Revolusi Proletariat dan Kautsky si Pengkhianat

V.I. Lenin (1918)


Apakah mungkin bisa ada kesetaraan antara yang tereksploitasi dan yang mengeksploitasi?

 

Kautsky memaparkan argumennya seperti berikut ini:

(1) “Yang mengeksploitasi selalu hanya membentuk minoritas kecil di dalam populasi.” (hal. 14 dari pamflet Kautsky)

Ini benar. Berangkat dari sini, apa argumennya? Kita dapat berargumen dengan metode Marxis, dengan metode sosialis, yakni kita mulai dari hubungan antara yang tereksploitasi dan yang mengeksploitasi. Atau kita dapat berargumen dengan metode liberal, dengan metode demokrasi-borjuis. Dan bila demikian, kita akan mulai dari hubungan antara mayoritas dan minoritas.

Bila kita berargumen secara Marxis, kita harus mengatakan: kaum yang mengeksploitasi niscaya mengubah negara (dan kita sedang berbicara mengenai demokrasi, yakni salah satu bentuk negara) menjadi sebuah instrumen untuk kekuasaan kelas mereka. Oleh karenanya, selama ada kaum pengeksploitasi yang berkuasa atas mayoritas yang tereksploitasi, negara demokratis ini niscaya adalah demokrasi untuk kaum pengeksploitasi. Sebuah negara kaum tereksploitasi secara fundamental harus berbeda dari negara kaum pengeksploitasi; ia haruslah berupa demokrasi untuk yang tereksploitasi, dan alat untuk menindas yang mengeksploitasi; dan penindasan terhadap sebuah kelas berarti ketidaksetaraan untuk kelas tersebut, ini berarti kelas tersebut disisihkan dari “demokrasi”.

Bila kita berargumen secara liberal, kita harus mengatakan: mayoritas memutuskan, minoritas tunduk. Mereka yang tidak tunduk akan dihukum. Begitu saja. Tidak ada yang perlu dikatakan mengenai karakter kelas dari negara secara umum, atau mengenai “demokrasi murni” khususnya, karena ini tidaklah relevan, karena mayoritas adalah mayoritas dan minoritas adalah minoritas. Satu pon daging adalah satu pon daging, dan begitu saja.

Dan begini cara Kautsky berargumen:

(2) “Mengapa kekuasaan oleh kaum proletariat harus mengambil sebuah bentuk yang tidak kompatibel dengan demokrasi?” (hal. 21)

Lalu ini disusul dengan penjelasan yang sangat terperinci dan panjang lebar, yang didukung oleh sebuah kutipan dari Marx dan hasil pemilu Komune Paris, di mana proletariat adalah mayoritas. Kesimpulannya adalah: “Sebuah rejim yang mendapatkan dukungan yang sangat kuat dari rakyat tidak punya alasan sama sekali untuk melanggar demokrasi. Ia tidak dapat menggunakan kekerasan ketika kekerasan ini digunakan untuk menekan demokrasi. Kekerasan hanya dapat dilawan dengan kekerasan. Tetapi sebuah rejim yang tahu bahwa ia punya dukungan rakyat akan menggunakan kekerasan hanya untuk melindungi demokrasi dan bukan untuk menghancurkan demokrasi. Adalah bunuh diri kalau rejim ini mencampakkan dukungan yang begitu kuat dari pemilu universal, yang merupakan sumber otoritas moral yang besar.” (hal. 22)

Seperti yang kita lihat, hubungan antara yang tereksploitasi dan yang mengeksploitasi telah hilang di dalam argumen Kautsky. Yang ada hanya mayoritas secara umum, minoritas secara umum, demokrasi secara umum, “demokrasi murni” yang telah kita kenal dengan baik.

Dan semua ini katanya berkaitan dengan Komune Paris! Untuk lebih jernihnya saya akan mengutip Marx dan Engels, guna menunjukkan apa yang mereka katakan mengenai kediktatoran dalam kaitannya dengan Komune Paris:

Marx: “... Ketika kaum buruh menggantikan kediktatoran borjuis dengan kediktatoran revolusioner mereka ... untuk meluluhlantakkan perlawanan balik dari kaum borjuasi ... kaum buruh memberikan negara ini bentuk yang revolusioner dan transisional ...”[1]

Engels: “... Dan pihak yang memang (di dalam sebuah revolusi) harus mempertahankan kekuasaannya dengan senjatanya yang akan mengilhami teror di antara kaum reaksioner. Apakah Komune Paris dapat bertahan lebih dari sehari jika tidak menggunakan otoritas dari rakyat yang bersenjata untuk melawan kaum borjuis? Sebaliknya, apakah kita tidak dapat menyalahkan Komune Paris karena begitu sedikit menggunakan otoritas tersebut?”[2]

Engels: “Karena negara hanyalah sebuah institusi transisional yang digunakan di dalam perjuangan, di dalam revolusi, untuk menekan musuh-musuh dengan kekerasan, maka adalah omong kosong besar untuk berbicara mengenai ‘negara rakyat yang bebas’; selama kaum proletariat masih membutuhkan negara, mereka memerlukannya bukan untuk kepentingan kebebasan tetapi untuk menekan musuh-musuhnya, dan segera setelah mungkin berbicara mengenai kebebasan maka negara akan berhenti eksis.”[3]

Kautsky begitu terpisah dari Marx dan Engels seperti surga dan neraka, seperti seorang liberal dan seorang revolusioner proletariat. Demokrasi murni dan “demokrasi” sederhana yang dibicarakan oleh Kautsky hanyalah parafrasa dari “negara rakyat bebas”, yakni omong kosong besar. Kautsky, dengan aura pengetahuan dari seorang bodoh yang terpelajar, atau dengan keluguan anak sekolah yang berumur 10 tahun, bertanya: Mengapa kita membutuhkan sebuah kediktatoran ketika kita memiliki mayoritas? Dan Marx dan Engels menjelaskan:

-- Untuk meluluhlantakkan perlawanan balik dari kaum borjuasi;

-- Untuk mengilhami rasa takut di antara kaum reaksioner;

-- Untuk mempertahankan otoritas dari rakyat yang bersenjata dalam melawan kaum borjuasi;

-- Agar kaum proletariat dapat menekan musuh-musuhnya secara paksa.

Kautsky tidak memahami penjelasan-penjelasan ini. Begitu jatuh cintanya dia pada “kemurnian” demokrasi, dan tidak dapat melihat karakter borjuasinya, dia “secara konsisten” menyerukan agar pihak mayoritas, karena mereka adalah mayoritas, tidak perlu “menghancurkan perlawanan balik” dari pihak minoritas, tidak perlu “secara paksa menekannya”. Kita hanya perlu menekan kasus-kasus pelanggaran demokrasi. Begitu jatuh cintanya Kautsky dengan “kemurnian” demokrasi, dia dengan tidak sengaja melakukan kesalahan kecil yang selalu dilakukan oleh kaum demokrat borjuis, yakni dia menyamakan kesetaraan formal (yang tidak lain adalah palsu dan munafik di bawah kapitalisme) dengan kesetaraan yang sesungguhnya!

Yang mengeksploitasi dan yang dieksploitasi tidak bisa setara.

Kebenaran ini, tidak peduli betapa tidak menyenangkannya bagi Kautsky, membentuk esensi dari sosialisme.

Kebenaran yang lain: tidak akan pernah bisa ada kesetaraan yang sesungguhnya sampai semua kemungkinan eksploitasi satu kelas oleh kelas yang lain telah benar-benar dihancurkan.

Kaum pengeksploitasi bisa dikalahkan dengan satu pukulan bila pemberontakan berhasil di pusat, atau bila ada pemberontakan di dalam angkatan bersenjata. Tetapi kecuali dalam kasus yang benar-benar unik dan langka, kaum pengeksploitasi tidak bisa dihancurkan dengan satu pukulan. Mustahil untuk menyita semua tuan tanah dan kapitalis di negeri yang besar dengan sekaligus. Terlebih lagi, penyitaan saja, sebagai sebuah aksi legal atau politik, tidak dapat menyelesaikan semua permasalahan, karena kita harus melengserkan para tuan tanah dan kapitalis secara konkret, kita harus menggantikan manajemen pabrik dan pertanian mereka dengan manajemen yang berbeda, manajemen buruh, secara konkret. Tidak bisa ada kesetaraan antara pengeksploitasi – yang selama puluhan generasi kondisi hidupnya lebih baik karena pendidikan, kekayaan, dan kebiasaan mereka – dan yang dieksploitasi, yang mayoritas dari mereka bahkan di republik-republik yang paling maju dan demokratik adalah kaum miskin yang terbelakang, tidak terdidik, penakut, dan terpecah belah. Untuk waktu yang lama setelah revolusi, kaum pengeksploitasi secara tak terelakkan masih akan memiliki sejumlah keunggulan praktis yang besar: mereka masih punya uang (karena mustahil untuk menghapus uang dengan sekaligus); mereka masih punya sejumlah properti yang mudah dipindah-pindahkan – sering kali ini cukup besar; mereka masih punya berbagai koneksi, kemampuan berorganisasi dan manajemen; pengetahuan akan semua “rahasia” manajemen (metode-metode); pendidikan yang lebih baik; koneksi yang dekat dengan teknisi-teknisi ulung (yang hidup dan berpikir seperti kaum borjuasi); jauh lebih berpengalaman dalam seni berperang (ini sangatlah penting), dan seterusnya.

Bila kaum pengeksploitasi dikalahkan hanya di satu negeri – dan ini tentunya adalah tipikal, karena revolusi yang bersamaan di sejumlah negeri adalah sebuah pengecualian yang langka – mereka masih akan tetap lebih kuat daripada kaum tereksploitasi, karena koneksi internasional mereka sangatlah besar. Semua revolusi telah membuktikan bahwa satu lapisan dari kaum tereksploitasi, yang datang dari petani menengah, artisan, dan kelompok-kelompok serupa yang paling terbelakang, mendukung kaum pengeksploitasi. Termasuk juga Komune (karena ada juga proletariat di antara tentara Versailles, yang “dilupakan” oleh Kautsky).

Dalam situasi seperti ini, untuk berasumsi bahwa sebuah revolusi, yang merupakan isu yang sangatlah penting dan serius, ditentukan oleh relasi antara mayoritas dan minoritas adalah puncak dari kebodohan, prasangka yang paling konyol dari seorang liberal, dan usaha untuk menipu rakyat dengan menutup-nutupi dari mereka sebuah kebenaran historis yang telah terbukti. Kebenaran historis ini adalah bahwa di setiap revolusi yang besar kaum pengeksploitasi, yang selama bertahun-tahun masih akan memiliki sejumlah keunggulan praktis yang penting, akan selalu mengobarkan perlawanan yang  berkepanjangan, keras-kepala, dan nekat. Tidak akan pernah – kecuali di dalam mimpi sentimentil dari Kautsky, sang bodoh yang sentimentil – kaum pengeksploitasi akan tunduk pada keputusan dari mayoritas yang tereksploitasi tanpa mencoba menggunakan semua keunggulan mereka dalam sebuah pertempuran terakhir yang nekat atau serangkaian pertempuran.

Transisi dari kapitalisme ke komunisme membutuhkan waktu satu epos sejarah. Sampai epos ini selesai, kaum pengeksploitasi niscaya akan selalu mengharapkan restorasi, dan harapan ini berubah menjadi usaha-usaha untuk restorasi. Setelah kekalahan serius mereka yang pertama, kaum pengeksploitasi yang tertumbangkan – yang tidak menyangka mereka dapat ditumbangkan, tidak pernah percaya kalau ini mungkin, dan tidak pernah mengakui penumbangan mereka – akan melempar diri mereka dengan kekuatan yang berlipat sepuluh kali, dengan gairah yang penuh kegeraman dan kebencian yang tumbuh seratus kali lipat, ke dalam pertempuran untuk mengembalikan “surga” mereka, yang telah direbut dari mereka. Mereka akan bertempur demi keluarga mereka, yang telah menjalani kehidupan yang begitu indah dan penuh kemudahan, yang sekarang oleh “massa rakyat jelata” dihancurkan dan dijadikan miskin (atau dijadikan buruh “biasa”). Di belakang kaum kapitalis adalah sejumlah lapisan luas borjuis kecil. Puluhan tahun pengalaman sejarah dari semua negeri telah membuktikan bahwa mereka tidak tegas dan selalu ragu. Satu hari mereka berbaris di belakang kaum proletariat, dan esok harinya mereka merasa takut akan kesulitan-kesulitan dari revolusi. Mereka menjadi panik ketika buruh mengalami kekalahan atau setengah-kekalahan mereka yang pertama, menjadi gelisah, kebingungan, mengeluh, dan tergopoh-gopoh menyebrang dari satu kamp ke kamp lainnya – seperti kaum Menshevik dan Sosialis-Revolusioner kita.

Di situasi seperti ini, di dalam sebuah epos peperangan yang teramat akut, ketika sejarah mengajukan pertanyaan mengenai eksistensi dari privilese kelas penguasa yang sudah ada selama ribuan tahun, ketika di momen seperti ini ada yang berbicara mengenai mayoritas dan minoritas, mengenai demokrasi murni, mengenai tidak diperlukannya kediktatoran, dan mengenai kesetaraan antara yang mengeksploitasi dan yang dieksploitasi! Sungguh kebodohan yang tak ada batasnya dan filistinisme yang bukan kepalang!

Akan tetapi, selama puluhan tahun keberadaan kapitalisme yang relatif “damai” dari tahun 1871 sampai 1914, sampah filistinisme, kedunguan, dan pengkhianatan menumpuk di partai-partai sosialis yang beradaptasi pada oportunisme ...

***

Para pembaca mungkin telah melihat bagaimana Kautsky, di paragraf yang dikutip di atas, berbicara mengenai usaha untuk melanggar hak pilih universal (di mana dia menggambarkan hak pilih universal sebagai sumber otoritas moral yang besar, sementara Engels, dalam kaitannya dengan Komune Paris dan masalah kediktatoran proletariat, berbicara mengenai otoritas dari rakyat yang bersenjata dalam melawan kaum borjuasi – sungguh perbedaan yang mencolok antara seorang filistin dan seorang revolusioner dalam memandang “otoritas”...)

Perampasan hak pilih dari kaum pengeksploitasi adalah murni kasus Rusia, dan ini bukan masalah kediktatoran proletariat secara umum. Bila saja Kautsky, dengan mengesampingkan kemunafikannya, memberi judul pamfletnya “Menentang Kaum Bolshevik”, judul ini akan sesuai dengan isi pamfletnya, dan Kautsky akan dibenarkan dalam berbicara secara blak-blakan mengenai hak pilih ini. Tetapi Kautsky ingin tampil terutama sebagai “teoretikus”. Dia menyebut pamfletnya “Kediktatoran Proletariat” – secara umum. Dia berbicara mengenai Soviet-soviet dan mengenai Rusia terutama hanya di bagian kedua dari pamfletnya, di mulai dari paragraf keenam. Topik yang ditelaahnya di bagian pertama (yang saya kutip) adalah demokrasi dan kediktatoran secara umum. Dalam berbicara mengenai hak pilih, Kautsky menampilkan dirinya sebagai seorang musuh Bolshevik, yang sama sekali tidak peduli teori. Karena teori, yakni penalaran mengenai fondasi kelas dari demokrasi dan kediktatoran secara umum (dan bukan yang spesifik secara nasional), harus berbicara bukan mengenai masalah yang spesifik, seperti hak pilih, tetapi mengenai pertanyaan yang umum: apakah demokrasi dapat dipertahankan untuk kaum kaya, untuk kaum pengeksploitasi di dalam periode sejarah di mana kekuasaan mereka ditumbangkan dan negara mereka digantikan oleh negara kaum yang tereksploitasi.

Inilah satu-satunya cara seorang teoretikus dapat mengajukan pertanyaan ini.

Kita tahu contoh Komune Paris. Kita tahu semua yang telah dikatakan oleh para bapak Marxisme mengenai ini. Di atas basis materi-materi ini saya memeriksa, misalnya, masalah demokrasi dan kediktatoran di dalam pamflet saya, “Negara dan Revolusi”  yang ditulis sebelum Revolusi Oktober. Saya sama sekali tidak berbicara mengenai pembatasan hak suara. Dan sekarang masalah pembatasan hak suara adalah masalah yang spesifik secara nasional, dan bukan masalah kediktatoran secara umum. Dalam melakukan pendekatan terhadap masalah pembatasan hak suara, kita harus mempelajari kondisi-kondisi spesifik dari Revolusi Rusia dan alur perkembangannya yang spesifik. Ini akan kita lakukan di bagian selanjutnya di pamflet ini. Akan tetapi, akan menjadi sebuah kekeliruan kalau kita sejak awal menjamin bahwa revolusi-revolusi yang akan datang di Eropa semuanya, atau mayoritas, akan disertai dengan pembatasan hak suara kaum borjuasi. Mungkin saja demikian. Setelah peperangan dan pengalaman Revolusi Rusia mungkin saja demikian; tetapi pembatasan hak suara bukanlah hal yang niscaya di dalam kediktatoran, ia bukanlah sesuatu yang diharuskan dari konsep logis “kediktatoran”. Ia sama sekali bukan kondisi yang diharuskan di dalam konsep historis dan kelas “kediktatoran”.

Kondisi yang diharuskan dari kediktatoran adalah penindasan paksa terhadap kaum pengeksploitasi sebagai sebuah kelas, dan, oleh karenanya, pelanggaran “demokrasi murni”, yakni kesetaraan dan kebebasan, dalam kaitannya terhadap kelas tersebut.

Inilah satu-satunya cara masalah ini dapat dikedepankan secara teoritis. Karena ia gagal melakukan ini, Kautsky telah menunjukkan bahwa dia menentang kaum Bolshevik bukan sebagai seorang teoretikus, tetapi sebagai seorang penjilat kaum oportunis dan borjuasi.

Di negeri mana, dan dengan mempertimbangkan fitur-fitur nasional kapitalisme yang ada, demokrasi bagi kaum pengeksploitasi akan dalam satu atau lain bentuk dibatasi (sepenuhnya atau sebagian saja) dan dilanggar adalah masalah fitur-fitur nasional yang spesifik dari kapitalisme ini atau itu, dari revolusi ini atau itu. Pertanyaan teoritisnya berbeda: apakah kediktatoran proletariat mungkin tanpa melanggar demokrasi dari kelas yang mengeksploitasi?

Inilah pertanyaan, satu-satunya pertanyaan yang penting dan esensial secara teoritis, yang dihindari oleh Kautsky. Dia telah mengutip banyak paragraf dari Marx dan Engels, kecuali paragraf-paragraf yang berkaitan dengan pertanyaan ini, dan yang telah saya kutip di atas.

Kautsky berbicara mengenai apapun yang kau sukai, mengenai apapun yang dapat diterima oleh kaum liberal dan kaum demokrat borjuis, dan tidak keluar dari kerangka gagasan mereka. Tetapi dia tidak berbicara mengenai hal yang terutama, yakni kenyataan bahwa kaum proletariat tidak dapat meraih kemenangan tanpa mematahkan perlawanan kaum borjuasi, tanpa secara paksa menekan musuh-musuh mereka. Di mana ada “penekanan secara paksa”, di mana tidak ada “kebebasan”, maka tentunya tidak ada demokrasi.

Ini tidak dipahami oleh Kautsky.

***

Kita sekarang harus memeriksa pengalaman Revolusi Rusia, dan perbedaan antara Soviet dan Majelis Konstituante, yang berakhir pada pembubaran yang belakangan ini dan pembatalan hak suara kaum borjuasi.


Catatan

[1] Baca artikel Marx “L’indifferenza in materia politica” (“On Political Indilferentism”) (Alinanacco Republicano for 1874).

[2] Marx dan Engels, Selected Works, Moskow, 1962, Vol. I, hal. 639.

[3] Baca surat Engels untuk A. Bebel, 18-28 Maret, 1875 (Marx dan Engels, Selected Correspondence, Moskow, 1955, hal. 357).


Demokrasi Borjuis dan Demokrasi Proletariat
DAFTAR ISI
Soviet Tidak Berani Menjadi Organisasi Negara