Sumber: Bintang Merah Nomor Special Jilid I, Dokumen-Dokumen Kongres Nasional Ke-VI Partai Komunis Indonesia, 7-14 September 1959. Yayasan Pembaruan, Jakarta 1960
Dalam Laporan Umum Kawan D.N. Aidit yang disampaikan atas nama Comite Central Partai dan telah disahkan oleh Kongres Nasional ke VI PKI yang dilangsungkan di Jakarta pada tanggal 7-14 September 1959 telah disimpulkan bahwa dengan diambilalihnya perusahaan-perusahaan Belanda dalam rangka perjuangan pembebasan Irian Barat pada akhir tahun 1957 tidaklah berarti bahwa perjuangan nasional untuk melikuidasi sepenuhnya sisa-sisa kolonialisme Belanda sudah selesai. Belum semua kekuasaan dan pengaruh politik, ekonomi, militer dan kebudayaan kaum kolonialis Belanda dihapuskan bersih dari bumi Indonesia, diantaranya yang menyolok ialah adanya kapital Belanda di lapangan perminyakan yang belum diganggugugat sama sekali.
Karena masih mempunyai kekuasaan kapital, kaum kolonialis Belanda masih mampu mengacaukan ekonomi Indonesia dengan tindakan-tindakannya menekan pemerintah untuk memberikan konsesi-konsesi baru dengan jalan melakukan massa-onslah terhadap kaum buruh dan memersulit peredaran minyak keperluan dalam negeri yang tidak hanya vital bagi penghidupan Rakyat, tetapi juga vital bagi keperluan pembangunan dan pertahanan nasional. Juga berarti Belanda masih mempunyai sumber keuangan buat membiayai macam-macam kegiatan subversi dan mengongkosi tentara pendudukannya di Irian Barat. Karena itu Rakyat Indonesia menyokong sepenuhnya peringatan keras Presiden Sukarno dalam Manifesto Politiknya pada tangga 17 Agustus 1959, bahwa jika Belanda dalam soal Irian Barat tetap membandel, jika mereka dalam persoalan klaim nasional kita tetap berkepala batu, maka semua modal Belanda, termasuk yang berada dalam perusahaan-perusahaan campuran, akan habis-tamat riwaytnya sama sekali di bumi Indonesia.
Untuk melindungi kapitalnya yang masih ada dan untuk dapat terus mengangkangi Irian Barat, yang secara sewenang-wenang dan kurang ajar telah ditempatkan di bawah kekuasaan Kementerian Dalamnegeri Belanda, kaum kolonialis Belanda masih terus membiayai gerombolan-gerombolan bersenjata anti Republik Indonesia, mempertahankan kaki tangannya menduduki fungsi penting dalam alat-alat negara dan di lapangan ekonomi dan terus menerus mengancam udara, lautan dan pantai-pantai Indonesia dengan pesawat-pesawat udara dan kapalselam-kapalselam. Kekurang ajaran kolonialis-kolonialis Belanda ini akan berlarut-larut jika kepadanya tidak diberikan jawaban yang setimpal. Jawaban ini tidak lain pemerintah harus mengambil langkah-langkah yang tegas memenuhi tuntutan Rakyat banyak yaitu menasionalisasi semua perusahaan Belanda yang diambilalih tanpa ganti kerugian dan mengoper saham-saham Belanda yang ada dalam BPM.
Sementara orang yang mudah dihinggapi oleh rasa takut kepada imperialisme akan angkat tangan dan berbicara, berhati-hati dalam bertindak di lapangan perminyakan karena soal ini merupakan soal internasional yang gawat. Apa yang dimaksu dengan soal gawat ini tidak lain karena lapangan perminyakan ini menyangkut paut langsung kepentingan kaum imperialis AS yang banyak menanamkan modalnya di lapangan perminyakan. Terhadap kekhawatiran ini Presiden Sukarno telah memberikan penegasan dalam Manifesto Politiknya, bahwa jika modal asing bukan Belanda menjalankan peranan negatif, misalnya diam-diam menjalankan sabotase ekonomi atau secara gelap-gelapan memberi bantuan kepada kontra-revolusi, maka janganlah kaget, jika nanti Rakyat Indonesia memperlakukan mereka sama dengan modal Belanda. Telah menjadi pengalaman politik Rakyat, bahwa pengacauan peredaran minyak tidak hanya dilakukan oleh BPM, juga oleh SVPM, bahwa sekarang imperialis AS belum pernah merubah sikapnya menyokong pendudukan Belanda di Irian Barat dan menjadikan Irian Barat sebagai salah satu pangkalan perang dari SEATO. Juga telah menjadi pengalaman politik Rakyat pada waktu pengambilalihan perusahaan-perusahaan Belanda dan pada waktu menggagalkan percobaan-percobaan pendaratan tentara AS di Pakanbaru untuk membantu secara langsung pemberontakan kontra-revolusioner “PRRI-Permesta”, bahwa kekuatan imperialisme sekarang ini terbatas dan terus merosot.
Situasi internasional dan nasional sekarang lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan waktu ketika mengambil alih perusahaan-perusahaan Belanda pada akhir tahun 1957. dalam rangka pelaksanaan program Kabinet Sukarno-Juanda untuk melanjutkan perjuangan menentang imperialisme ekonomi dan imperialisme politik. Kongres Nasional ke VI PKI menyerukan kepada seluruh Rakyat untuk terus membulatkan persatuan nasional dan meninggikan kewaspadaan nasional sesuai dengan jiwa UUD 1945 dalam melanjutkan perjuangan nasional menghabiskan sama sekali kekuasaan ekonomi Belanda dan membebaskan Irian Barat dengan berpedoman kepada Manifesto Politik Presiden Sukarno.
Kongres Nasional ke VI PKI yang dilangsungkan di Jakarta pada tanggal 7-14 September 1959 telah melihat kenyataan-kenyataan bahwa harapan-harapan akan mendapatkan perbaikan penghidupan telah timbul di kalangan Rakyat dalam mereka menyambut program Kabinet Sukarno-Juanda yang mau melengkapi sandang-pangan Rakyat dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Yang terutama diharapkan oleh Rakyat sekarang ini adalah turunya harga barang-barang kebutuhan hidup sehari-hari. Didorong oleh kenyataan bahwa kabinet-kabinet yang telah silih berganti pada tahun-tahun belakangan ini tidak mampu mengendalikan harga, malahan sedikit atau banyak turut menambah mahalnya harga barang-barang dan menambah kemerosotan tingkat hidup Rakyat, adalah wajar jika suasana baru dengan berlakunya UUD 1945 diharapkan oleh Rakyat akan membawa perubahan di lapangan penghidupan mereka sehari-hari.
Tindakan drastis telah dilakukan oleh Kabinet Sukarno-Juanda yang sejak tanggal 25 Agustus 1959 menurunkan nilai uang kertas Rp. 500,- dan Rp. 1000,- menjadi Rp. 50,- dan Rp. 100,-; pembekuan 90% simpanan uang pada bank-bank di atas jumlah Rp, 25.000,- dan menghapus sistem B.E. diganti dengan sistem PUEK (Pemungutan Expor) dan PUIM (Pemungutan Impor). Bersamaan dengan melakukan sanering uang ini dijalankan devaluasi rupiah dengan menetapkan nilai dolar Amerika Serikat menjadi Rp. 45,- nilai mana adalah lebih besar daripada waktu berlakukan B.E. yang berjumlah Rp. 38,- untuk tiap dollar AS.
Karena kurangnya persiapan-persiapan yang diperlukan, tindakan drastis pemerintah itu menimbulkan banyak keluh kesah dan tuntutan-tuntutan supaya Rakyat, terutama kaum buruh, kaum tani, pedagang-pedagang dan pengusaha-pengusaha kecil tidak menjadi korban, demikian juga pengusaha-pengusaha nasional tidak kekurangan modal, sehingga yang dirugikan hanyalah kaum modal asing, kaum spekulan dan koruptor. Tanpa mencegah akibat-akibat yang merugikan Rakyat, apalagi jika tidak membawa penurunan harga, sanering uang itu hanyalah mengecewakan Rakyat.
Rakyat Indonesia telah mengalami gunting uang model Syafrudin Prawiranegara yang hanya menguntungkan kaum modal besar asing dan komplotannya dan macam-macam tindakan moneter di lapangan ekspor-impor seperti sistem BE yang semuanya ini tidak membawa perbaikan apa-apa di lapangan keuangan dan ekonomi, malahan mengacaukan harga barang-barang kebutuhan hidup Rakyat sehari-hari. Pada waktu sekarang tingkat harga barang-barang impor kebutuhan Rakyat sudah naik secara luarbiasa yaitu 700% sampai 800% dari tingkat harga sebelum BE. Dan harga barang-barang impor sekarang dengan resmi dinaikkan oleh pemerintah dengan dilakukannya devaluasi rupiah, ditambah dengan PUIM sebagai pengganti TPI yang bagi beberapa golongan barang terdapat kenaikan-kenaikan prosentase.
Laporan Umum Kawan D.N. Aidit atasnama Comite Central Partai yang telah disahkan oleh Kongres telah menandaskan bahwa kaum spekulan berhasil menunggangi situasi peredaran barang-barang yang sangat sulit, selain karena macetnya produksi dalam negeri, terbatasnya persediaan barang-barang impor dan tidak lancarnya transpor, adalah juga karena politik harga yang mendorong merajalelanya spekulasi.
Suburnya spekulasi ini bersumber kepada politik harga liberal, yaitu menyesuaikan harga pemerintah dengan harga pasar dengan alasan supaya tidak terdapat perbedaan harga resmi dan harga pasar yang sudah tinggi. Dalam prakteknya politik harga yang liberal ini memaksa pemerintah mengikuti apa yang diperbuat oleh kaum spekulan yang selalu mempermainkan harga untuk mengejar keuntungan sebesar-besarnya dengan mengorbankan kepentingan konsumen yang sebagian terbesar terdiri dari massa Rakyat yang tidak mampu.
Politik harga yang liberal, ditambah oleh masih berlakunya sistem distribusi dan lisensi yang hanya menguntungkan pedagang-pedagang dan tukang-tukang catut besar telah cukup mengacaukan keadaan harga, karena itu harus diubah menjadi politik harga yang terpimpin, yaitu melaksanakan politik harga rendah yang ditetapkan dan dikendalikan secara konsekuen oleh pemerintah. Cara mengendalikan harga dan mencegah merajalelanya spekulasi dan catut adalah supaya pemerintah mengharuskan pasar mengikuti harga rendah yang ditetapkan oleh pemerintah dengan membanjiri pasar dengan barang-barang kebutuhan Rakyat sehari-hari dan langsung melaksanakan distribusi barang-barang tersebut untuk menjamin golongan konsumen yang tidak mampu.
Pelaksanaan politik harga yang terpimpin harus disertai dengan pelaksanaan politik distribusi yang ditujukan untuk sebanyak mungkin mengurangi jumlah pedagang perantara dan menggunakan koperasi-koperasi Rakyat. RK-RK, RT-RT dan warung-warung sebagai saluran distribusi yang utama. Pembaharuan politik distribusi ini diperlukan karena hingga sekarang masih berlaku susunan aparat perdagangan yang berlapis-lapis dalam peredaran barang-barang di pasar antara importir atau distributor dengan penjual eceran yang menyebabkan adanya pedagang-pedagang perantara yang sangat banyak jumlahnya yang mengakibatkan pengambilan keuntungan yang banyak dan berlapis-lapis pula oleh macam-macam golongan parasiter atas kerugian para konsumen.
Kaum modal besar asing dan komplotannya dan golongan-golongan parasiter lainnya yang terdiri dari tukang-tukang catut besar dan koruptor-koruptor sipil dan militer membuat kampanye reaksioner dengan menyebarkan bisikan-bisikan yang beracun, bahwa tindakan tegas pemerintah dalam mengendalikan harga hanya membuat hilangnya barang-barang dari pasar. Hilangnya barang-barang ini dapat dicegah asalkan pemerintah menguasai sepenuhnya ekspor-impor, menguasai cabang-cabang dan bahan-bahan yang menyangkut paut sandang-pangan Rakyat, menguasai sebagian besar gudang-gudang dan melancarkan transpor. Dengan barang dan bahan sebanyak-banyaknya ditangan pemerintah dapatlah pemerintah mengatur jalannya harga.
Selain daripada itu, pemerintah dhendaknya menggunakan uang yang dibekukan untuk keperluan pembiayaan proyek-proyek negara dan sektor produktif di lapangan industri dan pertanian dalam rangka usaha self-supporting beras dan pakaian. Kepada modal asing yang mempunyai hak transfer jangan diberikan kredit, malahan harus menyetorkan sebagian devisen yang dimilikinya berupa keuntungan atau lain-lain untuk mendapatkan rupiah dari pemerintah. Juga kepada tuantanah-tuantanah jangan diberikan kredit.
Menarik pengalaman daripada kegagalan Kabinet Juanda yang pernah menetapkan harga pasar tidak boleh melebihi harga 15 Desember 1958 yang disebabkan, selain karena tidak diikuti oleh tindakan-tindakan yang diperlukan untuk itu dan karena sabotase kaum pengacau ekonomi, juga disebabkan karena tidak dilaksanakannya secara konsekuen oleh alat-alat ekonomi pemerintah sendiri yagn ternyata belum bersih dari elemen-elemen birokrat dan korup yang berkomplot dengan kaum modal besar asing dan kaum spekulan. Karena itu untuk menjamin kelancaran pelaksanaan politik harga yang terpimpin harus dilaksanakan apa yang diserukan oleh Presiden Sukarno dalam Manifesto Politiknya pada tanggal 17 Agustus 1959, yaitu retooling di semua lapangan, terutama membersihkan alat-alat negara dari elemen-elemen korup dan parasiter lainnya tanpa pandang bulu, tidak perduli berpartai atau non partai, tidak perduli sipil atau militer.
Kongres Nasional ke VI PKI telah mengkonstatasi, bahwa inflasi dan kenaikan harga barang-barang pokok merupakan salah satu ciri penting daripada krisis ekonomi yang terus mencengkeram Indonesia. Karena itu pemecahan masalah harga tidak dapat dilepaskan daripada perjuangan seluruh Rakyat untuk melepaskan Indonesia dari akibat buruk krisis dunia kapitalis, dan untuk ini Kongres Nasional ke VI PKI telah menyetujui dengan bulat tuntutan-tuntutan yang diajukan dalam Laporan Umum Kawan D.N. Aidit. Tuntutan-tuntutan ini pada pokoknya ialah supaya produksi dalam negeri diperbesar, terutama dengan memperluas dan memperkuat ekonomi sektor negara dengan menasionalisasi semua perusahaan Belanda, mengoper saham-saham Belanda di perusahaan-perusahaan campuran dan menggerowoti kekuasaan ekonomi modal besar asing lainnya, mengubah perdagangan luarnegeri yang berat sebelah, yaitu berat ke negeri-negeri imperialis, dengan jalan meluaskan hubungan dagang dengan negeri-negeri Sosialis, yang tidak mengenal krisis ekonomi dan dengan negeri-negeri A-A serta berusaha mengatasi keperluan akan barang-barang modal dan teknik dari luarnegeri melalui pinjaman dengan bunga serendah-rendahnya dan tanpa ikatan politik atau militer.
Dengan melaksanakan tuntutan-tuntutan di atas dapatlah diciptakan fondamen ekonomi yang sehat dan hanya atas dasar ekonomi yang sehat inilah sanering uang dapat membawa perbaikan-perbaikan politik harga yang menguntungkan Rakyat.
Kongres Nasional ke VI PKI menyerukan kepada semua kaum buruh, kaum tani dan golongan-golongan Rakyat pekerja lainnya untuk dengan lebih gigih melawan kemahalan harga dan mendorong kepada Kabinet Sukarno-Juanda untuk menentukan politik harga rendah yang berdasarkan kepentingan Rakyat, bukan atas kepentingan kaum modal besar asing, kaum spekulan dan komplotannya. Ini berarti politik harga yang liberal harus segera diganti dengan politik harga yang terpimpin yang menjamin harga rendah bagi barang-barang kebutuhan pokok Rakyat.
Kongres Nasional ke VI PKI yang dilangsungkan di Jakarta dari tanggal 7-14 September 1959, setelah mendiskusikan Laporan Umum CC PKI dalam hubungan dengan masih berlakunya keadaan perang, berpendapat bahwa Pengumuman Presiden/Panglima Tertinggi tanggal 14 Maret 1957 tentang berlakunya SOB adalah suatu tindakan yang ditujukan untuk menyelamatkan Republik Indonesia dari rongrongan kaum kontra-revolusioner separatis.
Berlakunya SOB yang kemudian diteruskan dengan “Keadaan Perang” berdasarkan UUKB No. 74/57, telah memperlihatkan segi-seginya yang positif di daerah-daerah yang dikacau oleh kontra-revolusi bersenjata.
Tetapi kenyataan juga menunjukkan bahwa berlakunya kekuasaan militer itu tidak sedikit segi-segi negatifnya, yang jika tidak segera diakhiri bisa berlarut-larut dan menutupi segi-segi positifnya. Segi-segi negatif yang serius adalah pengekangan hak-hak demokrasi bagi Rakyat, seperti adanya larangan dan pembatasan kegiatan politik, termasuk bagi golongan-golongan dan Partai-partai yang melawan pemberontak kontra-revolusioner, pendukung-pendukung UUD 1945 dan pendukung-pendukung politik pemerintah; pemberangusan pers demokratis: larangan mogok termasuk di perusahaan-perusahaan yang memihak pemberontak kontra-revolusioner; pengusiran kaum tani dari tanah garapannya; larangan menjadi anggota Partai bagi pegawai-pegawai golongan F dan golongan pegawai tertentu lainnya; serta larangan-larangan lain yang sanga mengekang perkembangan gerakan progresif dan demokratis.
Campur tangan sementara perwira yang masih aktif dalam soal-soal yang bukan bidangnya, seperti dalam soal keuangan, ekonomi, politik dan pemerintahan, telah mengakibatkan ekses-ekses yang serius, padahal tugas penguasa perang adalah penjagaan dan pemulihan keamanan dan bukan mengurus soal-soal yang tidak berhubungan langsung dengan soal-soal tersebut.
Pada waktu yang diperlukan Rakyat lewat Dewan Perwakilan Rakyat bisa memberikan kekuasaan kepada Angkatan Perang kita yang patriotik, selama kekuasaan ini memang sungguh-sungguh diperlukan dan tidak disalahgunakan. Timbulnya kontradiksi-kontradiksi yang tidak perlu antara Rakyat dan Angkatan Perang harus dicegah, dan hal-hal yang mungkin menuju ke arah pertajaman kontradiksi harus dihindari. Untuk mempertahankan kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia, yang berarti mempertahankan dan mengembangkan hasil-hasil Revolusi Agustus 1945, harus dilaksanakan garis “Dwi Tunggal Rakyat dan Tentara”, yaitu garis “Rakyat bantu Tentara dan Tentara bantu Rakyat” atau “saling bantu Rakyat dan Tentara”.
Situasi nasional dewasa ini menunjukkan bahwa pada pokoknya pemberontakan kontra-revolusioner “PRRI-Permesta” telah dapat dipatahkan. Kenyataan juga menunjukkan bahwa bagi daerah-daerah dimana tidak ada operasi militer terhadap kaum pemberontak kontra-revolusioner “PRRI-Permesta” atau gerombolan DI-TII, tidaklah diperlukan berlakunya keadaan perang. Walaupun di daerah-daerah tersebut mungkin terdapat jaring-jaring pengacauan kontra-revolusi, tetapi pada pokoknya keadaan adalah aman dan untuk mengatasinya tidak perlu harus menggunakan kekuasaan berdasarkan keadaan perang.
Untuk membangkitkan potensi nasional dalam mendukung pelaksanaan program Kabinet Sukarno-Juanda, diperlukan suasana bebas dan terjaminnya hak-hak demokrasi bagi rakyat, yang memungkinkan meluasnya inisiatif dan daya cipta massa Rakyat. Meneruskan berlakunya keadaan perang di daerah-daerah dimana tidak ada operasi militer terhadap kaum pemberontak kontra-revolusioner, berarti menindas hak-hak rakyat, menekan inisiatif dan daya cipta massa luas.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang dikemukakan ini Kongres mendesak Pemerintah:
Kongres menyerukan kepada seluruh Rakyat untuk mendukung dan memperjuangkan tuntutan ini tuk memperluas kebebasan demokratis sebagai jaminan bantuan Rakyat dalam melaksanakan Program Kabinet Sukarno-Juanda.
Kongres Nasional ke VI Partai Komunis Indonesia yang diadakan dari tanggal 7 sampai tanggal 14 September 1959 di Jakarta, menyambut dengan gembira bahwa berkat dorongan massa Rakyat yang dipelopori oleh kaum progresif telah dilakukan beberapa tindakan yang tegas atau agak tegas terhadap komplotan Kuomintang di Indonesia.
Akan tetapi Kongres menyesalkan bahwa sementara orang yang berkuasa dalam alat-alat negara kemudian tidak mengadakan tindakan lanjutan (follow-up) yang tepat sesuai dengan kedudukan komplotan itu sebagai musuh Rakyat dan musuh Negara. Bahkan, nampak tanda-tanda keragu-raguan dari sementara orang yang berkuasa dalam alat-alat negara terhadap komplotan itu, terutama sejak bulan-bulan terakhir dari masa berdirinya Kabinet Juanda. Dan Kongres lebih-lebih menyesalkan, berhubung dengan adanya gejala-gejala yang menunjukkan sikap bermain mata dan kompromis, yang sudah pasti sikap yang tidak sesuai dengan kepentingan Rakyat dan Negara.
Mewakili perasaan dan pikiran Rakyat Indonesia, Kongres berpendapat bahwa untuk keselamatan Republik dan untuk kemajuan pembangunan ekonomi Indonesia yang sesuai dengan tuntutan-tuntutan Revolusi Agustus 1945 tindakan-tindakan yang harus diambil terhadap komplotan orang-orang Kuomintang tidaklah cukup hanya dengan melarang dan membubarkan perkumpulan-perkumpulan mereka, hanya dengan melarang beberapa penerbitan mereka, hanya dengan melarang dan membubarkan sekolah-sekolah mereka. Tindakan-tindakan selanjutnya harus dilakukan, diantaranya yang terpenting ialah mensita perusahaan-perusahaan dan modal orang-orang Kuomintang dan menjadikannya milik negara, sedangkan terhadap orang-orangnya yang tetap melakukan kegiatan subversif dalam bentuk apapun harus dijatuhi hukuman yang berat atau pengusiran segera dari Indonesia. Dalam pada itu aparat-aparat negara di pusat maupun di daerah-daerah, militer maupun sipil, harus segera dibersihkan dari orang-orang Kuomintang atau orang-orang suapannya dan sahabat-sahabat pelindungnya.
Kongres menyimpulkan bahwa tindakan-tindakan yang dituntut itu hanya akan menjadi kenyataan dan berjalan dengan sukses apabila persatuan dwitunggal Rakyat dan Tentara semakin diperkuat dan kerjasama yang demokratis antara mereka dilaksanakan.
Kongres menyimpulkan pula bahwa sovinisme justru membikin kabur kawan dan lawan, mempersulit dilakukannya tindakan-tindakan tegas terhadap komplotan Kuomintang dan kakitangannya, disamping merugikan perjuangan anti-imperialisme pada umumnya. Tindakan terhadap komplotan Kuomintang tidak boleh berbau rasial, tetapi semata-mata tindakan anti subversif asing.
Untuk menghilangkan dasar ekonomi kaum subversif Kuomintang, sitalah perusahaan-perusahaan dan modal orang-orang Kuomintang!
Laksanakanlah kerjasama yang demokratis antara Tentara dan Rakyat!
Waspadalah terhadap sovinisme dan waspada terhadap mereka yang menyalahgunakan kekuasaan untuk memperkaya diri!
Kongres Nasional ke VI Partai Komunis Indonesia yang berlangsung mulai tanggal 7 s/d 14 September 1959 di Jakarta setelah mendiskusikan Laporan Umum Comite Central Partai yang disampaikan oleh Kawan D.N. Aidit dan setelah mempelajari Manifesto Politik Presiden Sukarno, berpendapat bahwa Manifesto Politik ini yang diucapkan pada tanggal 17 Agustus 1959, merupakan dokumen penting bagi Rakyat Indonesia dalam melanjutkan revolusi nasionalnya yang belum selesai. Manifesto Politik ini juga telah memberikan pedoman umum tentang pelaksanaan tiga fasal program Kabinet Kerja.
Adalah sepenuhnya sesuai dengan tuntutan seluruh Rakyat bahwa dalam hubungan dengan perjuangan mengusir imperialisme Belanda, Manifesto Politik menegaskan bahwa “jika imperialisme Belanda tetap membandel dan kepala batu dalam soal Irian Barat, maka semua modal Belanda termasuk yang berada dalam perusahaan-perusahaan campuran akan habis-tamat riwayatnya sama sekali di bumi Indonesia.” Sudah semenjak persetujuan KMB yang khianat itu PKI senantiasa memperingatkan bahwa kekacauan ekonomi, kemacetan pembangunan dan penderitaan Rakyat Indonesia bersumber kepada kekuasaan modal besar asing. Kongres sepenuhnya sependapat dengan Manifesto yang antara lain menyatakan bahwa “terhadap modal asing lainnya, jika mereka dengan diam-diam menjalankan sabotase ekonomi atau secara gelap-gelapan membantu pemberontak kontra-revolusioner, mereka pun akan diperlakukan sama dengan modal Belanda.”
Setelah kekuatan pokok kaum pemberontak “PRRI-Permesta” dapat dipatahkan nampak adanya usaha-usaha dari kaum imperialis dan kakitangannya untuk mengadakan kompromi (islah) antara Pemerintah dengan sisa-sisa kaum pemberontak. Mengingat bahwa adanya sisa-sisa pemberontak ini tetap merupakan landasan bagi subversi asing dan tidak sedikit menyebabkan korban manusia serta kerugian materiil bagi Rakyat dan Tentara dan tidak sedikit menghabiskan uang Pemerintah, maka tepat sekali apa yang dinyatakan dalam Manifesto Politik bahwa “pemerintah tidak mau mengadakan perundingan atau kompromi dengan pemberontak.”
Dalam rangka memulihkan keamanan Kongres menyambut dengan gembira pernyataan Presiden Sukarno bahwa “Pemerintah akan meneruskan dan memperhebat operasi-operasi keamanan dengan pengerahan kekuatan alat-alat negara dan Rakyat secara maksimal”, tetapi dalam pada itu Kongres juga berpendapat bahwa mengikutsertakan Rakyat itu tidak cukup hanya dengan mengintensifkan organisasi-organisasi keamanan Rakyat dan wajiblatih bagi pemuda-pemuda dan veteran saja, melainkan haruslah juga dengan memberikan kebebasan-kebebasan demokratis kepada Rakyat dan organisasi-organisasi Rakyat. Hanya dengan jalan demikianlah garis “dwitunggal Tentara dan Rakyat”atau garis “saling bantu Rakyat dengan Tentara” dapat dilaksanakan sepenuhnya dalam praktek.
Pelaksanaan program Kabinet Kerja bukanlah hanya tergantung kepada Rakyat yang memang tidak perlu lagi diragukan sedikitpun akan bantuannya, melainkan terutama tergantung kepada aparat Pemerintah sendiri. Oleh sebab itu Kongres menyambut dengan gembira maksud Presiden untuk mengadakan retooling terhadap semua alat negara yang harus berarti mendemokrasikan dan mereorganisasi alat-alat negara, memecat dari jabawan-jabatan sipil maupun militer pengkhianat bangsa, orang-orang reaksioner, penggelap-penggelap serta koruptor-koruptor dan supara orang-orang ini dihukum dan selanjutnya mengisi alat-alat negara dengan orang-orang patriotik dan cakap yang bersedia mengabdikan diri kepada kepentingan Rakyat.
Kongres berpendapat bahwa pernyataan Presiden yang menegaskan akan dikuasainya oleh negara dan tidak dipartikelirkannya cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, sesuai dengan fasal 33 UUD 1945 adalah sesuai dengan tuntutan dan harapan Rakyat Indonesia. Ini berarti bahwa ekonomi sektor negara harus diperkuat dan diperluas sehingga menempati posisi komando dalam kehidupan ekonomi negeri, kekuasaan modal monopoli Belanda dilikuidasi sepenuhnya, kekuasaan modal monopoli asing lainnya digerowoti, dan penghisapan feodal dari tuantanah-tuantanah atas kaum tani dikurangi. Ekonomi sektor partikelir nasional dilindungi, tingkat hidup Rakyat terutama kaum buruh dan kaum tani diperbaiki.
Pengalaman memberikan pelajaran kepada kita bahwa bukan saja melalui jalan militer tetapi juga saluran kebudayaan digunakan oleh kaum imperialis untuk melumpuhkan semangat revolusioner Rakyat. Oleh sebab itu adalah tepat sekali pernyataan Presiden Sukarno dalam Manifesto Politiknya bahwa “Pemerintah akan melindungi dan membantu perkembangan kebudayaan nasional dan menentang kebudayaan imperialis.”
Untuk mengurangi ketegangan-ketegangan internasional dewasa ini sebagai akibat dari politik perang imperialis Amerika. Kongres menyambut dengan hangat pernyataan Presiden untuk menyetop selekas-lekasnya dan dilarang sekeras-kerasnya segala percobaan, segala pembikinan dan pemakaian senjata nuklir. Kongres juga berpendapat bahwa gerakan perdamaian dan gerakan anti-kolonial adalah satu dan tidak bisa dipisah-pisahkan. Tepat sekali seperti apa yang pernah dikatakan oleh Presiden Sukarno bahwa tidak ada perdamaian selama masih ada kolonialisme.
Kongres yakin bahwa Rakyat Indonesia pasti akan membenarkan apa yang dinyatakan dalam Manifesto bahwa “sesungguhnya kita bervolusi bukan hanya untuk menaikkan Sang Merah Putih melainkan karena kita ingin cukup makan dan pakaian, cukup tanah, pendeknya ingin perbaikan hidup.” Adalah menjadi kewajiban bagi tiap-tiap pemerintah yang menamakan dirinya nasional untuk memenuhi tuntutan-tuntutan diatas. Untuk dapat memenuhi tuntutan-tuntutan tersebut diperlukan sokongan dan bantuan yang teguh dari Rakyat. Supaya sokongan dan bantuan Rakyat itu dapat dimobilisasi, Pemerintah harus memberikan kebebasan-kebebasan demokratis, dan berusaha untuk menghimpun bagian terbesar dari kekuatan nasional dan mengajak semua partai dan golongan-golongan patriotik dalam pemerintahan. Pemerintah yang demikian itu tidak bisa lain kecuali Pemerintah Gotongroyong sesuai dengan Konsepsi Presiden.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Kongres tersebut kepada seluruh kaum Komunis dan Rakyat Indonesia untuk mempelajari dan mendiskusikan Manifesto Politik Presiden Sukarno, menjadikannya pegangan dalam membantu, menyokong dan menagih pelaksanaan program Kabinet Kerja.
Kongres mendesak kepada Pemerintah agar Manifesto Politik benar-benar menjadi pegangan Pemerintah dalam melaksanakan programnya secara konsekuen.
Kongres Nasional ke VI Partai Komunis Indonesia yang dilangsungkan di Jakarta pada tanggal 7 s/d 14 September 1959 telah memberikan perhatian istiwewa terhadap masalah penghancuran sisa-sisa kekuatan pemberontak kontra-revolusioner “PRRI-Permesta” serta gerombolan teroris DI-TII untuk memulihkan keamanan dalam negeri sesuai dengan program Kabinet Sukarno-Juanda.
Keterangan-keterangan yang dikemukakan oleh para utusan Kongres terutama yang datang dari daerah-daerah yang masih belum aman menunjukkan bahwa masalah pembasmian sisa-sisa kekuatan pemberontak dan gerombolan-gerombolan teroris “PRRI-Permesta” dan DI-TII masih merupakan masalah nasional yang sangat mendesak.
Meskipun kekuatan kaum pemberontak kontra-revolusioner itu pada pokoknya telah dapat dipatahkan, kenyataan sekarang menunjukkan bahwa sisa-sisa kekuatan mereka tidaklah boleh diremehkan. Mereka masih saja terus mengadakan pengacauan, pembunuhan, perampokan, penggarongan, pembakaran rumah-rumah Rakyat dan praktek-praktek teroris lainnya, hal mana telah menyebabkan makin berlipat gandanya penderitaan Rakyat, terutama kaum tani di desa-desa. Pengaruh politik mereka di kalangan massa yang terbelakang masih belum dilumpuhkan sama sekali.
Berlarut-larutnya keadaan seperti sekarang juga tidak hanya berakibat terus bertambahnya biaya yang harus dipikul oleh Pemerintah dan Rakyat tetapi juga menambah kemerosotan produksi dan perdagangan luarnegeri kita. Di samping itu pengalaman Rakyat Indonesia telah menunjukkan bahwa gerombolan-gerombolan pengacau itu masih bisa hidup karena bantuan tuantanah-tuantanah di desan dan bantuan senjata serta perlengkapan-perlengkapan lain dari kaum imperialis asing. Gerombolan-gerombolan pengacau merupakan landasan bagi usaha-usaha intervensi asing untuk terus mengacau negeri kita. Dengan adanya gerombolan-gerombolan pengacau, kaum imperialis juga bermaksud mempertahankan keadaan perang di Indonesia agar dengan demikian dapat menekan perkembangan gerakan demokratis.
Oleh karena itu agar keamanan segera dapat dipulihkan dan Rakyat dapat dibebaskan dari penindasan dan penderitaan yang tak tertahankan itu, sisa-sisa kekuatan pemberontak dan gerombolan-gerombolan teroris harus dibasmi sampai keakar-akarnya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Untuk ini soal yang paling pokok di atas segala-galanya ialah tetap adanya politik pemerintah yang tegas, yang tidak setengah-setengah dan yang tidak mengenal kompromi. Dalam hubungan ini Kongres menyambut dengan gembira pernyataan Presiden Sukarno dalam manipolnya pada tanggal 17 Agustus 1959 yang lalu yang antara lain mengatakan sbb.: “Beleid keamanan Pemerintah tetap tegas, Pemerintah meneruskan dan memperhebat operasi-operasi keamanan dengan pengerahan alat-alat negara dan Rakyat secara maksimal. Pemerintah tidak mau mengadakan perundingan atau kompromis dengan pemberontak.”
Tetapi, sebagaimana ditunjukkan oleh pengalaman sampai sekarang, pernyataan politik yang tegas terhadap kaum pemberontak telah diperlemah karena kurang kesungguhan dalam pelaksanaan mengikutsertakan Rakyat dalam arti yang seluas-luasnya. Perpaduan antara politik yang tegas dan pelaksanaan prinsip mengikutsertakan Rakyat merupakan jaminan satu-satunya bagi berhasilnya usaha Pemerintah dalam membasmi sisa-sisa kekuatan pemberontak “PRRI-Permesta” dan gerombolan-gerombolan DI-TII sampai keakar-akarnya, sebagai telah dibuktikan oleh sukses-sukses yang telah dicapai dalam operasi-operasi militer selama ini, baik di Jawa Barat, Sumatera maupun di Sulawesi dan di tempat-tempat lain, dan sebagai yang diakui sendiri oleh panglima-panglima dan komandan-komandan operasi yang bersangkutan. Oleh krn itu Kongres juga menyambut dengan gembira pernyataan presiden Sukarno dalam Manifesto Politiknya itu yang mengatakan bahwa dalam rangka mengikutsertakan. Rakyat Pemerintah akan mengintensifkan organisasi-organisasi keamanan Rakyat dan wajiblatih bagi pemuda-pemuda dan veteran. Ini berarti penyempurnaan organisasi-organisasi keamanan Rakyat, yang sekarang memang merupakan satu hal yang sangat mendesak. Dengan lebih disempurnakannya organisasi-organisasi keamanan Rakyat, maka kaum tani akan mendapat kesempatan yang lebih luas untuk dibawah pimpinan APRI turut ambil bagian dalam operasi-operasi keamanan dan pembersihan.
Tetapi dalam pada itu Kongres juga berpendapat bahwa mengikutsertakan Rakyat itu tidak cukup hanya dengan mengintensifkan organisasi-organisasi keamanan Rakyat dan wajib latih bagi pemuda-pemuda dan veteran saja, melainkan haruslah juga dengan memberikan kebebasan-kebebasan demokratis kepada Rakyat dan organisasi-organisasi Rakyat. Pemerintah yang benar-benar bertekad bulat untuk membasmi sisa-sisa kaum pemberontak sampai keakar-akarnya haruslah bersandar kepada massa Rakyat. Dan ini hanya mungkin dengan memobilisasi Rakyat dengan jalan memberikan kebebasan-kebebasan demokratis kepada Rakyat dan organisasi-organisasi Rakyat, disamping tidak memberikan kebebasan demokratis kepada musuh-musuh Rakyat, termasuk tuantanah-tuantanah bumiputera yang menjadi kakitangan kontra-revolusi. Tanpa memobilisasi Rakyat sisa-sisa kekuatan pemberontak dan gerombolan-gerombolan teroris itu tentu tidak dapat dihancurkan sampai keakar-akarnya. Selain daripada itu hanya dengan memberikan kebebasan-kebebasan demokratis kepada Rakyat dan organisasi-organisasi Rakyat garis “dwitunggal Rakyat dan Tentara”, yaitu garis “Raykat bantu Tentara dan Tentara bantu Rakyat” atau “Salingbantu Rakyat dan Tentara” dapat dilaksanakan sepenuhnya dalam praktek.
Kongres menekankan bahwa justru mengenai soal yang sangat penting ini masih terdapat kelemahan yang serius. Ini nampak pada kenyataan bahwa di daerah-daerah yang sudah dibebaskan, kebebasan politik Rakyat tidak cepat dipulihkan dan malahan ada usaha-usaha untuk tetap mengekangnya. Ini telah sangat memperlemah daya juang Rakyat dan dengan demikian berarti memberi nafas kepada kaum pemberontak untuk mengkonsolidasi diri kembali. Hal yang demikian inilah yang telah menyebabkan pembasmian kaum pemberontak kontra-revolusioner menjadi berlarut-larut dan memakan sangat banyak biaya.
Berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebut di atas, Kongres sekali lagi menuntut supaya Pemerintah tetap menjalankan politik yang tegas dan bersamaan dengan itu dengan konsekuen melaksanakan prinsip memobilisasi Rakyat dengan jalan memberikan kebebasan-kebebasan demokratis kepada Rakyat dan organisasi-organisasi Rakyat untuk bersama-sama dengan Pemerintah dan APRI turut ambil bagian dalam menghancurkan sama sekali kaum pemberontak baik secara militer maupun secara politik. Inilah jaminan satu-satunya jika Pemerintah benar-benar mau berhasil dalam melaksanakan programnya mengenai pemulihan keamanan sesuai dengan harapan seluruh Rakyat.
Kepada kaum Komunis dan Rakyat Indonesia, Kongres berseru supaya dengan gigih dan ulet memperjuangkan prinsip-prinsip ini agar dengan demikian dapat membantu pelaksanaan program Pemerintah dengan kekuatan yang sebesar-besarnya.
Kongres Nasional ke VI Partai Komunis Indonesia menyambut dengan gembira pembentukan Dewan Perancang Nasional oleh Presiden Sukarno dengan harapan agar segera dapat disusun Pola Pembangunan Ekonomi jangka pendek dan jangka panjang. Dalam amanatnya koepada Sidang Pleno Pertama Depernas pada tanggal 28 Agustus 1959 Presiden antara lain menyatakan sebagai berikut :
“Di dalam alam penjajahan kita punya ekonomi adalah ekonomi kolonial dan ekonomi kolonial ini harus kita robah menjadi ekonomi nasional yang bersih daripada penghisapan, daripada eksploitasi oleh tenaga-tenaga luaran”.
Berdasarkan amanat Presiden tersebut, Kongres berpendapat bahwa sudah seharusnya setiap anggota Depernas membersihkan dirinya dari fikiran-fikiran yang hendak memasukkan modal asing baru, karena hal ini langsung bertentangan dengan tujuan melikuidasi ekonomi kolonial. Sesuai dengan jiwa fasal 33 UUD 1945 kekuasaan modal besar asing yang masih ada harus dilenyapkan.
Masih berlakunya kekuasaan ekonomi modal Belanda dan modal monopoli asing lainnya serta masih merajalelanya penghisapan feodal oleh tuantanah dan lintah darat telah merusak keadaan ekonomi dan menyebabkan ekonomi Indonesia tetap tergantung kepada negeri-negeri imperialis. Kerusakan-kerusakan ekonomi akibat pendudukan fasis Jepang, agresi-agresi kolonial Belanda dan pengacauan-pengacauan gerombolan-gerombolan kontra-revolusi sama sekali belum dipulihkan. Oleh karena itu merehabilitasi keadaan ekonomi yang rusak, melikuidasi sepenuhnya sisa-sisa kolonialisme Belanda, menggerowoti kekuasaan modal monopoli asing lainnya dan melawan penghisapan feodal adalah syarat-syarat minimum untuk mensukseskan Pola-pola Pembangunan menuju masyarakat adil dan makmur.
Dengan pertimbangan-pertimbangan ini, jelaslah bahwa untuk melaksanakan pemulihan ekonomi tersebut tugas yang pertama-tama dari Depernas adalah menyusun segera Pola Pembangunan jangka pendek yang realistis. Atas dasar rehabilitasi ekonomi yang dihasilkan oleh rencana jangka pendek ini tugas Depernas seterusnya ialah menyusun Pola Pembangunan selanjutnya untuk lebih meningkatkan lagi perkembangan ekonomi negeri.
Supaya dapat membangkitkan antusiasme Rakyat dalam menyambut dan melaksanakannya. Pola Pembangunan harus jelas menguntungkan bagi perbaikan hidup Rakyat pekerja dan perbaikan ekonomi negeri pada umumnya. Singkatnya isi pokok rencana pembangunan jangka pendek tersebut ialah merealisasi program Kabinet Sukarno-Juanda untuk melengkapi sandang-pangan Rakyat, memulihkan keamanan dalam negeri dan melawan imperialisme. Berdasarkan pokok-pokok pikiran ini, jelaslah bahwa problim-problim pembangunan yang urgen sekarang adalah seperti berikut :
Memobilisasi seefektif-efektifnya modal dalam negeri terutama yang ada pada negara dan meninggalkan politik kredit yang tidak produktif yang selama ini sebagian besar hanya ditujukan pada sektor perdagangan.
Sumber-sumber keuangan negara harus tingkat demi tingkat digeser dari pajak-pajak langsung dan tidak langsung ke sektor produktif terutama dari perusahaan-perusahaan negara yang ada dan bekas perusahaan-perusahaan Belanda yang diambil alih. Pada pokoknya sumber-sumber pembiayaan pembangunan tidak boleh pertama-tama dipikulkan kepada Rakyat pekerja.
Akhirnya diserukan kepada kaum buruh, kaum tani dan massa Rakyat pekerja lainnya untuk menyatakan perasaan dan fikirannya guna mendorong Depernas menyusun Pola Pembangunan yang dapat menciptakan syarat-syarat yang kongkrit untuk melikuidasi ekonomi kolonial dan membangun ekonomi nasional.
Kongres Nasional ke VI Partai Komunis Indonesia yang dilangsungkan di Jakarta dari tanggal 7 s/d 14 September 1959 mengkonstatasi kemunduran-kemunduran yang serius di lapangan produksi pertanian, terutama produksi bahan makanan. Produksi beras setiap tahun sudah tidak mungkin lagi menutup kebutuhan minimum Rakyat Indonesia. Untuk mendapat rata-rata 93 kg beras tiap jiwa dalam setahun seperti direncanakan oleh Pemerintah, yang sama sekali belum memenuhi syarat-syarat kesehatan, diperlukan tambahan beras kira-kira 1 juta ton, di antaranya dengan impor yang setiap tahunnya tidak kurang dari 600.000 ton beras, yang merupakan pengeluaran devisen tidak sedikir.
Seperti dinyatakan dalam Laporan Umum Kawan D.N. Aidit, sebab pokok daripada kemerosotan ini adalah bersumber pada masih merajalelanya sisa-sisa feodalisme di negeri kita dan ketergantungan ekonomi negeri kita pada negeri-negeri imperialis yang terus menerus ditimpa krisis ekonomi. Ini semua menyebabkan tidak mungkinnya tenaga produktid di desa berkembang bebas. Indonesia cukup memiliki modal berupa tanah petanian yang cukup luas dan subur, tenaga kerja kaum tani berpuluh-puluh juta yang ulet dan berpengalaman dalam pekerjaan pertanian. Tetapi syarat yang sangat menguntungkan ini tidak dapat digunakan sebaik-baiknya, karena masih adanya sisa-sisa feodalisme yang berat dan ketergantungan ekonomi Indonesia pada negeri-negeri imperialis, kurangnya bantuan yang diberikan oleh Pemerintah, dan juga karena masih adanya pengacauan gerombolan-gerombolan kontra-revolusioner “PRRI-Permesta” dan gerombolan bandit DI-TII.
Kongres Nasional ke VI Partai Komunis Indonesia menganggap bahwa tugas meningkatkan produksi pertanian, terutama produksi beras, adalah tugas nasional pemerintah dan Rakyat Indonesia. Dalam waktu yang tidak terlalu lama Indonesia hrs bisa memenuhi kebutuhan sendiri akan beras dan bahan-bahan baku untuk industri tekstis sesuai dengan program Pemerintah Sukarno-Juanda tentang melengkapi sandang-pangan Rakyat.
Kongres memberikan penilaian yang tinggi pada usaha-usaha kader-kader dan anggota-anggota PKI yang telah membikin percobaan untuk meningkatkan produksi padi sampai bisa mencapai hasil 60 sampai 120 kwintal tiap ha. Karena itu diserukan kepada segenap anggota Partai, terutama anggota-anggota dari kalangan kaum tani untuk memperluas percobaan peningkatan produksi pertanian. Meskipun begitu, peningkatan produksi pertanian baru dapat dijalankan secara maksimal jika kaum tani dibebaskan samas sekali dari penghisapan feodal dengan melaksanakan semboyan “tanah untuk kaum tani.”
Untuk meningkatkan produksi pertanian, terutama produksi bahan makanan, khususnya beras, harus dilaksanakan 5 prinsip mengerjakan tanah, yaitu “Luku dalam, tanah rapat, perbanyak rabuk, perbaiki bibit dan pengairan.” Di samping 5 prinsip ini tentu harus pula diperhatikan soal menyiangi sawah, melawan hama dan memperbaiki alat pertanian. Bersamaan dengan itu Rakyat Indonesia harus mendesak Pemerintah supaya:
Kongres berpendapat bahwa dengan memenuhi tuntutan-tuntutan tersebut Pemerintah akan bisa meringankan beban penghidupan kaum tani, meneguhkan sokongan kaum tani dalam membantu pelaksanaan program Pemerintah untuk melengkapi sandang-pangan Rakyat.
Kongres berseru kepada segenap Komunis dan kaum demokrat Indonesia untuk memperjuangkan dilaksanakannya tuntutan-tuntutan tersebut di atas.
Kongres Nasional ke VI Partai Komunis Indonesia yang berlangsung di Jakarta dari tanggal 7 sampai tanggal 14 September 1959, menyambut dengan gembira Laporan Umum Kawan D.N. Aidit mengenai masalah kebudayaan. Setelah mendiskusikan masalah-masalah kebudayaan, maka Kongres mencatat, bahwa garis “seni dan ilmu untuk Rakyat”, metode “realisme sosialis,” langgam kerja “turun ke bawah” dan syarat “dua tinggi”, yaitu “tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu artistik”, pada pokoknya sudah menjadi pedoman pekerja-pekerja kebudayaan progresif Indonesia. Maka itu, Kongres yakin bahwa di tahun-tahun yang mendatang sesudah Kongres Nasional ke VI Partai Komunis Indonesia gerakan kebudayaan Rakyat kita akan menghasilkan karya-karya baru yang lebih besar, lebih tinggi dan lebih indah.
Kongres menekankan, bahwa penguasaan Marxisme-Leninisme dan hubungan erat dengan kehidupan massa Rakyat yaitu “tahu Marxisme-Leninisme dan kenal keadaan”, adalah juga menjadi syarat mutlak bagi pekerja-pekerja kebudayaan Komunis apakah dia seorang sasrtawan, pelukis, pematung, komponis, dramaturg, sutradara, aktor dan aktris, atau pun lain-lainnya. Bersamaan dengan itu pekerja-pekerja kebudayaan Komunis wajib lebih mengeratkan kerjasama dengan pekerja-pekerja kebudayaan demokratis dan patriotik lainnya untuk memperkuat front kebudayaan nasional anti-kebudayaan imperialis, untuk setia kepada segala yang baru dan maju, setia kepada Rakyat, tanah air dan revolusi.
Kongres lebih lanjut menggarisbawahi Manifesto Politik Presiden Sukarno yang menegaskan bahwa program Kabinet Kerja “meneruskan perjuangan menentang imperialisme politik dan ekonomi” berarti pula menentang imperialisme di bidang kebudayaan. Oleh sebab itu Kongres mendesak kepada Pemerintah agar bertindak yang nyata dan tegas untuk menyelamatkan kebudayaan nasional kita dari agresi kebudayaan imperialis, terutama filem, lektur, dan bunyi-bunyian yang histeris, yang memerosotkan naluri dan perasaan-perasaan manusia ke tingkat hewan.
Kongres memperkuat Resolusi Sidang Pleno ke IV CC dari Kongres Nasional ke V bahwa salah satu sebab yang menjadi penghalang perkembangan kehidupan kebudayaan Rakyat adalah tidak adanya atau sangat kurangnya gedung-gedung pertemuan, gedung-gedung kesenian, gedung-gedung kebudayaan, dan maka itu Kongres merasa gembira bahwa CC telah berhasil mendirikan sebuah Gedung Kebudayaan, sekalipun masih sederhana.
Kongres selanjutnya merasa perlu untuk mendesak Pemerintah agar mendirikan taman-taman kebudayaan, gedung-gedung pertemuan, dan pertunjukan di ibukota dan dikota-kota penting lainnya. Dalam rangka ini Kongres mengusulkan kepada Pemerintah agar rumah almarhum Raden Saleh, pelukis kebanggaan nasional kita, di Jalan Raden Saleh, Jakarta, dijadikan milik negara dan digunakan untuk keperluan museum seni-bentuk (art gallery), dan agar Pemerintah mengusahakan tempat lain yang sama baiknya untuk rumahsakit yang sekarang menempati bekas Rumah Raden Saleh itu. Juga Kongres mendesak kepada Pemerintah untuk dengan sungguh-sungguh melindungi dan mengembangkan kebudayaan nasional. Museum-museum supaya lebih banyak didirikan sedangkan yang sudah ada supaya mendapat perhatian lebih besar dan pemeliharaannya lebih baik.
Kongres berseru kepada semua pekerja kebudayaan progresif untuk memperhebat usahanya dan berlomba-lomba mendaki setinggi mungkin gunung kehidupan kebudayaan Rakyat kita.
Kongres Nasional ke VI Partai Komunis Indonesia yang berlangsung di Jakarta dari tanggal 7 sampai dengan tanggal 14 September 1959, menyambut dengan gembira Laporan Umum CC PKI yang menekankan tentang pentingnya memperbaiki pekerjaan Partai dikalangan intelektual, dan sepenuhnya sependapat bahwa “proses kelahiran dan pertumbuhan dari kaum intelektuil di negeri kita tidak dapat dipisahkan dari perjuangan melawan kolonialisme.” Kongres berpendapat bahwa Revolusi Agustus 1945 telah lebih mempersatukan kaum buruh dan kaum tani dengan kaum intelektual yang sampai batas-batas tertentu mempertemukan ilmu dengan praktek revolusi Rakyat. Dengan demikian ilmu telah mendekati Rakyat dan sampai batas-batas tertentu semangat kerakyatan telah menjiwai pekerjaan-pekerjaan ilmiah.
Ilmu pengetahuan, baik ilmu-ilmu alam maupun ilmu sosial, menempati tempat yang semakin penting dalam kehidupan Rakyat dan tanah air kita. Pemecahan masalah-masalah ekonomi dan politik sangat erat berhubungan dengan taraf ilmu di Indonesia dan pentrapannya di berbagai lapangan itu. Oleh sebab itu Partai harus mengembangkan pekerjaan di berbagai lapangan ilmu untuk menjamin pengabdian ilmu kepada kepentingan Rakyat dan tanah air kita.
Dengan belum selesainya Revolusi Agustus 1945 maka aspirasi kaum intelektual Indonesia untuk mengembangkan ilmu guna mengabdi kepada Rakyat dan tanah air tidak mendapat penyaluran yang memuaskan. Kedudukan kekuatan tengah Indonesia yang lemah di lapangan ekonomi dan politik, ternyata tidak mampu memberikan bimbingan di lapangan ilmu dan kebudayaan. Kaum reaksioner masih mempunyai pengaruh-pengaruh tertentu di lapangan ilmu dan kebudayaan, sedangkan pekerjaan kaum progresif di lapangan ini belum cukup meluas dan mendalam. Semuanya ini menyebabkan di negeri kita terdapat kemandegan dan dekadensi di lapangan ilmu dan kebudayaan, terutama di lapangan ilmu sosial. Keadaan ini memberikan syarat-syarat bagi kaum imperialis dan kaum reaksioner dalam negeri untuk meracuni perkembangan ilmu dan kebudayaan seperti yang juga sudah berulangkali dicanangkan oleh Presiden Sukarno.
Kongres Nasional ke VI Partai disamping mensinyalir gejala-gejala buruk yang ada itu, memberikan penghormatan kepada kaum intelektual yang patriotik di dalam usaha-usaha mereka untuk menumpas semua yang kolot dan lapuk dan berusaha memperkaya dan mempertinggi taraf ilmu di negeri kita. Selanjutnya Partai merasa bangga tentang mulai lahirnya kaum intelektual dari Rakyat pekerja Indonesia yang berusaha mengabdikan ilmu kepada Rakyat dan Revolusi. Dalam hal ini Kongres Nasional ke VI Partai Komunis Indonesia mencatat dengan gembira hasil-hasil kolektif kaum intelektuil dan pekerja-pekerja organisasi revolusioner buruh dan tani di berbagai cabang produksi, seperti penemuan bibit-bibit padi-padian dan kapas yang berkwalitas lebih tinggi, penemuan cara-cara baru di lapangan teknik pengolahan tanah, pemeliharaan ikan dan ternak, penyelenggaraan riset-riset dan seminar-seminar dari mahasiswa-mahasiswa tentang berbagai masalah sosial yang hangat dan langsung mengenai kehidupan Rakyat, seperti masalah otonomi tingkat III, dan sebagainya. Juga Kongres menyambut dengan gembira usaha-usaha kaum intelektual yang mendorong berdirinya badan-badan konsultasi untuk memberikan nasehat dan pembelaan dalam perkara-perkara yang dihadapi kaum buruh dan tani.
Kongres menyambut dengan hangat berdirinya dan meluasnya Universitas Rakyat (UNRA) diberbagai kota di negeri kita yang menetapkan revolusi Indonesia sebagai sasaran daripada studi. Melalui UNRA ini Partai berusaha memberi sumbangan untuk memperkuat perlawanan terhadap ilmu sosial yang kolot dan mendorong perkembangan ilmu sosial yang progresif yang ditujukan untuk mengabdi Rakyat. Dengan semakin besarnya jumlah kaum intelektual yang turutserta mengembangkan ilmu Rakyat makin kuatlah persatuan di kalangan kaum intelektual dalam melawan kolonialisme yang mengakibatkan mereka makin dekat pada Rakyat pekerja. Hal ini berarti makin luasnya dan makin kokohnya front persatuan nasional anti-imperialis.
Kongres Nasional ke VI Partai Komunis Indonesia juga dengan hangat kemajuan ilmu, teknik dan kebudayaan di negeri-negeri sosialis, khususnya di Uni Sovyet, yang telah mengungguli negeri-negeri kapitalis. Kenyataan-kenyataan ini membawa perubahan besar dalam sikap dan pandangan kaum intelektual di negeri kita terhadap sosialisme. Hanya selapisan yang tipis, yaitu mereka yang berkepala batu, yang tetap ngotot tidak mengakui keunggulan Sosialisme.
Dalam mencatat hasil-hasil tersebut Kongres Nasional ke VI Partai Komunis Indonesia membenarkan konstatasi Laporan Umum Kawan D.N. Aidit bahwa kemajuan pekerjaan Partai di kalangan kaum intelektual masih terlampau lambat dan tidak seimbang dengan kemajuan-kemajuan yang diperoleh di lapangan-lapangan lain.
Dalam perjuangan untuk menyelesaikan tuntutan-tuntutan Revolusi Agustus 1945 sampai keakar-akarnya Kongres Nasional ke VI Partai Komunis Indonesia menyimpulkan tugas-tugas pokok pekerjaan Partai di kalangan intelektual sbb.:
Kongres Nasional ke VI Partai Komunis Indonesia yang dilangsungkan pada tanggal 7 s/d 14 September 1959 di Jakarta dengan rasa gembira dan terharu mendengar Laporan Umum CC tentang sukses-sukses yang telah dicapai oleh Partai dalam menyambut Kongres Nasional ke VI Partai dengan membentuk ribuan Regu Kerjabakti Partai untuk memperbesar amal kepada Rakyat dalam bentuk bersama-sama Rakyat mengerjakan sawah kaum tanimiskin, membikin atau memperbaiki jalan-jalan, saluran-saluran air, jembatan-jembatan, rumah-rumah Rakyat, balai-balai pertemuan, membersihkan kampung-kampung, menyimpulkan pupuk, memberantas buta huruf dan sebagainya.
Dalam Regu-regu Kerjabakti telah ambil bagian pemimpin-pemimpin Partai dari semua tingkat yang mendapat sambutan antusias dari massa, sehingga menimbulkan suasana baru yang segar dalam gerakan Rakyat progresif. Bagi kader-kader yang tidak langsung bekerja di lapangan produksi, terutama kader-kader tinggi, kerjabakti yang bersifat kerja badaniah, jika dibiasakan merupakan salah satu bentuk pendidikan ideologi yang penting. Kerjabakti adalah salah satu kegiatan Partai yang penting di samping kegiatan-kegiatan Partai yang lain seperti memperjuangkan dan membela kepentingan massa melalui berbagai organisasi massa, melalui badan-badan perwakilan, pemerintahan daerah dan lain-lain.
Dengan kerjabakti telah semakin dipererat hubungan Partai dengan massa. Kerjabakti adalah juga salah satu bentuk pernyataan terimakasih Partai atas kepercayaan Rakyat yang semakin besar terhadap Partai, dan pernyataan terimakasih atas sumbangan-sumbangan yang diberikan dengan ikhlas oleh Rakyat kepada Partai dalam menghimpun berbagai dana seperti dana untuk biaya Pemilihan Umum PKI, untuk biaya pembangunan gedung CC PKI, biaya pembangunan gedung kebudayaan Partai, biaya Kongres Partai dan sebagainya. Semuanya ini terjadi dimana Rakyat masih hidup dalam sangat kekurangan.
Istiwewa di dalam menyambut Kongres Nasional ke VI Partai dari seluruh pelosok tanah air telah mengalir sumbangan-sumbangan Rakyat sebagai tanda simpati terhadap Kongres, berdasarkan putusan Sidang Pleno ke VII CC PKI pada tanggal 19-21 November 1958 yang mengambil Resolusi untuk mengadakan gerakan pengumpulan dana Kongres. Berkat kesadaran politik dan organisasi dari anggota-anggota, calonanggota-calonanggota dan simpatisan-simpatisan PKI, maka untuk Kongres Nasional ke VI Partai Komunis Indonesia telah terkumpul uang sebanyak Rp. 3.520.974.- (tiga juta limaratus duapuluh ribu sembilan ratus tujuhpuluh empat rupiah). Semua tanda simpati itu merupakan dorongan bagi Partai dan khususnya bagi peserta-peserta Kongres untuk bekerja lebih baik dalam melaksanakan tugas-tugas patriotiknya.
Karena tindakan sanering uang oleh Pemerintah, jumlah sumbangan yang telah terkena peraturan itu sebanyak Rp. 507.000,- (limaratus tujuh ribu rupiah), yag berakibat dana Kongres dirugikan 90% dari Rp. 507.000,- yaitu Rp. 456.300,- (empatratus limapuluh enam ribu tigaratus rupiah). Untuk mengatasi keadaan ini Panitia Kongres telah mengadakan penghematan secara maksimal dan menyerukan supaya utusan-utusan Kongres dari Jawa membawa perbekalan bahan makanan sendiri.
Dengan bangga dan terharu Konres melihat kenyataan bahwa seruan itu bukan saja dipenuhi oleh utusan-utusan Kongres dari Jawa, bahkan sumbangan-sumbangan baru dari Rakyat mengalir lagi berupa bahan makanan yang melimpah-limpah. Disamping itu mengalir tandamata-tandamata yang telah lebih memperkaya isi pameran Partai yang diadakan dalam rangka penyelenggaraan Kongres.
Perhitungan yang terakhir menunjukkan, bahwa jumlah uang yang masuk dan keluar untuk Kongres Nasional ke VI Partai ialah sebagai berikut:
Pemasukan: Rp. 3.520.974,-
Pengeluaran: 1) Kongres Nasional: Rp. 498.575,- ; 2) Kena sanering: Rp. 456.300,-
Total Pengeluaran: Rp. 954.875,-
Sisa: Rp. 2.566.099,-
Jumlah uang yang sebesar Rp. 2.566.099,- diputuskan oleh Kongres Nasional ke VI Partai Komunis Indonesia untuk digunakan sebagai biaya perluasan Gedung Comite Central Partai dan jika ada sisanya untuk sumbangan pembangunan Gedung Kebudayaan di Jakarta.
Sebagai jawaban dan pernyataan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Rakyat, Kongres memutuskan menyetujui usul Kawan D.N. Aidit untuk mengembangkan kerja bakti sesudah Kngres, dengan membentuk sekurang-kurangnya satu Regu Kerjabakti di tiap Kecamatan dimana terdapat Comite PKI.
Regu-regu Kerjabakti supaya secara teratur dan berencana melakukan kegiatan-kegiatan bersama dan untuk massa Rakyat. Fungsinonaris-fungsionaris Partai dari semua tingkat harus menggabungkan diri pada salah satu Regu Kerjabakti.
Kongres Nasional ke VI Partai Komunis Indonesia yang dilangsungkan di Jakarta pada tanggal 7-14 September 1959 berpendapat bahwa masalah percobaan-percobaan senjata nuklir adalah salahsatu masalah internasional yang harus mendapat pemecahan dengan segera karena ia menyangkut nasib dan kelangsungan hidup umat manusia sekarang dan generasi-gererasi yang akan datang.
Kongres mencatat bahwa perjuangan Rakyat sedunia untuk pelarangan percobaan-percobaan, penimbunan dan pemakaian senjata-senjata tersebut, telah mencapai sukses-sukses besar. Berbagai sarjana, pemimpin organisasi-organisasi massa, pemuka-pemuka pemerintahan dari berbagai negeri, demikian pula konferensi-konferensi internasional tingkat pemerintahan maupun bukan-pemerintahan telah melantangkan suara kemanusiaannya agar percobaan-percobaan senjata nuklir tersebut segera dihentikan.
Sesuai dengan kehendak Rakyat-rakyat sedunia Uni Sovyet telah menyatakan secara sefihak untuk tidak mengadakan percobaan senjata nuklir lagi, sebagai termaktub dalam pengumuman Dewan Menteri Uni Sovyet tertanggal 31 Maret 1958. dunia menyambut dengan gembira keputusan tersebut dan mengharap Amerika Serikat dan Inggris membuat pernyataan yang serupa. Sungguh disesalkan bahwa harapan-harapan ini tidak terpenuhi, bahkan Amerika Serikat dan Inggris terus mengadakan serangkaian percobaan-percobaan baru.
Atas desakan yang semakin keras dari Rakyat-rakyat sedunia agar negara-negara atom mengadakan perundingan untuk mencapai persetujuan tentang pelarangan percobaan-percobaan senjata nuklir, desakan mana sesuai dengan peringatan “Panitia Ilmiah PBB tentang akibat-akibat Radiasi Atom” yang dalam laporannya kepada Sidang Majelsi Umum PBB bulan Agustus 1958 menegaskan sekali lagi bahwa percobaan-percobaan senjata nuklir membahayakan umat manusia sekarang dan generasi yang akan datang, maka pada tanggal 31 oktober 1958 dimulailah perundingan 3 Negara Atom di Jenewa untuk mencapai persetujuan tentang pelarangan percobaan, penimbunan dan penggunaan senjata-senjata nuklir. Peristiwa ini adalah suatu kemenangan baru bagi Rakyat di seluruh dunia yang telah memperjuangkannya sejak beberapa tahun lamanya.
Sungguhpun Amerika Serikat dan Inggris berusaha keras untuk menggagalkan dan merintangi tercapainya persetujuan dalam Konferensi Jenewa ini, tetapi adalah suatu kenyataan bahwa hingga sekarang Konferensi masih tetap berlangsung bahkan mencapai kemajuan-kemajuan tertentu. Di samping itu adalah suatu kenyataan yang menggembirakan bahwa selama hampir satu tahun perundingan di Jenewa berlangsung, tidak ada satupun negara yang mengadakan percobaan bom atom atau hidrogen. Keadaan ini sangat menggembirakan dan membuktikan bahwa sesungguhnya percobaan-percobaan dapat dihentikan. Oleh karena itu Kongres mendesak agar perundingan-perundingan di Jenewa terus dilangsungkan hingga akhirnya tercapai persetujuan. Rakyat Indonesia terutama kaum Komunis Indonesia harus melipatgandakan usahanya agar tuntutan-tuntutan untuk berhasilnya Konferensi Jenewa menjadi lebih keras dan lebih nyaring. Lebih baik berunding 10 tahun daripada mengadakan percobaan 1 bom atom.
Dalam situasi yang menimbulkan harapan demikian itu, keputusan pemerintah Perancis untuk mengadakan percobaan bom atomnya yang pertama di Sahara, merupakan suatu sabotase terhadap perundingan-perundingan di Jenewa dan membukakan pintu bagi Amerika Serikat dan Inggris untuk mengalihkan perhatian dunia dari Konferensi jenewa dan memulai kembali percobaan-percobaan senjata nuklirnya, dengan demikian mengingkari harapan-harapan yang tumbuh di kalangan Rakyat-rakyat di seluruh dunia. Adalah pada tempatnya dan sesuai dengan rasa kemanusiaan, kekhawatiran umum dan pendapat umum di Indonesia maupun di seluruh dunia, apabila pemerintah Indonesia menyampaikan protes sekeras-kerasnya kepada pemerintah Prancis dan menuntut agar percobaan bom atom Perancis di Sahara itu dibatalkan.
Sejalan dengan pernjuangan untuk menghentikan percobaan-percobaan, penimbunan dan penggunaan senjata-senjata nuklir, adalah perjuangan untuk menciptakan daerah-daerah bebas atom. Bagi Rakyat Indonesia perjuangan untuk menciptakan daerah-daerah bebeas atom ini menjadi lebih mendesak lagi setelah kenyataan bertambah banyaknya negara-negara Asia yang menerima senjata nuklir. Di samping Jepang, Okinawa dan Korea Selatan dwwasa ini Amerika Serikat sedang berusaha sekeras-kerasnya agar senjata-senjata nuklir dapat pula masuk ke Filipina, Muangthai dan Vietnam Selatan.
Kongres berpendapat bahwa dewasa ini sudah tiba waktunya bagi pemerintah Indonesia untuk mengambil langkah-langkah nyata guna terlaksananya ide pembentukan deaerah-daerah bebas atom di Asia dan Pasifik.
Kongres Nasional ke VI Partai Komunis Indonesia yang dilangsungkan di Jakarta pada tanggal 7-14 September 1959 setelah mendengar dan mendiskusikan Laporan Umum CC, membenarkan dan memperkuat analisa dan garis politik CC yang menyimpulkan bahwa imperialisme Amerika Serikat adalah musuh yang paling berbahaya bagi seluruh kemanusiaan yang cinta damai dan kemajuan. Salah satu bentuk dan saluran intervensi dan agresi imperialisme AS terhadap bangsa-bangsa lain adalah pakta-pakta militer. Melalui pakta-pakta militer agresif ini AS mengacau dan mengganggu keamanan dan hidup damai bangsa-bangsa. Mereka memecah belah dan mengadudomba bangsa-bangsa satu sama lain. Mereka menimbulkan perang dalam negeri dan mereka menyuruh bangsa Asia bertempur melawan bangsa Asia.
Kenyataan-kenyataan dan pengalaman-pengalaman Indonesia dan negeri-negeri lain di Asia Tenggara sendiri menunjukkan bahwa bagian dunia ini merupakan salah satu sasaran terpenting dari agresi imperialis Amerika Serikat yang disini diwakili oleh kegiatan-kegiatan subversi, intervensi dan agresi pakta militer SEATO. Dewasa ini berlangsung pula intervensi-intervensi bersenjata SEATO yang mengganggu keamanan di Asia. Di Laos intervensi SEATO yang sudah bertahun-tahun dipersiapkan, sekarang sudah mengakibatkan perang dalam negeri. Di india sedang giat diadakan usaha-usaha, fitnahan-fitnahan dan provokasi-provokasi untuk memecahbelah hubungan tetangga baik antara India dan RRT. Juga di Kamboja subversi SEATO masih terus giat dilakukan untuk menjatuhkan politik netral Pemerintah Norodom Sihanouk yang teguh menolak SEATO. Di Indonesia SEATO masih saja terus membantu dan mendalangi sisa-sisa kekuatan kaum pemberontak kontra-revolusioner “PRRI-Permesta”.
Adalah menjadi kepentingan bersama yang mendesak dari semua negeri Asia, khususnya negeri-negeri Asia Tenggara, untuk dengan gigih melawan dan mengalahkan segala bentuk subversi, intervensi dan agresi dari SEATO, sesuai dengan Putusan-putusan Bandung. Laporan Umum Kawan D.N. Aidit dengan tepat menyatakan bahwa dalam perlawanan terhadap SEATO ini, Indonesia berada di fron yang paling depan. Tugas ini bagi Indonesia merupakan tugas nasional dan internasional yang berat tetapi mulia, demi keselamatan dan keutuhan Republik Indonesia, demi perdamaian di Asia dan di dunia.
Kongres berseru dan berharap agar Pemerintah Republik Indonesia menunjukkan inisiatif yang lebih berani dan terusmenerus untuk melawan segala bentuk subversi dan intervensi Amerika Serikat dan untuk membubarkan SEATO yang membahayakan keamanan dan keutuhan Republik Indonesia.
Kongres berseru kepada seluruh Rakyat agar mempertinggi kewaspadaannya dan melipatgandakan kegiatan untuk mendorong Pemerintah supaya mengambil tindakan-tindakan yang lebih tegas terhadap SEATO.
Perlawanan terhadap SEATO adalah perlawanan nasional seluruh Rakyat Indonesia.
Lawan subversi dan intervensi Amerika Serikat !
Bubarkan SEATO !
Kongres Nasional ke VI Partai Komunis Indonesia yang dilangsungkan di Jakarta pada tanggal 7-14 September 1959 menggarisbawahi Laporan Umum CC yang meminta perhatian Pemerintah dan Rakyat Indonesia atas pentingnya tuntutan umat manusia sedunia yang mendukung usul Uni Sovyet untuk mengadakan Konferensi Tingkat Tertinggi (KTT).
terlaksananya K.T.T. akan sangat mengurangi ketegangan-ketegangan internasional dan merupakan permulaan baik bagi dihentikannya perang dingin yang sangat mengganggu keamanan internasional itu. Ia akan merupakan kemenangan dari prinsip menyelesaikan segala pertikaian internasional melalui jalan berunding dan dalam suasana damai.
Dalam proses memperjuangkan terlaksananya K.T.T. ini, Rakyat-rakyat cinta damai terus menerus mengalami sabotase kaum imperiali yang hendak menggagalkan terwujudnya hasrat umat manusia akan perdamaian ini. Tetapi Kongres berkeyakinan teguh bahwa kekuatan-kekuatan perdamaian adalah lebih besar dan lebih unggul daripada kekuatan perang.
Kemenangan penting ke arah tercapainya K.T.T. adalah saling kunjung antara pemimpin-pemimpin tinggi pemerintahan beberapa negara, terutama yang akan dilakukan oleh Presiden Eisenhower dari Amerika Serikat ke Uni Sovyet dan yang sudah dilakukan oleh P.M. Chrusjov dari Uni Sovyet ke Amerika Serikat baru-baru ini. Peristiwa terakhir ini disambut gembira dan dengan dukungan yang sangat kuat dari Rakyat demokratis di semua negeri, termasuk Indonesia.
Kongres berpendapat bahwa adalah sewajarnya jika pemerintah Indonesia dalam menyambut baik kejadian-kejadian internasional yang penting ini memikirkan serta menjalankan usaha-usaha yang serius ke arah penyingkiran segala rintangan bagi terjaminnya penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tertinggi dalam waktu yang secepat-cepatnya.
Indonesia termasuk salah satu negeri yang paling berkepentingan atas terpeliharanya perdamaian dunia yang merupakan syarat penting bagi kelancaran pembangunan negerinya.
Sukseskan penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tertinggi !
Kongres Nasional ke VI Partai Komunis Indonesia yang berlangsung dari tanggal 7 sampai dengan 14 September 1959 di Jakarta :
Mendengar :
Menimbang, bahwa :
“Pembagian Daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara...” dan seterusnya.
Memutuskan :
Dalam Laporan Umum CC kepada Kongres Nasional ke VI Partai Komunis Indonesia yang disampaikan oleh Kawan D.N. Aidit telah dikemukakan bahwa setelah Konstituante gagal untuk membikin UUD baru, maka PKI dan golongan-golongan patriotik lainnya dengan teguh memperjuangkan supaya UUD 1945 diterima oleh Konstituante. Setelah hal ini tak berhasil, sekalipun mendapat dukungan suara terbanyak dalam Konstituante, PKI berpendapat bahwa satu-satunya jalan untuk menyelamatkan negeri dari bencana perpecahan nasional lebih lanjut hanyalah jika Presiden Sukarno mendekritkan UUD 1945 atas nama mayoritas Rakyat Indonesia. Kekurangan-kekurangan yang terdapat pada uuf45 akan dapat diisi di kemudian hari melalui Sidang-sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang demokratis. Maka itu pendekritan berlakunya kembali UUD 1945 yang terjadi pada tanggal 5 Juli 1959 disambut dengan baik oleh PKI dan Rakyat Indonesia pada umumnya. Kongres Nasional ke VI Partai Komunis Indonesia membenarkan sikap ini.
Dalam Manifesto Politik Presiden Sukarno yang diucapkan pada tanggal 17 Agustus 1959 diterangkan, bahwa UUD 1945 “memberikan landasan yang kuat idiil dan strukturil, yaitu Pancasila dan Pemerintah yang stabil, untuk bekerja setingkat demi setingkat merealisasikan dasar dan tujuan Revolusi.” Juga dicantumkan penegasan bahwa yang dimaksud dengan Pemerintah yang stabil ialah “Pemerintah yang berwibawa, yang dapat bekerja tenang-teguh bertahun-tahun... tidak untuk menjamin kepentingan modal asing, tetapi untuk menjamin sandang-pangan bagi Rakyat!” Terdapat pula penegasan bahwa “demokrasi harus menjadi alat Rakyat untuk mencapai tujuan Rakyat” yaitu “Negara kuat, masyarakat adil dan makmur.”
Kongres Nasional ke VI Partai Komunis Indonesia berpendapat bahwa putusan Partai yang sudah sejak sebelum Kongres Nasional ke VI menerima dan memperjuangkan Pancasila baik di dalam maupun di luar Konstituante, serta putusan Partai untuk kembali ke UUD 1945 dan menerima Manifesto Politik Presiden Sukarno adalah sesuai dengan Konstitusi Partai dan Program Partai, sebelum maupun sesudah diperbaharui. Karena itu Kongres selanjutnya memutuskan supaya dalam menghadapi perkembangan situasi di masa datang putusan-putusan Partai tersebut menjadi pegangan untuk memperkuat front nasional, memperkuat perjuangan untuk Indonesia yang merdeka penuh dan demokratis sebagai langkah penting untuk mencapai masyarakat adil dan makmur.
Kongres Nasional ke VI Partai Komunis Indonesia yang dilangsungkan di Jakarta dari tanggal 7-14 September 1959 berpendapat bahwa salah satu perjuangan yang penting daripada umat manusia untuk kemerdekaan, demokrasi dan perdamaian adalah perjuangan Rakyat Yunani untuk kepentingan-kepentingan fundamentalnya, untuk keamanan negerinya. Dalam perjuangan yang mulia ini, Manolis Glezos, pahlawan Rakyat Yunani, bersama-sama dengan Vutsas, anggota Comite Central Partai Komunis Yunani serta pemimpin-pemimpin dan demokrat-demokrat lainnya seperti Trikalinos, Singelaris, Karkayanis, Raguzeridis dan Grigoriadu telah menjadi korban kejahatan kaum reaksioner.
Pengadilan Atena telah menjatuhkan hukuman penjara 5 tahun untuk Manolis Glezos atas tuduhan mengkhianati negara, tuduhan yang sama sekali palsu. Hukuman ini didasarkan atas suatu undang-undang tahun 1936 dari pemerintahan diktatus fasis Metaxas, yang sebenarnya sejak tahun 1951 telah dinyatakan tidak berlaku lagi. Suatu komisi internasional dari kaum pengacara, bahkan ketua Partai Monarki Yunani, Tsaldaris, menyatakan bahwa tuduhan pengkhianatan itu palsu semata-mata.
Tujuan politik dari provokasi reaksioner ini tidaklah lain daripada untuk mendiskreditkan gerakan demokratis di Yunani terutama sekali Partai Komunis Yunani. Bukanlah sesuatu yang kebetulan jika tindakan mengadili patriot-patriot dan demokrat-demokrat Yunani ini berjalan bersamaan dengan meningkatnya gelombang pasang gerakan Rakyat Yunani yang menentang dijadikannya Yunani pangkalan senjata atom dan peluru kendali Amerika Serikat/ kaum reaksioner Yunani dengan demikian berusaha menipu dan mengintimidasi Rakyat Yunani untuk menutupi kegiatan-kegiatan anti-nasional mereka.
Kongres Nasional ke VI Partai Komunis Indonesia mengutuk tindakan provokatif dari kaum kontra-revolusioner yang dewasa ini berkuasa di Yunani. Kongres menyerukan kepada seluruh Rakyat Indonesia agar menyokong dengan aktif serta menjalankan aksi-aksi solidaritas dengan lebih intensif untuk bersama-sama dengan Rakyat Yunani yang gagah-perwira serta umat manusia sedunia yang cinta damai dan cinta keadilan menuntut pembatalan sepenuhnya dari hukuman yang tiada menurut hukum serta tiada berkeadilan itu atas diri Glezos. Hati nurani Rakyat-rakyat di dunia tidak bisa menerima kenyataan bahwa putera-putera terbaik dari Yunani dirampas hak-haknya untuk meneruskan aktivitas-aktivitas patriotik mereka yang luhur itu.
Bebaskan Manolis Glezos dan kawan-kawannya, patriot-patriot dan demokrat-demokrat Yunani !
Kongres Nasional ke VI Partai Komunis Indonesia dengan perhatianserta rasa solidaritas yang dalam mengikuti kejadian-kejadian menyedihkan yang menimpa insinyur Ali Olowi, anggota Biro Eksekutif Partai Tudeh Iran, dan buruh batubara serta buruh tekstil yang melakukan pemogokan di Teheran dan Isfahan belum lama berselang.
Pada tanggal 16 Juni 1959, atas perintah Syah Iran, Risa Pahlevi, insinyur Ali Olowi ditembak mati setelah meringkuk selama 3 tahun dalam penjara. Penembakan ini dilakukan tanpa melalui proses hukum dan pada saat kaum buruh Teheran dan Isfahan mengadakan aksi-aksi pemogokannya untuk perbaikan nasib dan untuk menentang politik anti-nasional dari pemerintah Iran yang mengabdi kaum imperialis Amerika dan Inggris. Penembakan seorang pemimpin Partai Tudeh ini dilakukan dengan harapan dapat mengintimidasi Rakyat Iran serta membendung gelombang gerakan Rakyat di Iran. Dalam pada itu, pada tanggal 18 Juni 1959 atas perintah Syah, polisi militer telah menembaki buruh batubara di Teheran yang mogok selama 3 hari untuk perbaikan upah, sehingga mengakibatkan 50 orang tewas dan banyak luka-luka. Jika kaum buruh pabrik Matan di Isfahan ditembaki dan belasan buruh meninggal dunia.
Peristiwa itu sangat mengancam jiwa semua tahanan politik terutama jiwa 500 anggota Partai Tudeh, serikatburuh-serikatburuh, organisasi-organisasi pemuda demokratis dan partisan-partisan perdamaian yang militan yang ditahan diberbagai penjara di Iran.
Kongres mengutuk tindakan-tindakan keji itu yang merupakan pelanggaran hak-hak azasi manusia yang tercantum dalam Piagam Hak-hak Manusia PBB yang juga diakui oleh UUD Iran sendiri. Kongres menyerukan kepada Rakyat Indonesia untuk mendesak Sekretaris Jendral PBB, Dag Hammerskoeld, agar PBB tidak bersikap acuh tak acuh terhadap kejahatan-kejahatan keji yang dilakukan setiap hari oleh rezim yang sewenang-wenang yang mengingatkan kita pada abad pertengahan dimana manusia tidak mempunyai harga dimata kaum feodal. Kongres mendesak supaya Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (ECOSOC), sesuai dengan wewenangnya mengadakan angket resmi tentang perkosaan-perkosaan yang dilakukan oleh pemerintah Iran terhadap hak-hak asasi manusia dan hak-hak kaum buruh di Iran.
Kutuk pembunuhan Ali Olowi dan penembakan buruh Iran !
Kongres Nasional ke VI Partai Komunis Indonesia dengan penuh rasa kuatir dan gelisah mengikuti penderitaan siksaan-siksaan yang mengancam jiwa Kawan Fajarollah Helou, Sekretaris Comite Central Partai Komunis Libanon yang diculik pada tanggal 25 Juni 1959 oleh polisi Republik Arab Persatuan di Damsyik, ibukota Suriah.
Kawan Fajarollah Helou adalah seorang patriot sejati, seorang penulis yang penuh bakat, seorang pemimpin yang rendahhati dan sangat dicintai oleh Rakyat Libanon karena perjuangannya yang gagahberani melawan imperialisme untuk kemerdekaan nasional negerinya.
Berita-berita yang terakhir dari Damsyik menunjukkan bahwa perlawanan yang gigih dari Kawan Fajarollah Helou terhadap siksaan-siksaan polisi Republik Arab Persatuan menyebabkan bahwa polisi Republik Arab Persatuan menggunakan cara-cara penyiksaan yang lebih kejam dari cara-cara siksaan Zaman Tengah, seperti memasukkan udara ke dalam perutnya, kemudian menginjak perut yang kembung karena udara ini sehingga mengakibatkan pendarahan yang keras.
Kongres atas nama lebih dari 1,5 juta Komunis dan lebih dari 8 juta pemilih PKI, menyatakan simpati yang sedalam-dalamnya kepada Kawan Fajarollah Helou dan memprotes sekeras-kerasnya kebiadaban polisi Republik Arab Persatuan serta menyerukan kepada seluruh Rakyat Indonesia yang anti imperialis dan demokratis untuk bersama-sama dengan berbagai golongan yang luas yang mengadakan gerakan solidaritas yang menyeluruh di Libanon dan di negara-negara Arab lainnya, di Italia, Prancis, Srilangka, Jepang, dan lain-lain negeri di seluruh dunia mendesak pemerintah Republik Arab Persatuan segera membebaskan Fajarollah Helou atau menyerahkan kepada pemerintah Libanon.
Kongres berpendapat dengan gerakan solidaritas internasional yang kuat Kawan Fajarollah Helou, pahlawan Libanon dapat diselamatkan, kebebasannya dapat direbut dan tangan kaum penyiksa dapat dicegah melakukan kebiadabannya.
Kongres Nasional ke VI Partai Komunis Indonesia yang dilangsungkan di Jakarta pada tanggal 7 s/d 14 September 1959 menyetujui Laporan Umum Kawan D.N. Aidit, yang antara lain menyatakan bahwa perang kemerdekaan yang sedang gigih dilakukan oleh Rakyat salah satu negeri Asia-Afrika, Rakyat Aljazair, adalah gerakan pembebasan nasional yang harus mendapat perhatian serta sokongan sebesar-besarnya dari Rakyat Indonesia.
Perang kemerdekaan yang dilakukan oleh Rakyat Aljazair melawan kolonialisme Perancis selama 5 tahun hingga sekarang ini, adalah akibat logis dari politik penindasan dan penghisapan kolonial yang secara kejam dijalankan oleh kaum imperialis Prancis terhadap Rakyat Aljazair selama hampir 130 tahun. Seperti halnya Rakyat di negeri-negeri jajahan lainnya, Rakyat Aljazair selama masa itu tidak hanya dirampas kekayaan bumi dan alamnya, tetapi juga dilucuti hak-hak kebebasannya untuk menentukan nasib sendiri.
Terutama dalam waktu 5 tahun akhir-akhir ini, kaum imperialis Prancis dengan bantuan negeri-negeri anggota NATO yang dikepalai oleh imperialis Amerika Serikat telah melakukan segala bentuk kebiadaban dalam usahanya menindas dan menghancurkan sama sekali gerakan kemerdekaan nasional Aljazair. Meninggalnya Aissat Idir, Sekretaris jendral Gabungan Umum Serikatburuh-serikatburuh Aljazair pada tanggal 25 Juli 1959 akibat siksaan dan penganiayaan kaum kolonialis Prancis, merupakan salah satu dari sekian banyak kebiadaban kolonial dan perkosaan hak-hak asasi manusia yang dijamin dalam Piagam PBB. Kaum imperialis Perancis dan seluruh komplotan agresif yang tergabung dalam NATO sangat berkepentingan untuk tetap mempertahankan Aljazair sebagai negeri jajahan, sesuai dengan rencana-rencana perangnya yang hendak menjadikan seluruh negeri-negeri Afrika Utara sebagai sumber penghisapan kolonial dan pangkalan perang yang membahayakan perdamaian dunia.
Berkat keuletan Rakyat Aljazair sendiri dan berkat bantuan serta solidaritas dari semua kekuatan kemerdekaan, demokrasi dan perdamaian di seluruh dunia, terutama berkat dukungan dan solidaritas negeri-negeri Sosialis yang dipelopori oleh Uni Sovyet yang senantiasa memihak Rakyat tertindas, perang kemerdekaan Rakyat Aljazair makin hari makin mendapat kemajuan.
Terbentuknya Pemerintah Sementara Aljazair, adalah suatu faktor politik yang sangat penting artinya tidak saja bagi perjuangan Aljazair di gelanggang internasional, tetapi juga bagi segenap kekuatan kemerdekaan dan perdamaian di seluruh dunia. Oleh karenanya adalah wajar dan harus disambut dengan gembira sikap pemerintah-pemerintah nasional beberapa negeri Asia-Afrika termasuk pemerintah Republik Indonesia, yang bersama-sama dengan pemerintah negeri-negeri kubu Sosialis, telah mengakui Pemerintah Sementara Aljazair yang diproklamasikan pada tanggal 18 September 1958 di Kairo.
Kongres menyerukan agar Pemerintah melanjutkan usaha-usaha yang lebih intensif supaya PBB mengambil keputusan diadakannya perundingan antara Pemerintah Perancis dan Pemerintah Sementara Republik Aljazair atas dasar pengakuan kemerdekaan Rakyat Aljazair.
Kongres sepenuhnya yakin bahwa imbangan kekuatan internasional dewasa ini yang sudah secara definitif dan kongkrit menguntungkan gerakan kemerdekaan dan perdamaian, dan front nasional pembebasan Rakyat Aljazair yang semakin kokoh merupakan jaminan pasti bagi kemenangan Rakyat Aljazair.
Dengan rasa solidaritas yang sedalam-dalamnya serta salut yang setinggi-tingginya, Kongres menyatakan rasa simpati yang sedalam-dalamnya dan sokongan yang sekuat-kuatnya kepada Rakyat Aljazair yang gagah berani dalam perjuangan mulianya untuk mengusir selama-lamanya kaum penjajah Prancis dari tanah airnya, untuk membangun Aljazair baru yang merdeka penuh dan demokratis.
Segala hormat kepada Rakyat Aljazair, segala kutuk kepada imperialis Prancis, untuk Asia-Afrika yang merdeka, untuk dunia yang damai.
Kongres Nasional ke VI Partai Komunis Indonesia yang bersidang dari tanggal 7 s/d 14 September 1959 di Jakarta dengan cemas dan rasa amarah mengikuti berita-berita tentang penahanan di Iskandariah atas sejumlah besar anggota Dewan Perdamaian Dunia, Dewan Perdamaian nasional Mesir dan Suriah serta para peserta Kongres Dunia Untuk Perlucutan Senjata dan Kerjasama Internasional di Stockholm oleh kekuasaan Nasser di Republik Arab Persatuan.
Melakukan perjuangan untuk mempertahankan perdamaian dunia yang dewasa ini dibahayakan oleh rencana-rencana agresif kaum imperialis untuk mengobarkan perang yang akan lebih dahsyat daripada perang di masa yang lalu, adalah suatu keharusan sejarah dan kewajiban mutlak setiap orang serta setiap pemerintahan apabila ia ingin mengabdikan diri pada cita-cita kemanusiaan dan cita-cita kemerdekaan. Penahanan atas pejuang-pejuang perdamaian Mesir dan Suriah oleh Pemerintah Naseer, apalagi tanpa diikuti dengan diadilinya mereka dengan segera sesuai dengan hukum yang lazim berlaku sebagaimana halnya sekarang itu, adalah tindakan sewenang-wenang dan fasis, suatu kejahatan terhadap keadilan dan kemanusiaan.
Berdasarkan hal di atas, Kongres Nasional ke VI Partai Komunis Indonesia atasnama lebih dari 1,5 juta Komunis serta seluruh Rakyat pekerja Indonesia yang demokratis memprotes sekeras-kerasnya tindakan Pemerintah Nasser dan menyerukan kepada seluruh Rakyat Indonesia yang menjunjung tinggi demokrasi, keadilan dan kemerdekaan agar bersama-sama dengan Rakyat-rakyat progresif dan cinta damai di Asia-Afrika dan seluruh dunia menuntut kepada Pemerintah Nasser dari Republik Arab Persatuan supaya pejuang-pejuang perdamaian di Mesir dan Suriah segera dibebaskan dari tanahan.
Perjuangan Rakyat Mesir dan Suriah untuk demokrasi, kemerdekaan dan perdamaian adalah juga perjuangan Rakyat Indonesia !
Bebaskan pejuang-pejuang perdamaian Mesir dan Suriah !
Dalam mendiskusikan situasi internasional khususnya dalam meninjau situasi di negeri-negeri tetangga di Asia Tenggara, Kongres Nasional ke VI Partai Komunis Indonesia yang dilangsungkan di Jakarta dari tanggal 7-14 September 1959 telah membicarakan juga perkembangan-perkembangan yang amat mengkhawatirkan di Laos.
Masalah Laos, bersama dengan masalah Vietnam dan Kamboja sebenarnya telah dapat diselesaikan secara damai dan memuaskan oleh Konferensi Jenewa mengenai Indocina dalam tahun 1954. Konferensi ini memutuskan untuk membentuk Komisi Pengawasan Internasional guna mengawasi pelaksanaan dari cara-cara penyelesaian yang telah disetujui dalam Konferensi Jenewa tersebut.
Disamping persetujuan Jenewa ini telah pula ditandatangani Persetujuan Vientiene dalam tahun 1957 yang menetapkan bahwa masalah Laos akan diselesaikan secara damai tidak dengan campurtangan dari luar, apalagi dengan jalan mendatangkan amunisi senjata-senjata serta instruktur-instruktur militer asing.
Tetapi kenyataan menunjukkan bahwa semua persetujuan ini dilanggar terang-terangan oleh Pemerintah Phoui Sananikone yang berkuasa sejak bulan Agustus 1958.
Wakil-wakil dan pemimpin-pemimpin Neo Lau Haksat (Partai Patriotik Rakyat) dan gerakan front nasional Pathet Lao yang menang dan mendapat gukungan luas serta suara banyak dalam pemilihan umum, bukannya dijamin dan diakui hak-haknya untuk duduk dalam pemerintahan sebagaimana seharusnya, tetapi malahan disingkirkan dari pemerintahan. Lebih daripada itu, mereka dikejar-kejar, dimasukkan penjara dan banyak yang dibunuh. Demikian pula halnya dengan perwira-perwira dan anggota-anggota dua batalyon pasukan Pathet Lao, yang menurut putusan Jenewa seharusnya dilebur dalam tentara kerajaan Laos, telah dilucuti, ditangkap dan dimasukkan ke penjara.
Bertentangan dengan putusan-putusan Jenewa dan persetujuan Vientiane, Pemerintah Sananikone yang mengkhianati kepentingan nasional Laos dengan resmi memasukkan perwira-perwira Amerika Serikat untuk melatih dan langsung memimpin tentara kerajaan Laos. Lebih dari 5/6 dari 135 juta dolar bantuan AS kepada Laos dipergunakan untuk memperlengkapi 30.000 pasukan kerajaan Laos yang dilatih dan dipimpin langsung oleh 30 orang perwira angkatan perang Amerika Serikat. Jelaslah bahwa Amerika Serikat yang menjadi biangkeladi teror kolonial dan perang dalam negeri di Laos dan menyuruh bangsa laous membunuh bangsa Laos, praktek kolonial yang sudah dialami pula oleh banyak negeri Asia, termasuk Indonesia sendiri.
Kongres berpendapat bahwa intervensi-intervensi terang-terangan dari Amerika Serikat di Laos tidak saja merusak perdamaian dan ketentraman hidup Rakyat Laos, tetapi juga merupakan bahaya serius yang mengancam perdamaian di Asia Tenggara. Intervensi ini merupakan pelanggaran yang kurang ajar terhadap persetujuan Jenewa dan persetujuan Vientiane. Intervensi ini bertujuan mengubah Indocina dari daerah damai menjadi pangkalan perang dan sumber ketegangan-ketegangan internasional yang baru, menyeret Laos dan Vietnam Selatan ke dalam SEATO, mengepung dan selanjutnya menundukkan Kamboja yang menjalankan politik netral supaya bisa diseret pula ke dalam SEATO dan dengan demikian mengubah seluruh Indocina menjadi daerah pangkalan SEATO. Intervensi ini bermaksud menimbulkan “Korea ke II” dengan Laos sebagai landasan dan batu loncatan untuk melancarkan agresi terhadap Republik Demokrasi Vietnam (RDV) dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT), dan untuk merusak perdamaian di Asia. Inilah latar belakang politik Pemerintah Sananikone untuk mendapatkan bantuan pasukan-pasukan PBB. Oleh karenanya menjadi kewajiban penting bagi Rakyat dan Pemerintah Indonesia untuk bersama Rakyat-rakyat di Asia dan di seluruh dunia melawan dan menggagalkan intervensi dan agresi Amerika Serikat di Laos.
Kongres menyerukan kepada Rakyat dan mendesak Pemerintah Indonesia agar menuntut dihentikannya intervensi Amerika Serikat di Laos, ditarik mundurnya semua perwira Amerika Serikat dari Laos dan dihapuskannya semua pangkalan militer asing di negeri ini. Kongres memperkuat usul Presiden Sukarno kepada P.M Pham Van Dong dari RDV untuk dipekerjakannya kembali secara normal Komisi Pengawasan Internasional mengenai Indocina.
Dewan Keamanan PBB yang sudah diminta bersidah oleh Sekretaris Jendral PBB atas permintaan Pemerintah Sananikone, akan bisa bertindak adil terhadap Laos dan Asia jika ditujukan untuk menghidupkan kembali Komisi Pengawasan Internasional yang dibentuk oleh Konferensi Jenewa dan bukan untuk mengirim sebuah Komisi Fact Finding yang pada hakekatnya dikuasai oleh SEATO dan Amerika Serikat yang langsung tersangkut dalam intervensi di Laos. Perserikatan Bangsa-bangsa tidak berhak untuk campur tangan dalam urusan Laos dengan mengesampingkan putusan-putusan Jenewa dan Vientiane.
Gagalkan intervensi Amerika Serikat di Laos, jaminan penting bagi perdamaian di Asia Tenggara.
Kongres Nasional ke VI Partai Komunis Indonesia yang bersidang di Jakarta dari tanggal 7-14 September 1959 dalam mengikuti situasi internasional dan mendiskusikan soal-soal solidaritas internasional mencurahkan perhatiannya yang besar pada kejadian-kejadian yang berlangsung di Portugal di bawah pemerintahan fasis Salazar.
31 tahun telah lewat semenjak kaum fasis berkuasa di Portugal. Sepenjang tahun-tahun ini makin meningkatlah pernyataan-pernyataa protes dan aksi-aksi untuk melawan rezim Perdana Menteri Salazar yang telah melenyapkan kebebasan-kebebasan fundamental warga negara Portugal dan kehidupan sosial dan politik Portugal. Secara sistematis klik Salazar yang berkuasa menutup-nutupi kemelaratan, kelaparan, pengangguran dan kesulitan-kesulitan yang semakin meningkat di kalangan kaum tani serta lapisan tengah penduduk. Penindasan terhadap Rakyat serta kaum patriot dari berbagai aliran politik serta ideologi yang melawan diktatur fasis Salazar untuk perbaikan nasib dan demokrasi semakin keras. Untuk melakukan “tindakan keamanan” rezim Salazar yang sepenuhnya dipimpin oleh polisi politik (P.I.D.E.) setiap hari menginjak-injak kebebasan surat-menyurat, melakukan penggeledahan rumah-rumah setiap saat dengan sewenang-wenang serta tindakan-tindakan semena-mena lainnya. Para patriot, laki-laki maupun wanita yang membela demokrasi serta hak-hak azasi warga negara yang dijamin oleh Konstitusi Portugal, dikejar-kejar, dipenjarakan dan disiksa dalam tahanan sampai mati tanpa diadili atau diperiksa secara singkat sekalipun. Mereka dilempar dalam “kamp-kamp maut”seperti kamp Tarafal di kepulauan Tanjung Hijau (Afrika). Dalam bulan-bulan pertama saja dari tahun 1957, 70 orang patriot dihukum oleh pengadilan-pengadilan yang hakim-hakimnya sepenuhnya tunduk pada polisi politik dan 20 diantara mereka itu mendapat hukuman total 90 tahun, denda sebesar 100.000 escudo dan kehilangan hak-hak politik mereka selama 150 tahun.
Diantara para patriot itu terdapat Alvaro Cunhal, Sekretaris Jendral Partai Komunis Portugal yang setelah menjalani hukuman 8 tahun penjara dan bebsa selama 1 ½ tahun ditangkap kembali atas dasar “tindakan keamanan” untuk waktu 3 tahun. Dengan demikian Alvaro Cunhal pemimpin Rakyat Portugal yang dicintai itu selalu tinggal terisolasi dalam sel benteng peniche dan dewasa ini berada dalam keadaan sakit dan jiwanya terancam.
Kongres menyampaikan salut setinggi-tingginya serta simpati yang sedalam-dalamnya kepada seluruh Rakyat pekerja serta patriot-patriot Portugal yang berjuang dengan gagah berani dan penuh pengorbanan melawan kebengisan fasisme Salazar, untuk perbaikan hidup serta kemajuan sosial dan untuk menegakkan kebebasan-kebebasan demokratis serta pembelaan hak-hak asasi manusia.
Kongres Nasional ke VI Partai Komunis Indonesia menyerukan kepada segenap kaum Komunis serta seluruh Rakyat Indonesia yang patriotik guna menyatakan perasaan serta pikiran mereka kepada presiden Portugal, Menteri-menteri Kehakiman dan Dalam negeri Portugal untuk memprotes dan mengutuk tindakan-tindakan teror fasis terhadap Rakyat Portugal, diinjak-injaknya hak asasi manusia dan warna negara dan menuntut pembebasan serta amnesti total bagi semua patriot dan tawanan politik yang dewasa ini masih meringkuk dalam berbagai kamp maut Portugal.
Comite Central Partai Komunis Uni Sovyet Moskow
Kongres Nasional ke VI Partai Komunis Indonesia yang kini sedang berlangsung di Jakarta mengucapkan selamat kepada para sarjana dan Rakyat Dovyet berhubung dengan suksesnya pendaratan roket kosmos Sovyet di Bulan. Peristiwa ini mengubah imbangan kekuatan-kekuatan dunia yang menguntungkan perdamaian dan menghalang-halangi rencana-rencana perang kaum imperialis. Sekali lagi Sosialisme membuktikan keunggulannya dalam mewujudkan keinginan-keinginan manusia yang paling berani dan berhasil
Comite Central
Partai Komunis Indonesia
D.N. Aidit