena ini pada awalnya disebut “fenomena gunting”, sebuah istilah yang kini telah diakui di hampir seluruh dunia. Jika ketertinggalan industri — kata si pembicara — terus membuka gunting itu, maka perpecahan antara desa dan kota akan menjadi tak terhindarkan lagi.

Kaum tani membuat sebuah perbedaan yang tajam antara revolusi demokratik dan revolusi agraria yang telah dijalankan oleh partai Bolshevik, dan kebijakannya diarahkan menuju peletakan dasar-dasar bagi sosialisme. Perampasan tanah milik tuan-tuan tanah dan Tsar telah memberi kaum tani tambahan penghasilan sebesar lebih dari setengah milyar rubel emas per tahun. Dalam hal harga produk-produk industri, sayangnya, kaum tani harus membayar jauh lebih besar. Selama hasil dari kedua revolusi, demokratik dan sosialis, yang terikat oleh salju tebal bulan Oktober, membuat kaum tani merugi jutaan rubel, masa depan kesatuan kedua kelas ini, buruh dan tani, akan tetap suram.

Karakter perekonomian tani yang terisolasi satu dari lainnya, yang merupakan warisan masa lalu, diperburuk oleh hasil-hasil Revolusi Oktober. Jumlah pertanian mandiri meningkat pada dekade berikutnya dari 16 menjadi 25 juta, yang secara alamiah memperkuat watak murni konsumeris dari mayoritas usaha pertanian. Ini adalah salah satu sumber rendahnya tingkat produk pertanian.

Perekonomian komoditi skala kecil niscaya akan menghasilkan kaum penghisap. Sejalan dengan pemulihan desa-desa, diferensiasi di tengah massa kaum tani mulai tumbuh. Perkembangan ini berjalan sesuai dengan alur yang sudah tua sekali umurnya. Pertumbuhan kulak jauh melampaui pertumbuhan umum sektor pertanian. Kebijakan pemerintah di bawah slogan “menghadap ke pedesaan” pada dasarnya adalah menghadapkan diri pada para kulak. Pajak pertanian membebani petani miskin lebih berat daripada yang kaya, yang di samping itu berhasil mencuri sebagian besar dari kredit yang disediakan pemerintah. Surplus gandum, yang terutama berada di tangan lapisan teratas pedesaan, digunakan untuk memperbudak kaum miskin dan untuk penjualan spekulatif kepada unsur-unsur borjuis di perkotaan. Bukharin[7], teoritisi dari faksi yang berkuasa di masa itu, melempar slogan terkenal ini pada kaum tani miskin, “Jadilah kaya!” Dalam teori, itu seharusnya berarti perubahan secara perlahan-lahan dari kulak ke arah sosialisme. Dalam praktek itu berarti semakin kayanya minoritas berkat penghisapan atas mayoritas.

Pemerintah, yang terpenjara oleh kebijakannya sendiri, dipaksa mundur selangkah demi selangkah di bawah tekanan borjuasi kecil pedesaan. Di tahun 1925, sistem sewa tenaga kerja dan sewa tanah dilegalkan di sektor pertanian. Kaum tani semakin terpolarisasi antara kapitalis kecil di satu sisi dan tenaga kerja sewaan di sisi yang lain. Pada saat bersamaan, karena kurangnya komoditi industrial, negara tersingkirkan dari pasar pedesaan. Di antara kulak dan pengrajin kecil rumahan muncullah, seakan dari dalam bumi, kaum perantara perdagangan. Perusahaan-perusahaan negara sendiri, dalam upayanya memperoleh bahan baku, semakin lama semakin terpaksa berurusan dengan para pedagang swasta. Pasang naik kapitalisme muncul di mana-mana. Orang-orang yang mau berpikir melihat dengan jelas bahwa sebuah revolusi dalam bentuk properti tidak akan memecahkan masalah sosialisme, melainkan akan memperumitnya.

Di tahun 1925, ketika kebijakan menuju kulak berjalan dengan kecepatan penuh, Stalin mulai menyiapkan denasionalisasi tanah. Terhadap satu pertanyaan yang dikemukakan atas usulannya oleh salah satu wartawan Soviet: “Bukankah tidak akan sesuai dengan kepentingan pertanian jika kita memberikan pada tiap petani hak kepemilikan selama sepuluh tahun untuk bidang tanah yang dia garap?”, Stalin menjawab, “Ya, bahkan untuk empat puluh tahun.” Komisar Rakyat untuk Pertanian dari Georgia, atas inisiatif Stalin, mengajukan rancangan undang-undang denasionalisasi tanah. Tujuannya adalah untuk memberi para petani kepercayaan akan masa depannya sendiri. Selama hal ini tengah berlangsung, di musim semi 1926, hampir 60 persen bahan pangan yang seharusnya dijual berada di tangan 6 persen kaum tani, yang menjadi penghisap kaumnya! Negara kekurangan bahan pangan bukan hanya untuk perdagangan luar negeri, tetapi bahkan juga untuk kebutuhan domestik. Kurangnya tingkat ekspor memaksa diabaikannya pembelian komponen manufaktur dan pemangkasan habis-habisan impor mesin-mesin dan bahan baku.

Menghambat industrialisasi dan menghantarkan pukulan keras terhadap massa rakyat kaum tani kecil, kebijakan yang mengandalkan kaum tani kaya ini dengan jelas menampakkan konsekuensi politiknya dalam dua tahun, 1924-26. Hal ini mengakibatkan sebuah peningkatan luar biasa atas kesadaran borjuis kecil baik di kota maupun pedesaan, direbutnya kepemimpinan banyak Soviet tingkat rendahan oleh mereka, peningkatan kekuasaan dan kepercayaan diri kalangan birokrasi, semakin besarnya tekanan terhadap kaum buruh, dan penindasan yang menyeluruh atas demokrasi di dalam Soviet dan partai. Pertumbuhan kulak meresahkan dua anggota terkemuka dari kelompok yang berkuasa, Zinoviev[8] dan Kamenev[9], yang menempati posisi penting sebagai presiden Soviet dari dua kota pusat kaum proletar, Leningrad dan Moskow. Tetapi pusat-pusat kekuasaan di propinsi, terlebih-lebih lagi kaum birokrat, berdiri siaga di belakang Stalin. Kebijakan mengandalkan petani kaya menang. Di tahun 1926, Zinoviev dan Kamenev, dengan para pengikutnya, bergabung dengan Kelompok Oposisi Kiri pada tahun 1923 (kaum “Trotskyis”).

Tentu saja, “secara prinsip”, kelompok yang berkuasa tidaklah secara terbuka menyangkal kolektivisasi pertanian. Mereka hanya menundanya selama beberapa dekade dalam perspektif mereka. Orang yang kelak menjadi Komisar Rakyat untuk Pertanian, Yakovleva[10], menulis pada tahun 1927 bahwa sekalipun rekonstruksi sosialis di pedesaan hanya dapat dilakukan melalui kolektivisasi, tetap saja “hal ini tidak dapat dilakukan dalam satu, dua atau tiga tahun, mungkin tidak dalam satu dekade ke depan.” “Pertanian kolektif dan komune,” lanjutnya, “… kini, dan akan tetap demikian untuk waktu lama, hanyalah pulau-pulau kecil di tengah lautan usaha pertanian individual.” Dan, kenyataannya, pada masa itu hanya 8 persen keluarga petani yang bergabung dengan kolektif pertanian.

Perjuangan di dalam partai tentang apa yang dikenal sebagai “garis umum”, yang mulai muncul di tahun 1923, menjadi sangat keras dan menegangkan di tahun 1926. Dalam platformnya yang diperluas, yang mencakup semua masalah industri dan perekonomian, Oposisi Kiri menulis: “Partai harus menolak dan menghancurkan semua tendensi yang mengarah pada penihilan atau penggerogotan nasionalisasi atas tanah, salah satu tiang bagi kediktatoran proletar.” Terhadap masalah tersebut, Oposisi meraih kemenangan; upaya langsung melawan nasionalisasi akhirnya ditinggalkan. Namun masalahnya, tentu saja, melibatkan lebih banyak hal daripada sekedar bentuk kepemilikan atas tanah.

“Terhadap pertumbuhan pertanian pribadi (fermerstvo) di pedesaan kita harus menandingkannya dengan pertumbuhan pertanian kolektif yang lebih pesat. Perlu bagi kita untuk secara sistematik, tahun demi tahun, menyisihkan sejumlah besar dana bantuan bagi petani miskin yang terorganisir dalam kolektif pertanian. Seluruh kerja koperasi-koperasi pertanian haruslah diimbuhi dengan tujuan mengubah produksi skala kecil menjadi produksi terkolektivisasi dalam skala raksasa.” Tetapi program kolektivisasi skala luas ini, dengan keras kepala, terus dianggap sebagai hal yang utopis dalam tahun-tahun berikutnya. Selama persiapan untuk Kongres Partai ke-15, yang diadakan untuk memecat Oposisi Kiri, Molotov, yang kemudian menjadi presiden Komisar Rakyat Soviet, berulang kali menyatakan: “Kita tidak boleh tergelincir (!) ke dalam ilusi kaum tani miskin tentang kolektivisasi massa tani secara luas. Dalam kondisi sekarang hal itu sama sekali tidak dimungkinkan.” Pernyataan ini dikeluarkan, di akhir tahun 1927.  Demikianlah pendapat kelompok penguasa pada saat itu tentang kebijakan kaum tani, yang sangat jauh berbeda dengan kebijakannya di masa depan nanti!

Pada tahun-tahun yang sama (1923-28) terjadi pertarungan antara koalisi penguasa: Stalin, Molotov, Rykov[11], Tomsky[12], Bukharin (Zinoviev dan Kamenev menyeberang ke Oposisi Kiri di awal tahun 1926), melawan para pengajur “super-industrialisasi” dan kepemimpinan ekonomi yang terencana. Para ahli sejarah kelak akan menegaskan dengan cukup terkejut betapa menyebarnya semangat ketidakpercayaan akan inisiatif ekonomi yang berani di tengah pemerintahan sebuah negeri sosialis. Percepatan tempo industrialisasi berlangsung secara empirik, dengan impuls dari luar, dengan melindas secara kasar semua perhitungan dan peningkatan biaya overhead yang gila-gilaan. Tuntutan untuk sebuah rencana lima tahunan, ketika dikemukakan oleh Oposisi Kiri di tahun 1923, disambut dengan ejekan yang bersemangat borjuis kecil, yang takut “melompat ke dalam kegelapan.” Sampai April 1927, Stalin menegaskan dalam sebuah pertemuan pleno Komite Sentral bahwa usaha untuk membangun pembangkit listrik tenaga air Dnieperstroy adalah seperti seorang muzhik yang membeli sebuah pemutar piringan hitam dan bukannya seekor sapi. Pernyataan singkat yang melayang-layang ini menyimpulkan keseluruhan programnya. Patut dicatat pada tahun-tahun itu pers borjuis dari seluruh dunia, dan pers sosial demokratik yang membebeki mereka, mengemukakan secara terus-menerus simpati mereka terhadap tuduhan dari kelompok penguasa mengenai romantisisme industrial “Oposisi Kiri”.

Di tengah keributan diskusi internal partai, kaum tani menjawab kekurangan pasokan barang industri dengan pemogokan yang makin lama makin keras kepala. Mereka tidak bersedia membawa hasil pangan mereka ke pasar atau meningkatkan produksi mereka. Kaum sayap kanan (Rykov, Tomsky, Bukharin), yang merupakan penentu pengambilan keputusan saat itu, menuntut diperkuatnya pemberlakuan kecenderungan kapitalis di pedesaan melalui peningkatan harga pangan, bahkan sekalipun harus dibayar dengan melambatnya tempo perindustrian. Satu-satunya cara di bawah kebijakan seperti ini adalah mengimpor barang-barang manufaktur dan mengekspor hasil pertanian. Tetapi ini akan berarti pembentukan “koneksi”, bukan antara perekonomian kaum tani dan perindustrian sosialis, melainkan antara kulak dan kapitalisme dunia. Tidak ada gunanya bersusah-payah melancarkan Revolusi Oktober bila hanya ingin melakukan itu.

“Percepatan industrialisasi,” jawab para wakil kelompok Oposisi Kiri pada konferensi partai di tahun 1926, “khususnya dengan meningkatkan pajak atas kulak, akan menghasilkan sejumlah besar barang dengan harga lebih rendah, dan ini akan menguntungkan baik kaum buruh maupun mayoritas kaum tani ... Menghadap desa tidak harus berarti memunggungi industri; menghadap desa berarti industri untuk desa. Karena ‘wajah’ negara tidak ada gunanya bagi pedesaan jika ia tidak memiliki industri.”

Sebagai jawabannya, Stalin menyerang dengan berapi-api “rencana-rencana fantastis” kaum Oposisi. Industri tidak boleh “maju tergesa-gesa, memisahkan diri dari pertanian dan mengabaikan tempo akumulasi di negeri ini.” Keputusan partai terus mengulangi gagasan tentang akomodasi pasif terhadap lapisan terkaya kaum tani. Kongres Partai ke-15, yang diadakan di bulan Desember 1927 untuk melancarkan pukulan akhir terhadap “para pendukung super-industrialisasi”, memperingatkan akan “bahaya keterlibatan kapital negara yang terlalu besar dalam konstruksi-konstruksi besar.” Faksi yang berkuasa pada waktu itu terus menolak melihat bahaya yang lain.

Pada tahun 1927-28, apa yang disebut periode restorasi, dimana industri bekerja terutama dengan mesin-mesin pra-revolusi dan pertanian menggunakan alat-alat yang tua, tengah memasuki masa akhirnya. Agar dapat melangkah lebih lanjut, diperlukan pembangunan industri independen dengan skala besar. Mustahil melangkah lebih lanjut dengan meraba-raba dan tanpa rencana.

Kemungkinan hipotetis untuk membangun perindustrian sosialis telah dianalisa oleh Kelompok Oposisi sejak 1923-25. Kesimpulan umumnya adalah bahwa, setelah menghabiskan usia pakai peralatan yang diwarisi dari kaum borjuasi, perindustrian Soviet dapat mencapai ritme pertumbuhan yang sama sekali mustahil di bawah kapitalisme jika ini dilakukan dengan basis akumulasi sosialis. Para pemimpin faksi yang berkuasa secara terbuka mengejek laju pertumbuhan 15-18% yang kami ajukan secara hati-hati sebagai musik penuh fantasi dari masa depan yang tak terjangkau. Pada waktu itu, inilah salah satu hakikat perjuangan melawan “Trotskyisme”.

Rancangan rencana lima tahun, yang akhirnya dipersiapkan pada tahun 1927, sungguh disesaki dengan semangat pesimisme. Pertumbuhan produksi industrial diproyeksikan menurun tiap tahun dari 9 menuju 4 persen. Konsumsi per kapita ditargetkan meningkat hanya 12 persen selama lima tahun! Pesimisme yang sangat besar di dalam rencana pertama ini nampak jelas dari fakta bahwa anggaran negara pada akhir masa lima tahun ini hanyalah sebesar 16 persen dari penghasilan nasional, sementara anggaran kekaisaran Tsar Rusia, yang sama sekali tidak berniat membangun sebuah masyarakat sosialis, sebesar 18 persen! Mungkin baik jika ditambahkan bahwa para insinyur dan ahli ekonomi yang merancang rencana ini beberapa tahun kemudian diadili dengan keras dan dihukum sebagai sabotur, yang bertindak atas perintah kekuatan asing. Para tertuduh mungkin telah menjawab, jika mereka berani, bahwa perencanaan mereka adalah sesuai dengan “garis umum” Politbiro pada saat itu dan dilaksanakan berdasarkan perintah mereka.

Pertarungan antar tendensi kini diterjemahkan dalam bahasa aritmetik. “Untuk mengajukan pada ulang tahun ke-10 Revolusi Oktober sebuah rencana yang sangat pesimistik dan remeh-temeh seperti ini,” demikian tertulis pada platform Kelompok Oposisi, “pada dasarnya berarti bekerja melawan sosialisme.” Setahun kemudian, Politbiro mengadopsi sebuah rencana lima tahun yang baru dengan peningkatan produksi tahunan rata-rata mencapai 9 persen. Akan tetapi, jalannya perkembangan ekonomi yang sesungguhnya menunjukkan sebuah kecenderungan yang keras kepala untuk mendekati angka-angka yang diramalkan para “pendukung super-industrialisasi”. Setelah setahun lagi berlalu, ketika kebijakan pemerintah berubah secara radikal, Komisi Perencanaan Negara merancang rencana lima tahun ketiga, yang tingkat pertumbuhannya sangat mendekati apa yang dapat diharapkan dari prognosis hipotetis yang dibuat oleh Kelompok Oposisi pada tahun 1923.

Sejarah kebijakan ekonomi Uni Soviet yang sesungguhnya, sebagaimana dapat kita lihat, sangat jauh berbeda dari legenda resmi yang disebarkan oleh faksi yang berkuasa. Sayangnya, para penyelidik yang paling tekun seperti suami-istri Webb pun sama sekali tidak memperhatikan hal ini.

2. Sebuah Belokan Tajam: “Rencana Lima Tahun dalam Empat Tahun” dan “Kolektivisasi Penuh”

Kegamangan dalam berhadapan dengan usaha pertanian perorangan, ketidakpercayaan pada rencana-rencana besar, mempertahankan tempo pembangunan yang minimum, pengabaian masalah internasional – semua ini jika digabungkan merupakan hakikat dari teori “sosialisme di satu negeri”, yang pertama kali dikemukakan oleh Stalin di musim gugur 1924 setelah kekalahan kaum proletar di Jerman. Jangan bergegas dengan industrialisasi, jangan bertengkar dengan kaum muzhik, jangan bersandar pada revolusi dunia, dan di atas segalanya, lindungi kekuasaan birokrasi partai dari kritik! Diferensiasi kaum tani dianggap sebagai ciptaan kaum Oposisi. Yakovlev menyepelekan Biro Pusat Statistik yang mencatat bahwa kulak menempati posisi yang lebih kuat, sementara para pemimpin dengan tenang menilai bahwa kekurangan pasokan barang ini akan berhenti dengan sendirinya, bahwa “perkembangan ekonomi yang stabil ada di depan mata”, bahwa pengumpulan pangan di masa depan akan dilaksanakan dengan lebih “merata”, dll. Kaum kulak yang menjadi lebih kuat ini memimpin kaum tani menengah dan memblokade pasokan pangan ke kota-kota. Pada bulan Januari 1928, kelas buruh berhadapan dengan bahaya bencana kelaparan. Sejarah paham bagaimana memainkan lelucon yang pahit. Dalam bulan itu juga, ketika kaum kulak tengah mencekik leher revolusi, wakil-wakil dari Oposisi Kiri dijebloskan ke penjara atau diasingkan ke berbagai tempat di Siberia sebagai hukuman atas “kepanikan” mereka terhadap bahaya kulak.

Pemerintah berusaha berpura-pura bahwa pemogokan menyetor hasil pangan disebabkan semata karena rasa permusuhan kaum kulak (dari mana permusuhan ini datang?) terhadap negara sosialis – yakni, karena motif politik. Tetapi kaum kulak cenderung tidak memiliki “idealisme” semacam itu. Jika mereka menyembunyikan hasil pangan mereka, itu karena harga yang ditawarkan kepadanya tidaklah menguntungkan. Untuk alasan yang serupa, mereka berhasil mempengaruhi sebagian besar kaum tani lainnya. Jika ini dihadapi dengan sekedar merepresi sabotase kaum kulak, niscaya hasilnya tidak akan memadai. Yang diperlukan adalah perubahan kebijakan. Walau demikian, waktu yang dibuang-buang untuk meragu tidaklah sedikit.

Rykov, yang waktu itu masih mengepalai pemerintahan, mengumumkan di bulan Juli 1928: “Pengembangan usaha tani individu adalah … tugas partai yang utama.” Dan Stalin mendukungnya: “Ada orang yang berpikir bahwa usaha tani perorangan telah habis kegunaannya, bahwa kita tidak seharusnya mendukung itu …. Orang-orang ini sama sekali tidak memiliki persamaan dengan garis partai kita.” Kurang dari setahun kemudian, garis partai berubah dan sama sekali tidak punya persamaan dengan kata-kata di atas. Fajar “kolektivitasi penuh” tengah menyingsing.

Orientasi yang baru didekati dengan cara yang sama empirisnya dengan orientasi sebelumnya, dan dengan pergulatan tersembunyi di dalam blok pemerintah. “Kelompok-kelompok sayap kanan dan tengah disatukan oleh permusuhan mereka terhadap Kelompok Oposisi” – demikian tertulis di dalam platform Oposisi Kiri, yang memberi peringatan ini setahun sebelumnya – “dan penyingkiran kelompok sayap kiri niscaya akan mempercepat terjadinya benturan antara kedua kelompok tersebut.” Para pemimpin dari blok yang pecah tersebut tentu saja tidak akan bersedia mengakui bahwa prognosis sayap kiri, sebagaimana lainnya, telah menjadi kenyataan. Pada tanggal 19 Oktober 1928, Stalin mengumumkan secara publik: “Tiba waktunya untuk berhenti bergosip tentang adanya penyimpangan Kanan dan sikap ragu-ragu di dalam Politbiro Komite Sentral kita.” Kedua kelompok tersebut pada saat itu masih meraba-raba mesin partai. Partai yang direpresi hidup dalam rumor-rumor gelap dan dugaan-dugaan tak berdasar. Tetapi dalam waktu beberapa bulan saja, pers partai, dengan sikap tak tahu malu mereka yang biasa, mengumumkan bahwa kepala pemerintahan, Rykov, “telah memberikan laporan tidak yang tidak lengkap mengenai kesulitan ekonomi yang dihadapi Soviet”; bahwa pemimpin Komunis Internasional[13], Bukharin, adalah “corong suara kaum borjuis-liberal”; bahwa Tomsky, presiden Dewan Pusat Serikat Buruh Seluruh Rusia, hanyalah seorang pemimpin serikat buruh yang menyedihkan. Ketiganya, Rykov, Bukharin dan Tomsky, adalah anggota Politbiro. Di mana konflik dengan Oposisi Kiri yang sebelumnya telah menggunakan senjata dari kelompok sayap kanan, Bukharin kini sanggup, tanpa mendustai kebenaran, menuduh Stalin menggunakan sebagian platform Oposisi Kiri, yang telah disapu bersih, dalam pertarungannya dengan kaum Kanan.

Slogan “Jadilah Kaya!”, beserta teori di mana kulak akan bergerak dengan mudah ke sosialisme, walaupun terlambat tetapi dengan lebih tegas, dihancurkan. Industrialisasi menjadi nomor satu. Sikap bermalas-malasan yang penuh kepuasan-diri digantikan dengan kepanikan yang tergesa-gesa. Slogan Lenin yang setengah terlupakan “kejar dan lampaui” kini diimbuhi dengan kata-kata “dalam waktu sesingkat-singkatnya.” Rencana lima tahun yang minimalis, yang telah disepakati oleh kongres partai, digantikan dengan sebuah rencana baru, yang elemen-elemen fundamentalnya diambil secara kata-per-kata dari platform Oposisi Kiri yang telah dihancurkan. Dam listrik Dnieperstroy, yang beberapa waktu lalu disejajarkan dengan sebuah gramofon, kini menjadi pusat perhatian.

Setelah kesuksesan-kesuksesan baru yang pertama, slogan itu dimajukan menjadi: “Penuhi rencana lima tahun dalam empat tahun.” Penguasa yang terkejut ini kini memutuskan bahwa semua hal dapat tercapai. Oportunisme, sebagaimana telah begitu sering terjadi dalam sejarah, berubah menjadi kebalikannya, avonturisme. Di mana dari tahun 1923 sampai 1928 Politbiro dengan sedia menerima filosofi Bukharin tentang “tempo kura-kura”, kini mereka dengan entengnya melompat dari pertumbuhan 20 persen menjadi 30 persen, mencoba mengubah tiap pencapaian yang temporer dan parsial menjadi sebuah norma, dan mengabaikan kondisi kesalinghubungan antar berbagai cabang industri. Lubang-lubang finansial ditutup dengan mencetak lebih banyak uang. Dalam tahun-tahun rencana lima tahun pertama, jumlah uang kertas yang beredar naik dari 1,7 milyar menjadi 5,5 milyar dan di awal rencana lima tahun kedua jumlah uang kertas yang beredar telah mencapai 8,4 milyar rubel. Birokrasi tidak hanya membebaskan dirinya dari kontrol politik massa, yang harus memanggul beban industrialisasi yang dipaksakan ini, tetapi juga dari kontrol chervonetz (mata uang Uni Soviet). Sistem mata uang ini, yang diletakkan pada pondasi yang kokoh pada awal NEP, kini diguncang sampai ke akarnya.

Akan tetapi, bahaya yang utama, bukan saja terhadap keberhasilan pelaksanaan rencana lima tahun namun terhadap rejim itu sendiri, muncul dari sisi kaum tani.

Pada tanggal 15 Februari 1928, penduduk Rusia mempelajari dengan terkejut dari sebuah editorial dalam koran Pravda bahwa desa-desa tidaklah seperti yang selama ini digambarkan oleh para penguasa, namun sebaliknya begitu mirip dengan gambaran yang disajikan oleh Oposisi Kiri yang telah disingkirkan. Pers, yang baru kemarin menyangkal keberadaan kulak, hari ini, berdasarkan perintah dari atas, menemui kulak bukan hanya di desa-desa namun juga di dalam tubuh partai itu sendiri. Diungkapkan bahwa ranting-ranting partai seringkali didominasi oleh kaum tani kaya yang menguasai permesinan yang canggih, mempekerjakan buruh upahan, menyembunyikan ratusan dan ribuan kilogram bahan pangan dari pemerintah, dan menentang dengan keras kebijakan “Trotskyis”. Koran-koran saling bersaing untuk memuat kisah-kisah sensasional tentang bagaimana kaum kulak yang menduduki posisi lokal menolak keanggotaan partai bagi kaum petani miskin dan buruh upahan. Semua kriteria lama kini dijungkirbalikkan; plus dan minus kini bertukar tempat.

Agar dapat memberi makan warga perkotaan, perlulah dengan segera mengambil bahan pangan dari tangan para kulak. Ini hanya dapat dilakukan dengan kekerasan. Ekspropriasi bahan pangan, bukan hanya dari tangan kaum kulak namun juga dari petani menengah, disebut, dalam bahasa resmi, “kebijakan luar-biasa”. Frasa ini dimaksudkan untuk berarti bahwa esok hari keadaan akan kembali normal. Tetapi kaum tani tidak percaya kata-kata manis, dan mereka benar. Perampasan pangan dengan paksa menghilangkan dorongan untuk meningkatkan produksi di kalangan petani kaya. Buruh tani dan petani miskin mendapati diri mereka menganggur. Pertanian, lagi-lagi, terjebak di jalan buntu, demikian juga negara. “Kebijakan umum” ini harus dirubah bagaimanapun juga.

Stalin dan Molotov, yang masih memberi tempat utama bagi usaha tani perorangan, mulai menekankan pentingnya perkembangan yang lebih pesat dari pertanian soviet dan kolektif. Tetapi karena kebutuhan pangan yang mendesak tidak memungkinkan penghentian dana militer ke pedesaan, program pertanian kolektif ini dibiarkan menggantung di udara. Pemerintah terpaksa “meluncur” ke kolektivisasi. “Kebijakan luarbiasa” ekspropriasi pangan yang sifatnya sementara ini tiba-tiba berkembang menjadi “penghapusan kulak sebagai sebuah kelas.” Dari serangkaian perintah yang penuh kontradiksi, yang lebih sering keluar daripada pembagian pangan, makin jelaslah bahwa dalam masalah pertanian pemerintah bukan saja tidak memiliki sebuah rencana lima tahun, rencana lima bulan pun tidak punya.

Menurut rencana yang baru, yang dirancang pada saat krisis pangan mulai mengguncang, pada akhir masa lima tahun ini pertanian kolektif haruslah mencakup 20 persen dari seluruh usaha pertanian. Program ini – yang tingkat kesulitannya akan jelas jika Anda mempertimbangkan bahwa di masa sepuluh tahun sebelumnya kolektivitasi hanya mencakup 1 persen dari seluruh negeri – akhirnya mengalami ketertinggalan yang parah memasuki paro masa lima tahun itu. Di bulan November 1929, Stalin, yang meninggalkan keraguannya, memaklumatkan berakhirnya masa usaha tani perorangan. Kaum tani, katanya, kini akan memasuki pertanian kolektif “di semua desa, wilayah administratif bahkan propinsi.” Yakovleva, yang dua tahun lalu bersikeras bahwa kolektif pertanian dalam tahun-tahun ke depan hanya akan menjadi “pulau-pulau di tengah lautan usaha tani perorangan”, kini menerima perintah selaku Komisar Pertanian untuk “menghapus kulak sebagai sebuah kelas” dan mendirikan sebuah kolektivisasi penuh dalam “waktu sesingkat-singkatnya.” Pada tahun 1929, proporsi pertanian kolektif meningkat dari 1,7 persen menjadi 3,9 persen. Pada tahun 1930 meningkat lagi menjadi 23,6 persen, pada tahun 1931 menjadi 52,7 persen, pada tahun 1932 menjadi 61,5 persen.

Pada saat ini, hampir tidak ada orang yang cukup bodoh untuk mengulangi omong-kosong kaum liberal bahwa kolektivitasi secara keseluruhan dicapai dengan kekerasan. Epos historis terdahulu menunjukkan bahwa kaum tani yang berjuang untuk tanah pernah mengangkat senjata melawan kaum tuan tanah, pada waktu yang lain mereka mengirim segerombolan petani untuk menduduki tanah yang tidak digarap, pada saat lain lagi mereka berbondong-bondong bergabung ke dalam sekte yang menjanjikan kaum muzhik sebuah tempat di surga untuk tanahnya yang kecil di muka bumi ini. Kini, setelah ekspropriasi tanah-tanah pertanian besar dan pemetakkan tanah-tanah tersebut secara ekstrim, penyatuan petak-petak tanah tersebut telah menjadi masalah hidup mati bagi kaum tani, pertanian, dan masyarakat secara keseluruhan.

Walaupun demikian, masalahnya masih jauh dari terselesaikan bila hanya memperhatikan pertimbangan sejarah umum ini. Kemungkinan riil dari kolektivitasi ditentukan, bukan dari tingkat kemandegan di desa-desa dan bukan oleh semangat administratif pemerintah, tetapi terutama oleh sumberdaya produktif yang tersedia – yakni, kemampuan industri untuk menyediakan mesin-mesin yang dibutuhkan pertanian skala besar. Kondisi material ini kurang tersedia. Pertanian kolektif didirikan dengan peralatan yang hanya cocok untuk pertanian skala kecil. Dalam kondisi ini, kolektivitasi yang terlalu pesat ini mengambil karakter sebagai sebuah avonturisme ekonomi.

Terkejut sendiri oleh radikalisme pergeseran kebijakannya, pemerintah tidak (dan tidak sanggup) membuat persiapan politik yang paling bersahaja sekalipun untuk arah baru ini. Bukan hanya massa kaum tani, tetapi juga organ kekuasaan setempat, tidak tahu apa yang dituntut dari mereka. Kaum tani dipanas-panasi oleh rumor bahwa ternak dan harta milik mereka akan disita oleh negara. Rumor ini juga tidak terlalu melenceng dari kenyataan. Pada dasarnya, birokrasi tengah mewujudkan karikatur kebijakan Oposisi Kiri dengan “merampok desa-desa.” Kolektivisasi di mata kaum tani nampak terutama sebagai bentuk penyitaan semua harta benda mereka. Mereka tidak hanya mengkolektivisasi kuda, sapi, domba, babi tetapi juga anak ayam yang baru menetas. Mereka melakukan “dekulakisasi”, sebagaimana yang ditulis seorang pengamat asing, “sampai sepatu kulit, yang dirampas dari kaki-kaki anak-anak kecil.” Sebagai hasilnya, terjadilah penjualan ternak besar-besaran dengan harga murah oleh para petani atau pembantaian ternak untuk diambil daging dan kulitnya.

Pada bulan Januari 1930, di sebuah kongres di Moskow, salah satu anggota Komite Sentral, Andreyev[14], menggambarkan dua sisi dari kolektivisasi: di satu sisi dia menilai bahwa sebuah gerakan kolektif yang tengah berkembang dengan kuat di seluruh negeri “kini akan melibas semua hambatan yang menghadang jalannya”; di sisi lain, penjualan peralatan pertanian, ternak, bahkan juga benih secara besar-besaran oleh para petani sebelum memasuki kolektif “semakin memasuki proporsi yang membahayakan.”

Betapapun kontradiktifnya dua generalisasi ini, mereka dengan tepat menunjukkan dari kedua sisi yang bertentangan watak epidemik dari kolektivisasi sebagai sebuah tindakan yang putus asa. “Kolektivisasi penuh,” tulis salah satu kritikus asing, “melemparkan perekonomian nasional ke dalam kehancuran yang nyaris belum pernah terjadi sebelumnya, seperti negeri ini baru saja melewati perang selama tiga tahun.”

Dua puluh lima juta egoisme kaum tani yang terisolasi, yang kemarin merupakan satu-satunya tenaga penggerak pertanian – lemah,  selemah seekor kuda tua pesakitan, tetapi tetap saja sebuah kekuatan – berusaha digantikan oleh birokrasi dalam sekali sapu dengan 2000 kantor administrasi pertanian kolektif, yang kekurangan peralatan teknik, pengetahuan agronomik dan dukungan para petani itu sendiri. Konsekuensi parah dari avonturisme ini langsung menghantam, dan berlangsung bertahun-tahun. Total panen gandum, yang telah meningkat pada tahun 1930 menjadi 37,9 juta ton, jatuh pada tahun berikutnya menjadi 31,8 juta ton. Penurunan ini tampak tidak begitu parah, akan tetapi jumlah gandum yang hilang ini adalah sebesar yang dibutuhkan untuk menjaga batas kelaparan di kota-kota. Dalam hasil perkebunan hasilnya lebih buruk lagi. Pada masa menjelang kolektivisasi, produksi gula telah mencapai hampir 1600 juta kilogram; pada puncak pelaksanaan kolektivisasi penuh, produksi ini jatuh menjadi 768 juta kilogram, karena kurangnya pasokan bit – yakni separuh dari tingkat produksi sebelumnya. Akan tetapi kerusakan yang paling besar melanda peternakan. Jumlah kuda terpangkas 55 persen – dari 34,6 juta di tahun 1929 menjadi 15,6 juta di tahun 1934. Jumlah ternak bertanduk jatuh dari 30,7 juta menjadi 19,5 juta – yakni sebesar 40 persen. Jumlah babi, turun 55 persen; domba turun 66 persen. Jumlah rakyat yang mati – karena kelaparan, hawa dingin, epidemik dan tindakan represi – sayangnya kurang teliti pencatatannya dibandingkan dengan kematian ternak, tetapi jumlahnya juga mencapai jutaan. Pihak yang bersalah untuk jatuhnya korban ini bukanlah upaya kolektivisasi itu sendiri, tetapi metode kerja yang membabi-buta, penuh dengan kekerasan dan avonturisme dalam penerapannya. Kaum birokrasi tidak sanggup meramalkan apa-apa. Bahkan undang-undang dasar untuk pertanian kolektif, yang berusaha mengikat kepentingan pribadi kaum tani dengan keberhasilan usaha pertanian kolektif, tidak diterbitkan sampai desa-desa yang sial itu telah sepenuhnya dihancurkan dengan kejam.

Watak pemaksaan dari arah baru ini muncul dari keperluan untuk menemukan penyelamatan dari konsekuensi kebijakan tahun 1923-28. Walau demikian, kolektivisasi dapat dan seharusnya dilakukan dalam tempo yang lebih masuk akal dan dalam bentuk yang dipikirkan lebih masak. Dengan kekuasaan dan industri di tangan mereka, kaum birokrasi seharusnya dapat meregulasi proses ini tanpa harus membawa seluruh bangsa ke tepi jurang kehancuran. Mereka dapat, dan seharusnya, menjalankan tempo yang lebih bersesuaian dengan sumberdaya material dan moral negeri ini.

“Di bawah kondisi yang menguntungkan, internal dan eksternal,” tulis terbitan “Oposisi Kiri” di pengasingan tahun 1930, “kondisi material-teknik dari pertanian dapat, dalam jangka 10 sampai 15 tahun, diubah sampai ke akar-akarnya, dan menyediakan basis produktif untuk kolektivisasi. Akan tetapi, selama tahun-tahun yang berlalu tersebut, kekuasaan Soviet terancam lebih dari sekali.”

Peringatan ini tidaklah mengada-ada. Belum pernah ada ancaman kehancuran yang menggantung begitu dekat di ubun-ubun Revolusi Oktober, sebagaimana di tahun-tahun kolektivisasi penuh. Ketidakpuasan, ketidakpercayaan, kepahitan, menggerogoti seluruh negeri. Gangguan terhadap nilai mata uang, meningkatnya harga-harga, transisi dari sebuah kondisi mirip perdagangan antara negara dengan kaum tani menuju sebuah pajak atas pangan, daging dan susu, pertarungan hidup-mati terhadap penjarahan massal atas properti kolektif dan penyembunyian hasil penjarahan ini, mobilisasi partai yang murni militeristik untuk menghadapi sabotase kaum kulak (setelah “penghapusan” kulak sebagai sebuah kelas) dan diiringi oleh kembalinya kupon makanan dan jatah bagi mereka yang kelaparan, dan akhirnya kembali diberlakukannya sistem paspor – semua langkah ini menghidupkan kembali, di seluruh negeri, suasana perang sipil yang rasanya telah lama berakhir.

Pasokan pangan dan bahan baku bagi pabrik-pabrik semakin memburuk dari musim ke musim. Kondisi kerja yang tak tertanggungkan menyebabkan migrasi tenaga kerja, kemangkiran, kerja serampangan, kerusakan mesin, tingginya persentase produk gagal dan kualitas barang yang umumnya rendah. Produktivitas tenaga kerja turun 11,7 presen di tahun 1931. Menurut sebuah pengakuan dari Molotov, yang dimuat di koran-koran Soviet, produksi industrial di tahun 1932 hanya naik 8,5 persen, bukannya 36 persen seperti yang diindikasikan oleh rencana tahun itu. Seluruh dunia segera diberitahu bahwa rencana lima tahun ini telah dicapai dalam empat tahun dan tiga bulan. Tetapi itu hanya berarti bahwa sinisme birokrasi dalam manipulasinya atas statistik dan opini publik tidaklah ada batasnya. Akan tetapi masalah utamanya bukan itu. Bukan nasib rencana lima tahun, namun nasib rejim itu sendiri yang dipertaruhkan.

Rejim ini selamat.

Tetapi itu adalah berkat karakter rejim itu sendiri, yang telah mengakar dalam kesadaran massa. Selamatnya rejim ini juga berkat kondisi eksternal yang menguntungkan. Di tahun-tahun kekacauan perekonomian dan perang sipil di pedesaan, Uni Soviet pada hakikatnya lumpuh di hadapan musuh-musuh asingnya. Ketidakpuasan kaum tani menggelora di tengah angkatan bersenjata. Ketidakpercayaan dan keragu-raguan mendemoralisasi mesin birokrasi dan kader-kader kepemimpinan. Sebuah pukulan dari Timur ataupun Barat pada masa itu mungkin akan menimbulkan konsekuensi yang fatal.

Untungnya, tahun-tahun pertama krisis di dalam perdagangan dan industri telah menciptakan, di seluruh dunia kapitalis, suasana penantian yang penuh dengan kewaspadaan dan kebingungan. Tidak seorangpun siap untuk berperang; tidak ada yang berani mencobanya. Terlebih lagi, di semua negeri yang bermusuhan dengan Rusia, tidak ada yang menyadari keakutan pergulatan sosial yang mengguncang seluruh negeri Soviet di bawah gemuruh alunan resmi yang disanjung sebagai “garis umum.”

*  *  *

Sekalipun singkat, penjabaran historis kami menunjukkan, kami harap, seberapa jauh terpisahnya perkembangan aktual negeri buruh ini dengan gambaran damai yang dipenuhi dengan kesuksesan yang menumpuk setahap demi setahap dan terus menerus. Dari krisis di masa lalu kami akan memformulasikan indikasi-indikasi penting untuk masa depan. Namun, di samping itu, satu kilasan historis atas kebijakan ekonomi pemerintah Soviet dan zig-zag yang dilakukannya, bagi kami, sangat diperlukan untuk menghancurkan pemujaan pribadi yang diciptakan secara artifisial, dimana keberhasilan-keberhasilan rejim ini, baik yang nyata maupun yang palsu, dinyatakan sebagai hasil dari kualitas kepemimpinan yang luar biasa, dan bukan karena karakter sosialis yang diciptakan oleh revolusi.

Superioritas objektif dari rejim sosial yang baru ini juga menampakkan dirinya, tentu saja, dalam metode-metode yang digunakan para pemimpinnya. Namun metode-metode ini mencerminkan keterbelakangan ekonomi dan budaya negeri ini, dan watak borjuis kecil yang picik, yang menjadi kondisi di mana kader-kadernya terbentuk.

Akan menjadi kesalahan yang amat buruk bila kita menyimpulkan dari sini bahwa kebijakan para pemimpin Soviet sama sekali tidak penting. Tidak ada pemerintahan lain di dunia dimana nasib seluruh negeri terkonsentrasikan di tangan para pemimpinnya. Keberhasilan dan kegagalan seorang kapitalis tergantung, tentu saja tidak sepenuhnya namun pada tingkat yang penting dan kadang menentukan, pada kualitas pribadinya. Mutatis mutandis[15], dalam hubungannya dengan keseluruhan sistem ekonomi pemerintahan, Uni Soviet menempati posisi sejajar dengan seorang kapitalis terhadap sebuah perusahaan. Watak sentralisasi dari perekonomian nasional mengubah kekuasaan negara menjadi sebuah faktor yang teramat penting. Tetapi, justru untuk alasan itulah kebijakan negara haruslah dinilai, bukan dari hasil akhirnya, bukan dari data statistik, namun oleh peran khusus yang dimainkan oleh kepemimpinan yang terencana dalam mencapai hasil-hasil tersebut.

Zig-zag dari arah yang ditempuh pemerintah telah mencerminkan, bukan hanya kontradiksi objektif situasinya, namun juga ketidakcakapan para pemimpinnya untuk memahami kontradiksi-kontradiksi pada waktunya dan mengambil tindakan pencegahan. Tidaklah mudah untuk menggambarkan kesalahan para pemimpin dalam angka-angka, tetapi skema penjelasan sistematik kami mengenai sejarah zig-zag ini memberikan kesimpulan bahwa mereka telah menaruh beban biaya overhead yang luar biasa terhadap perekonomian Soviet.

Tentu saja masih sulit dimengerti – setidaknya dengan sebuah pendekatan rasional terhadap sejarah – bagaimana dan mengapa sebuah faksi yang paling miskin dalam ide, dan yang paling banyak membuat kesalahan, dapat menang atas kelompok-kelompok lainnya dan memusatkan kekuasaan tak terbatas di tangannya sendiri. Analisa kami selanjutnya akan memberi kita kunci pemahaman terhadap hal ini juga. Kita juga akan melihat bagaimana metode birokratik dari sebuah kepemimpinan otokratik semakin berbenturan dengan tuntutan-tuntutan perekonomian dan budaya, dan bagaimana krisis-krisis dan gangguan-gangguan baru akan muncul dalam perkembangan Uni Soviet.

Akan tetapi, sebelum membahas masalah peran ganda birokrasi “sosialis”, kita harus menjawab dulu pertanyaan: Apa hasil dari kesuksesan-kesuksesan baru-baru ini? Apakah sosialisme telah tercapai di Uni Soviet? Atau, dengan lebih hati-hati: Apakah pencapaian ekonomi dan budaya saat ini merupakan satu jaminan terhadap bahaya kembalinya kapitalisme – sebagaimana masyarakat borjuis pada tahapan tertentu dalam perkembangannya mendapatkan jaminan dari kesuksesannya terhadap bahaya kembalinya sistem perhambaan dan feudalisme?

 


Catatan

[1] Komunisme Militer adalah sistem ekonomi Uni Soviet selama perang sipil, 1918-1921. Kebijakan ini diadopsi oleh Bolshevik dengan tujuan utama untuk menyediakan kota-kota dan Tentara Merah dengan persedian untuk peperangan melawan Tentara Putih dan sekutu-sekutu imperialisnya. Satu tugas utama dari Komunisme Militer adalah penyitaan gandum dari petani untuk memberi makan populasi kota yang kelaparan. Pada saat yang sama, industri Rusia difokuskan untuk menyediakan persenjataan untuk Tentara Merah. Kebijakan yang keras ini terpaksa diambil oleh Bolshevik karena situasi ekonomi dan militer yang berbahaya.  Setelah usainya perang sipil, kebijakan ini ditanggalkan dan digantikan dengan Kebijakan Ekonomi Baru atau NEP (New Economic Policy).

[2] Kebijakan Ekonomi Baru, atau New Economic Policy (NEP), adalah kebijakan ekonomi yang diambil oleh Uni Soviet setelah perang sipil yang menghancurkan sendi-sendi ekonomi negeri. Kebijakan ini disahkan pada tahun 1921 di Kongres Partai Komunis Kesepuluh untuk menggantikan kebijakan Komunisme Militer. NEP adalah inisiatif Lenin. Melihat kehancuran ekonomi akibat Perang Sipil, Lenin menganjurkan NEP sebagai kebijakan sementara untuk memperbolehkan pasar bebas dan investasi asing.

[3] Kulak adalah istilah di Rusia untuk petani kaya.

[4] Sosialisme Militer adalah kebijakan negeri-negeri kapitalis pada Perang Dunia Pertama dimana sektor-sektor industri yang berkaitan dengan perang diambil kendali oleh pemerintah kapitalis guna menggenjot output persenjataan.

[5] Muhzik adalah julukan untuk petani Rusia

[6] Oposisi Kiri dibentuk di Rusia tahun 1923 untuk merespon gelombang Stalinisme. Kaum Oposisi diberi label sebagai Trostkyis (karena de fakto Trotsky adalah pemimpin oposisi). Sementara sayap kanan partai disebut sebagai Stalinis (karena Stalin adalah de fakto pemimpinnya) Salah satu pertentangan utama adalah kemungkinan mempertahankan sosialisme tanpa revolusi dunia. Oposisi Kiri mendukung gagasan bahwa tanpa bantuan revolusi di Barat maka akan terjadi degenerasi birokrasi di Uni Soviet, sementara sayap kanan mendukung gagasan bahwa sosialisme dapat di bangun di satu negeri. Pada tahun 1927 anggota Oposisi Kiri dikeluarkan dari Partai Komunis Uni Soviet. Tidak lama kemudian Oposisi Kiri Internasional dibentuk. Hampir semua anggota partai yang mengikuti atau mendukung Oposisi Kiri dengan cara apapun dieksekusi pada saat Pengadilan Moskow (1936-38).

[7] Nikholai Bukharin (1888-1938) adalah seorang Bolshevik. Dia adalah angggota faksi ‘Komunis-Kiri’ yang menentang penandatanganan Perdamaian Brest-Litovsk pada tahun 1917. Dia membentuk blok kanan bersama Zinoviev, Kamenev, dan Stalin pada tahun 1923 untuk melawan Trotsky. Dia juga merupakan juru bicara utama dalam mendukung petani kaya pada saat NEP (New Economic Policy). Dia adalah editor Pravda 1918-1929, kepala Komintern 1926-1929. Pecah dengan Stalin pada tahun 1928 untuk memimpin Oposisi Kanan. Trotsky mengatakan bahwa Bukharin “harus selalu menempelkan dirinya pada seseorang, menjadi tidak lebih dari medium bagi aksi dan perkataan orang lain. Kau harus selalu mengawasinya.” Fokus pengabdiannya adalah pada teori ekonomi dan dia dianggap sebagai salah satu teoritikus utama dari Partai Bolshevik. Dikeluarkan dari partai pada tahun 1929 karena pemikirannya. Dieksekusi setelah Pengadilan Moskow Ketiga pada tahun 1938.

[8] Gregory Zinoviev (1883-1936) adalah Presiden Komintern 1919-1926. Bersama dengan Kamanev, Zinoviev menentang rencana Revolusi Oktober 1917 karena merasa bahwa revolusi ini terlalu prematur. Dengan Stalin dan Kamenev, ia melancarkan perang melawan Trotskyisme pada tahun 1923. Kemudian membuat blok bersama Trotsky untuk melawan Stalin pada tahun 1926-27. Dia lalu dikeluarkan dari Partai Komunis pada tahun 1927 sebagai akibatnya,. Tidak lama kemudian dia menyerah pada Stalin dan diijinkan masuk kembali ke dalam Partai Komunis. Dikeluarkan lagi pada tahun 1932, dia kemudian menyangkal pemikirannya, namun kemudian dihukum sepuluh tahun penjara. Pada tahun 1935 Zinoviev diadili lagi pada saat Pengadilan Moskow yang pertama tahun 1936 dan dieksekusi.

[9] Leon Kamenev (1883-1936) adalah anggota pendiri Partai Buruh Sosial Demokrat Rusia. Kamenev juga merupakan teman lama Lenin. Bersama dengan Zinoviev, dia menentang rencana Revolusi Oktober. Sehari setelah revolusi, Kamenev dipilih menjadi ketua Komite Sentral Eksekutif oleh Kongres Kedua Soviet dan kemudian merupakan salah satu dari anggota pertama politbiro pada tahun 1919. Pada tahun 1923 Kamenev bergabung bersama Stalin dan Zinoviev membentuk triumvirate (troika) melawan Trotskyisme. Tiga tahun kemudian Kamenev membentuk sebuah blok bersama Trotsky melawan Stalinisme. Sebagai akibatnya, Kamenev dikeluarkan dari Partai Komunis pada tahun 1927. Kamenev meminta pengampunan agar diijinkan kembali masuk ke dalam partai. Dia masuk kembali ke partai pada tahun 1928. Pada tahun 1932, Kamenev dikeluarkan kembali, namun kembali meminta pengampunan kepada Stalin untuk dapat masuk kembali ke Partai, dan kemudian dimaafkan. Tiga tahun kemudian, Kamenev dihukum penjara sepuluh tahun atas konspirasi untuk membunuh Stalin. Pada Pengadilan Moskow tahun 1936, Kamenev diadili dengan tuduhan pengkhianatan terhadap Negara Soviet dan dieksekusi.

[10] Varvara Yakovleva (1884-1941 atau 1944) bergabung dengan Bolshevik pada tahun 1904. Dia mendukung usaha Trotsky untuk mendemokratisasi partai. Pada Pengadilan Moskow ketiga tahun 1937, dia dihukum penjara 20 tahun dengan tuduhan terlibat dengan kelompok teroris. Pada tahun 1941 atau 1944 dia ditembak mati di penjara.

[11] Alexei Rykov (1881-1938) bergabung dengan Bolshevik pada tahun 1903. Rykov terpilih menjadi Komisaris Dalam Negeri pemerintahan Soviet. Setelah kematian Lenin, Rykov dipilih menjadi Ketua Dewan Komisaris Rakyat dan selama enam tahun berada dalam posisi tersebut, dari tahun 1924 hingga 1930. Rykov dieksekusi setelah dinyatakan bersalah pada Pengadilan Moskow tahun 1938.

[12] Mikhail Tomsky (1880-1936) adalah seorang pekerja pabrik, aktivis buruh, dan pemimpin Bolshevik. Dia bergabung dengan Bolshevik pada tahun 1904. Pada saat Revolusi 1905, dia membantu pendirian Soviet pekerja metal di Revel. Pada tahun 1920, dia menjadi Sekretaris Jendral Profintern, atau Serikat Buruh Merah Internasional, yang dibentuk untuk mengkoordinasi aktivitas kaum komunis di serikat buruh. Tomsky adalah sekutunya Bukharin, dan pada tahun 20an dia bersekutu dengan Stalin dalam melawan Trotsky. Pada tahun 1936 dia dituduh berkonspirasi dengan Zinoviev dan Kamenev. Setelah diberitahu bahwa dia akan ditangkap oleh NKDV (polisi rahasia Uni Soviet), dia memilih bunuh diri.

[13] Komunis Internasional (1919-1943), disebut juga Internasional Ketiga. Setelah kemenangan Revolusi Rusia pada tahun 1917 dan sementara republik Soviet masih berjuang dalam Perang Sipil, Bolshevik menyerukan kepada kaum revolusioner sedunia untuk datang ke Moskow dan membentuk sebuah organisasi internasional baru dari kaum komunis yang revolusioner. Setelah Uni Soviet sendiri mulai mengalami degenerasi, yakni setelah kematian Lenin dan pengasingan Trotsky, dan Josef Stalin duduk sebagai pemimpin, Komunis Internasional mulai mengalami degenerasi. Komunis Internasional dibubarkan oleh Stalin pada tahun 1943 untuk berkompromi dengan kekuatan Sekutu.

[14] Andrey Andreyev (1895-1971) bergabung dengan Bolshevik selama Perang Dunia Pertama. Dia menjadi anggota Politbiro dari tahun 1932-1952.

[15] Mutatis mutandis adalah ekspresi bahasa latin yang berarti di dalam kondisi yang serupa.

 


BAB I
DAFTAR ISI
BAB III