Pemecahan Masalah Ekonomi dan Ilmu Ekonomi Dewasa Ini

Prasaran di Muka Musyawarah Besar Sarjana Ekonomi Indonesia Tanggal 8 Juli 1964 di Jakarta

D.N. Aidit (1964)


Sumber: Pemecahan Masalah Ekonomi dan Ilmu Ekonomi Dewasa Ini, Yayasan Pembaruan, Jakarta, 1964. Scan PDF Brosur


Saudara-saudara. Pimpinan Musyawarah Besar Sarjana Ekonomi Indonesia, Saudara-saudara. Peserta, dan Saudara-saudara sekalian.

Beberapa minggu yang lalu, sewaktu saya menerima kunjungan Saudara Drs. Surjadi, Ketua Panitia Persiapan Musyawarah Besar Sarjana Ekonomi Indonesia, yang menyampaikan maksud mengadakan Mubes ini dan meminta kepada saya sebagai Ketua Comite Central Partai Komunis Indonesia untuk memberikan prasaran, saya telah menyambut maksud tersebut dengan gembira dan segera menyatakan kesediaan saya untuk memberikan prasaran. Inisiatif ini saya sambut, dan Mubes ini ternyata telah berhasil memperoleh dukungan dari kalangan luas, dan organisasi-organisasi sarjana maupun dari Pemerintah, dan partai-partai politik maupun dari tokoh-tokoh terkemuka, dari berbagai organisasi massa maupun dari berbagai lembaga negara, sehingga telah menjadi suatu peristiwa penting dalam kehidupan politik dan kehidupan ekonomi negeri kita.

Sambutan dan dukungan yang luas itu saya anggap wajar, karena Mubes ini akan membahas tema yang sangat aktual dan penting, yaitu “Pelaksanaan Deklarasi Ekonomi”. Itulah yang menjadi masalah terpenting dalam bidang ekonomi, yaitu melaksanakan Dekon, “Manipolnya ekonomi”, seperti dikatakan Bung Karno dalam Gesuri hampir satu tahun yang lalu.

Sambutan yang begitu luas terhadap Mubes ini juga dapat dimengerti karena yang kali ini membahas masalah ekonomi yang maha penting itu ialah kaum sarjana ekonomi. Masalah-masalah kesehatan biasa dibicarakan oleh kaum dokter, masalah-masalah teknologi biasa dibicarakan oleh kaum insinyur, masalah-masalah hukum biasa dibicarakan oleh sarjana-sarjana hukum, dan sebagainya. Ada suatu keanehan di negeri kita, yang paling sedikit bicara tentang kesulitan-kesulitan ekonomi dewasa ini, ialah kaum sarjana ekonomi. Padahal, siapa yang tidak berbicara tentang kesulitan-kesulitan ekonomi dewasa ini? Dengan ini bukannya saya menganggap bahwa sarjana ekonomi mempunyai semacam hak khusus untuk membicarakan masalah-masalah ekonomi. Masalah-masalah ekonomi menyangkut seluruh kehidupan Rakyat sehingga tak mungkin ia dimonopoli oleh satu golongan masyarakat saja. Tidak, bukan hak khusus kaum sarjana ekonomi untuk membicarakan masalah ekonomi, sebaliknya mereka mempunyai kewajiban khusus dalam bidang ini. Kewajiban khusus itu ialah memberikan sumbangan sebesar-besarnya dalarn memecahkan masalah-masalah ekonomi yang selalu harus dihadapi oleh negeri mana pun juga, apalagi oleh Republik Indonesia yang selama beberapa tahun ini memang semakin tenggelam dalam tumpukan problem-problem ekonomi yang minta segera dipecahkan dan diatasi.

Dalam ceramah ini, akan saya bicarakan 4 masalah, yaitu:

(1) Pemecahan masalah ekonomi adalah bagian integral daripada pemecahan masalah politik; (2) Pelaksanaan prinsip anti-feodalisme merupakan masalah paling mendesak bagi ekonomi Indonesia dewasa ini; (3) Mengembangkan ilmu ekonomi Indonesia yang sesuai dengan tugas revolusi nasional-demokratis menuju ke masyarakat Sosialis Indonesia; dan (4) Dekon adalah jalan ke luar bagi kesulitan-kesulitan ekonomi dewasa ini.

I. PEMECAHAN MASALAH EKONOMI ADALAH BAGIAN INTEGRAL DARIPADA PEMECAHAN MASALAH POLITIK

Dengan mengambil “Pelaksanaan Dekon” sebagai tema pokok, Mubes telah memberikan suatu landasan yang tepat bagi penanggulangan masalah-masalah ekonomi, yaitu menempatkan usaha ini di dalam rangka revolusi Indonesia, menjadikan masalah ekonomi sebagai bagian integral daripada politik. Sudah terlalu lama kaum sarjana ekonomi Indonesia pada umumnya mengambil sikap masa-bodoh terhadap masalah politik, dan berusaha membahas masalah ekonomi sebaqai masalah yang bersifat teknis melulu, dengan hukum “yang berlaku untuk semua zaman” yang bertolak dari pandangan-pandangan subjektif dan mengabaikan kenyataan objektif yang hidup di dalam masyarakat. Kenyataan objektif sesuatu masyarakat terutama dinyatakan melalui hubungan-hubungan produksi yang bisa mendorong tapi juga bisa menghambat perkembangan tenaga-tenaga produktif, dan melalui bangunan-atas, terutama kekuasaan politik, yang juga sangat erat hubungannya dengan hubungan-hubungan produksi, yang dapat mempertahankan atau mengubah hubungan-hubungan produksi.

Pengalaman Rakyat Indonesia sudah berulang-ulang kali membuktikan bahwa masalah apa pun tak mungkin dipisahkan dari politik, artinya dari masyarakat dan dari masalah kekuasaan politik. Olahraga tak mungkin dipisahkan dari politik. Kesenian tak mungkin dipisahkan dari politik. Apalagi ekonomi sama sekali tak mungkin dipisahkan dari politik. Bagi kami kaum Marxis, politik adalah pernyataan terpusat daripada ekonomi, atau dengan kata-kata lain, ekonomi adalah dasar dan tujuan daripada politik.

Bahkan, usaha untuk memisah-misahkan ekonomi dari politik merupakan suatu politik sendiri—politik memisahkan ekonomi dari politik. Mengapa demikian? Bagi Indonesia memisahkan ekonomi dari politik berarti menolak pandangan Deklarasi Ekonomi (Dekon) yang mengatakan bahwa “strategi dasar ekonomi Indonesia tidak dapat dipisahkan dari strategi umum revolusi Indonesia. Manifesto Politik serta pedoman-pedoman pelaksanaannya telah menetapkan strategi dasar ekonomi Indonesia yang menjadi bagian mutlak daripada strategi umum revolusi Indonesia”. (Dekon, pasal 3).

Apa yang menjadi strategi dasar revolusi Indonesia? Soal ini sudah jelas dalam Manipol, yaitu bahwa perspektif revolusi Indonesia adalah Sosialisme, sedangkan tugas kita sekarang ialah tugas anti-imperialisme dan anti-feodalisme, bahwa tenaga-tenaga revolusi ialah seluruh Rakyat yang dirugikan oleh imperialisme dan feodalisme dengan kaum buruh dan kaum tani sebagai soko gurunya. Strategi dasar ini dengan tegas diterapkan dalam bidang ekonomi oleh Dekon yang menegaskan bahwa strategi dasar ekonomi Indonesia meliputi dua tahap, yaitu “tahap pertama (di mana) kita harus menciptakan susunan ekonomi yang bersifat nasional dan demokratis, yang bersih dari sisa-sisa imperialisme dan bersih dari sisa-sisa feodalisme”. Tahap pertama ini ditegaskan sebagai persiapan untuk “tahap kedua, yaitu tahap ekonomi Sosialis Indonesia, ekonomi tanpa penghisapan manusia oleh manusia”. (Dekon, pasal 3).

Berdasarkan strategi dasar ekonomi ini, maka Dekon menyimpulkan bahwa: “Kita sekarang sedang berada dalam tahap pertama Revolusi kita. Kewajiban kita di bidang ekonomi dalam tahap ini ialah mengikis habis sisa-sisa imperialisme dan sisa-sisa feodalisme di bidang ekonomi, menggerakkan semua potensi nasional untuk meletakkan dasar dan mempertumbuhkan suatu ekonomi nasional yang bebas dari imperialisme dan feodalisme sebagai landasan menuju ke masyarakat Sosialis Indonesia”. (Dekon, pasal 4). Rumusan Dekon ini dengan jelas menyatakan bahwa syarat untuk “menggerakkan semua potensi nasional”, yaitu untuk membebaskan dan mengembangkan tenaga-tenaga produktif dalam masyarakat Indonesia, ialah mengikis habis sisa-sisa imperialisme dan feodalisme, artinya mengakhiri hubungan-hubungan produksi yang bersifat kolonial dan setengah-feodal yang masih bercokol dalam masyarakat Indonesia.

Atau lebih tegas lagi dikatakan dalam Gesuri: “Dengan adanya Dekon, orang tidak diperkenankan lagi mengisruhkan dua tahapan Revolusi ......tidak dapat ditolerir pendapat, bahwa sosialisme bisa diselenggarakan ...... tanpa menyelesaikan lebih dahulu perjuangan nasional-demokratis, yaitu tanpa menghabis-tamatkan lebih dahulu sisa-sisa imperialisme dan feodalisme ...... kita sekarang ini belum berada dalam alam Sosialisme”. (Gesuri, Departemen Penerangan R.I., Penerbitan Khusus No. 280. hal. 32 - 33).

Mereka yang berusaha men-depolitik-kan ekonomi justru bermaksud untuk meyakinkan kita bahwa ekonomi tak ada hubungan apa pun dengan tuas-tuas anti-imperialisme dan anti-feodalisme. Sadar atau tidak, sikap yang demikian berarti membiarkan imperialisme dan feodalisme merajalela dalam ekonomi kita. Sedangkan ini tak dapat dibantah adalah sikap politik yang senyata-senyatanya. Bukan hanya ada usaha men-depolitik-kan ekonomi, malahan lebih dari itu, ada usaha meng-ekonomi-kan politik, artinya berusaha supaya politik Republik kita disesuaikan dengan apa yang mereka anggap sebagai kepentingan ekonomi “untuk mencegah kehancuran ekonomi Indonesia”. Dengan dalih semacam ini, ada orang-orang yang berusaha supaya politik konfrontasi dengan “Malaysia” dihentikan saja supaya kita bisa “membereskan ekonomi lebih dulu”. Sikap demikian berarti mengabaikan kenyataan bahwa ekonomi Indonesia hanya dapat dibereskan dengan konfrontasi terhadap imperialisme dan feodalisme. Sikap demikian berarti membantah kebenaran Dwikora yang dengan tegas menempatkan usaha-usaha untuk memperhebat ketahanan nasional — di mana masalah ekonomi merupakan salah satu aspek yang terpenting—di dalam ranqka tugas-kewajiban Rakyat Indonesia untuk membantu Rakyat Kalimantan Utara. Maleya dan Singapura dalam membubarkan proyek neo-kolonialis “Malaysia”.

Kesulitan-kesulitan ekonomi Indonesia pada dasarnya bukan disebabkan karena kita terlalu banyak mengganyang Imperialisme, tetapi justru sebaliknya, karena masih terlalu sedikit mengganyang imperialisme di bidang ekonomi dan karena ekonomi feodal boleh dikatakan belum diganyang sama sekali.

Bukanlah sama sekali suatu kebetulan, bahwa justru kaum imperialis AS, yang telah memaksakan Pemerintah Indonesia untuk menjalankan tindakan-tindakan teror 26 Mei 1963 sebagai syarat untuk memperoleh “bantuan ekonomi”, juga menentukan syarat kedua, yaitu agar Indonesia melepaskan konfrontasi dengan “Malaysia”. Memang, tindakan-tindakan ekonomi 26 Mei dan proyek neo-kolonialis “Malaysia” pada dasarnya dijiwai oleh satu tujuan. yaitu membuka ekenomi Indonesia sebagai lapangan penanaman modal imperialis dan membendung serta menghancurkan Republik Indonesia, hasil perjuangan revolusioner Rakyat Indonesia. Republik indonesia yang berdaulat merupakan alat yang paling ampuh dalam tangan Rakyat Inonesia untuk mencegah merasuknya modal monopoli asing yang ingin sekali memperkuat dominasinya atas ekonomi Indonesia.

Satu hal yang saya anggap penting sekali disadari oleh para ahli ekonomi dalam membahas masalah ekonomi ialah bahwa Republik Indonesia tak mungkin hancur oleh karena kesulitan-kesulitan ekonomi. Satu-satunya hal yang bisa menyebabkan kehancuran dan jatuhnya Republik Indonésia di bawah dominasi penuh kaum imperialis ialah perpecahan nasional. Seperti dikatakan di dalam Manipol, “.... modal pokok bagi tiap-tiap revolusi nasional, menentang imperialisme, kolonialisme ialah konsentrasi kekuatan nasional dan bukan perpecahan kekuatan nasional”. Konstatasi ini sepenuhnya berlaku bagi Indonesia karena revolusi Indonesia “adalah satu Revolusi nasional” (lihat Tubapi, hal 82).

Sebaliknya perlu disadari, bahwa sekalipun dengan ekonomi yang berjalan agak lancar, Republik kita tak mungkin dilindungi dari kehancuran jika kekuatan-kekuatan nasional terpecah-belah.

Dengan mengatakan demikian, bukan sama sekali maksud saya untuk menyatakan bahwa, dus, kita tak usah memikirkan masalah ekonomi sebab toh “negeri kita tidak akan hancur”. Sebaliknya, saya dengan keras menolak fitnahan golongan-golongan tertentu seakan-akan kaum Komunis sengaja ingin kemerosotan ekonomi untuk kemudian bisa “merebut kekuasaan”. Fitnahan yang keji itu sama sekali dibantah oleh peranan aktif yang selalu dimainkan oleh PKI dalam mengajukan konsep dan usul-usul konkret untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi dewasa ini. Bahkan, PKI mungkin merupakan partai yang paling rajin dan paling banyak mengemukakan gagasan-gagasan dan mengeluarkan buku-buku, brosur-brosur, tulisan-tulisan, resolusi dan lain sebagainya mengenai masalah ekonomi selama beberapa tahun belakangan ini.

Tidak, kaum Komunis tidak mengingini kemerosotan ekonomi tetapi selalu berusaha keras untuk menanggulangi kesulitan-kesulitan ekonomi dan PKI sepenuhnya yakin bahwa, di samping tugasnya untuk terus-menerus mengajukan konsep-konsep konkret mengenai masalah-masalah ekonomi, kaum Komunis juga harus terus-menerus mengkonsolidasi persatuan nasional dan memperhebat perjuangan Rakyat Indonesia melawan imperialisme dan feodalisme karena hanya dengan jalan ini akan terbuka kemungkinan yang konkret untuk melaksanakan semua konsep yang baik itu.

Usaha-usaha men-depolitik-kan ekonomi mudah-mudahan tidak akan bisa mendapat pasaran dalam Mubes ini, karena di samping tema pokok yang tepat, yaitu Pelaksanaan Dekon, Mubes dijiwai oleh beberapa prinsip dasar yang saya anggap tepat sekali, yaitu (1) kepercayaan pada kekuatan diri sendiri, (2) anti-imperialisme dan anti-feodalisme, dan (3) menuju ke Sosialisme Indonesia. Memang benar pendirian pihak penyelenggara Mubes ini untuk menyatakan dengan tegas beberapa prinsip-prinsip dasar, karena walaupun tema “Pelaksanaan Dekon” seharusnya sudah cukup jelas dan tidak perlu diperinci lagi, namun kita cukup banyak pengalaman, bahwa bisa dalam kata-kata “pelaksanaan Dekon”, tetapi dalam perbuatan justru menyalahi Dekon. Dan justru, inilah yang terjadi pada tangal 26 Mei tahun yang lalu dengan adanya tindakan-tindakan ekonomi yang bahkan diberi judul “untuk melaksanakan Dekon” tetapi yang dengan nyata melakukan hal-hal yang sama sekali dilarang oleh Dekon.

Ada orang-orang yang siang-malam bicara tentang melaksanakan Dekon tetapi tidak pernah mau mengakui bahwa esensi daripada Dekon pada dewasa ini ialah anti-impera1isme dan anti-feodalisme. Ini tidak lain adalah Dekon yang dikebiri.

Tiga prinsip yang telah ditetapkan sebagai prinsip-prinsip dasar yang menjiwai Mubes ini secara tepat menggambarkan isi pokok daripada Dekon sehingga saya yakin, bahwa jika Saudara-saudara berhasil membawakan prinsip-prinsip itu ke dalam pembahasan anak-anak tema yang akan dibicarakan di dalam komisi-komisi nanti. Mubes akan bisa menghasilkan keputusan-keputusan yang Dekonis dalam arti kata sebenarnya, dan yang akan disambut baik oleh Rakyat pekerja sebagai sumbangan konkret dari kaum sarjana untuk memecahkan masalah-masalah ekonomi dengan cara yang sesuai dengan kebutuhan revolusi Indonesia pada dewasa ini.

II. PELAKSANAAN PRINSIP ANTI-FEODALISME MERUPAKAN MASALAH PALING MENDESAK BAGI EKONOMI INDONESIA DEWASA INI

Saya ingin  menggunakan kesempatan ini untuk membawa perhatan Saudara-saudara secara khusus pada masalah revolusi agraria, yaitu aspek anti-feodal atau aspek demokratis daripada revolusi Indonesia. Hal ini saya lakukan, karena memang inilah masalah yang paling mendesak pada dewasa ini, dan juga karena saya tahu bahwa ilmu ekonomi yang diajarkan di perguruan tinggi negeri kita umumnya mengabaikan hal ini, bahkan menarik kesimpulan-kesimpulan yang sangat menyesatkan dan keliru mengenai masalah agraria di Indonesia. Kalau nanti di dalam salah satu komisi Mubes ini akan diadakan diskusi tentang “peranan sarjana ekonomi dalam ikut menyukseskan pelaksanaan Dekon dan menumbuhkan ilmu ekonomi Sosialis Indonesia”, saya kira bahwa kekurangan-kekurangan yang sungguh menyolok sekali dalam hal menganalisa masalah agraria di negeri kita selama ini, perlu mendapat perhatian yang khusus. Ilmu ekonomi Sosialis Indonesia hendaknya jangan dianggap sesuatu yang terbatas pada menganalisa struktur ekonomi sosialis yang akan kita bentuk. Ilmu ekonomi sosialis akan bersifat abstrak dan tidak berguna kalau tidak mengambil sebagai titik tolaknya pembahasan secara ilmiah tentang aspek anti-imperialis dan anti-feodal dari revolusi kita. Tanpa ini, ilmu ekonomi tak mungkin dipergunakan sebagai alat untuk mencapai Sosialisme dengan semboyan “ilmu untuk Revolusi” tidak ada artinya sama sekali.

Bahwasanya revolusi agraria atau land reform merupakan bagian mutlak daripada revolusi Indonesia sudah tak dapat dibantah lagi. Dalam pidato Djarek, tahun 1960, Presiden Soekarno sudah menyatakan dengan gamblang sekali bahwa “Landreform berarti melaksanakan satu bagian yang mutlak dari Revolusi Indonesia”. Bahkan dikatakan oleh Bung Karno dalam pidato itu bahwa “Revolusi Indonesia tanpa landreform adalah sama saja dengan gedung tanpa alas, sama saja dengan pohon tanpa batang, sama saja dengan omong besar tanpa isi”. (Tubapi, hal. 223).

Mengapa landreform atau revolusi agraria merupakan bagian mutlak daripada revolusi Indonesia? Landreform berarti membebaskan kaum tani dari penghisapan feodal yang justru merupakan halangan terpokok terhadap perkembangan tenaga produktif di desa-desa, yaitu kaum tani sendiri. Kalau kita mau bicara tentang kepercayaan pada kekuatan diri sendiri, atau berdiri di atas kaki sendiri, perlu kita tanyakan, apa yang merupakan kekuatan kita sendiri yang paling vital? Tak lain tak bukan ialah mereka yang bekerja, yang menciptakan kekayaan materiil—tenaga produktif—atau dalam kata lain, kaum buruh dan kaum tani yang telah dinyatakan sebagai soko guru revolusi Indonesia “baik karena vitalnya maupun karena sangat banyak jumlahnya”, seperti dikatakan di dalam Manipol. Perhatikan! Tidak hanya karena besar jumlahnya, tetapi juga karena vitalnya! Tanpa tenaga produktif tidak ada produksi. Tanpa produksi tidak ada masyarakat. Betapa rupanya kita dalam ruangan ini seandainya tidak ada kaum buruh yang memproduksi tekstil!

Bung Karno dalam Gesuri telah berkata bahwa “tenaga-tenaga yang paling produktif adalah buruh dan tani. Oleh karena itu maka usaha menaikkan produksi ...... secara positif harus mengembangkan tenaga produktif buruh dan tani. Tanpa tenaga buruh dan tani, tak mungkin menaikkan produksi!” (Gesuri, hal. 33). Inilah production approach, atau pendekatan dari segi produksi, dalam arti kata yang sebenarnya.

Hendaknya sebutan soko guru ini diberi interpretasi yang tepat. Ini bukan sekedar perasaan kasihan pada si buruh atau si tani sebagai “orang kecil” yang perlu dibantu sedikit-sedikit. Ini adalah soal tenaga produktif dalam masyarakat kita, karena apa pun yang ada dalam masyarakat itu sendiri diciptakan oleh tenaga produktif, termasuk masyarakat itu sendiri. Kalau tenaga produktif itu dihalang-halangi oleh hubungan-hubungan produksi yang

tidak sesuai, maka satu-satunya cara untuk membebaskan tenaga produktif tersebut ialah mengubah hubungan-hubungan produksi itu. Inilah hakikat daripada pentingnya masalah landreform. Hanya dengan merombak hubungan-hubungan produksi secara feodal yang masih sangat kuat di desa-desa kita, tenaga produktif kaum tani akan bisa dibebaskan. Hanya dengan demikian, akan bisa kita memberikan “alas” kepada “gedung” yang harus dibangun oleh revolusi Indonesia, untuk meminjam contoh Bung Karno dalam pidato Djarek itu.

Pengertian tentang mutlak perlunya landreform, artinya tentang revolusi agraria sebagai intisari daripada revolusi Indonesia, sangat dikacaukan dan diperhambat oleh analisa yang menyesatkan yang dilakukan oleh sarjana-sarjana ekonomi Indonesia tertentu, yang umumnya melanjutkan pandangan kaum kolonialis Belanda, dan yang beranggapan bahwa di Indonesia “tidak ada tuan tanah” atau “tidak ada tuan tanah secara besar-besaran”, artinya tidak ada masalah feodalisme dan oleh karenanya tidak dibutuhkan landreform. Yang paling “berjasa” dalam menyebarkan analisa yang jahat ini ialah Sumitro, seorang yang sudah terkenal dan sudah telanjang bulat sebagai pemberontak dan pengkhianat terhadap Republik, tetapi yang teori-teori ekonominya yang sama khianat dan sama jahatnya belum cukup ditelanjangi, masih mendapat tempat dalam perguruan-perguruan tinggi kita dan masih menjiwai pegawai-pegawai tinggi dalam aparatur ekonomì negeri kita.

Apa yang dikatakan oleh Sumitro tentang masalah agraria? Dalam bukunya Ekonomi Pembangunan, kita baca sebagai berikut:

“Di Indonesia pada umumnya belum ada golongan tuan tanah (pemilik tanah) secara besar-besaran. Tetapi petani kecil terbelenggu oleh kekuasaan golongan tengkulak dan golongan pedagang besar yang biasanya terpusat di kota. Genggaman ekonomi oleh golongan pedagang di kota terhadap para produsen kecil di daerah dilakukan melalui perkreditan dan perhutangan. Golongan produsen seakan-akan terus-menerus berada dalam keadaan hutang. Di beberapa negara underdeveloped yang lainnya, terdapat golongan tuan tanah secara besar-besaran. Di situ sebagian terbesar penduduk daerah merupakan golongan tani yang tidak mempunyai tanah sendiri. Mereka hidup atas tanah yang dimiliki oleh segolongan yang jumlahnya kecil tetapi kekuasaannya besar”. (Ekonomi Pembangunan, P.T. Pembangunan 1955, hal. 48).

Ini sungguh suatu kesimpulan yang palsu dan menutupi keadaan sebenarnya di desa-desa kita. Apa yang dikatakan terdapat “di beberapa negara underdevelopedyang lainnya” justru terdapat di sini, di Indonesia. Sumitro berusaha menggambarkan seakan-akan kaum tani hanya sekedar menghadapi masalah modal pedagang dari kota, artinya bukan masalah penghisapan feodal melainkan masalah penghisapan kapitalis. Kesimpulan ini juga akan membawa pembacanya pada soal kontradiksi antara yang “asli” dan yang “bukan asli” karena bukankah “golongan tengkulak dan pedagang besar yang biasanya terpusat di kota” umumnya terdiri dari orang-orang yang keturunan asing sebagai akibat peninggalan masyarakat lama?

Lagi pula, menurut Sumitro hanyalah “di beberapa negara underdeveloped yang lainnya”. artinya tidak di Indonesia, terdapat keadaan di mana “sebagian terbesar penduduk daerah merupakan golongan tani yang tidak mempunyai tanah sendiri”. Jadi, seakan-akan di Indonesia “sebagian terbesar penduduk daerah merupakan golongan tani yang mempunyai tanah sendiri”. Sedangkan menurut Menteri Koordinator Bidang Pertanian dan Agraria, Sadjarwo SH, 60% dari penduduk desa Indonesia tidak memiliki tanah. Itulah bahayanya kalau seorang sarjana suka menarik kesimpulan-kesimpulan tidak atas dasar penelitian tentang keadaan konkret di negeri kita tetapi atas dasar pandangan subjektif. Dan dalam hal ini Sumitro hanya sekedar mengambil alih pikiran Van Mook yang juga berpendapat bahwa di Indonesia tidak ada tuan tanah!

Apa artinya pula, kalau dikatakan bahwa “di Indonesia ...... belum ada golongan tuan tanah secara besar-besaran”? Apakah dengan ini ingin dinyatakan bahwa tuan tanah “secara kecil-kecilan” tidak apa-apa, tidak menghisap kaum tani? Menurut kenyataannya, pemilikan tanah oleh tuan tanah di Indonesia relatif memang kecil, tetapi justru karena kecil itu penghisapannya adalah sangat intensif. Selain daripada itu jumlah tuan tanah adalah sangat banyak, dan jika ditotal milik tuan tanah yang banyak jumlahnya ini adalah juga besar. Ya, apa yang mau dikata, kalau mengadakan analisa seperti Sumitro ini dengan tidak lebih dahulu menegaskan apa yang dimaksudkan dengan kata “tuan tanah” itu. Sungguh satu analisa yang kosong dan sama sekali tidak ilmiah. Kalau mau menentukan apakah ini atau itu, ada atau tidak ada, apakah tidak seharusnya memberikan suatu definisi lebih dulu?

Kaum Komunis Indonesia sudah lama membuat definfsi tentang kelas di desa-desa Indonesia, dan atas dasar inilah, kami mengadakan penelitian-penelitian dan menyimpulkan apakah tuan tanah ada atau tidak di negeri kita.

Tuan tanah adalah orang yang memiliki tanah yang sama sekali tidak dikerjakan sendiri, dan yang sepenuhnya digarap oleh orang lain sehingga seluruh kekayaannya, dari ujung rambutnya sampai jari kakinya, diperoleh dari menghisap tenaga kerja orang lain dalam bentuk sewa tanah. Dari hubungan pemilik dengan penggarap ini timbul penghisapan melalui sewa tanah berupa hasil bumi, uang atau kerja, artinya penghisapan feodal.

Pengertian ini sepenuhnya sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Bung Karno dalam Djarek, di mana dikatakan sebagai berikut: “Tanah tidak boleh menjadi alat penghisapan! Tanah untuk Tani! Tanah untuk mereka yang betul menggarap tanah! Tanah tidak untuk mereka yang duduk ongkang-ongkang menjadi gemuk, gendut karena menghisap keringatnya orang-orang yang disuruh menggarap tanah itu!” (Tubapi, hal. 224). Inilah tuan tanah! Inilah definisi tuan tanah, yaitu orang-orang yang ongkang-ongkang tidak bekerja, hidup dari menghisap keringat orang-orang yang disuruh menggarap tanahnya. Tentang berapa luasnya tanah yang bisa memungkinkan orang “duduk ongkang-ongkang” itu tergantung pada banyak hal, seperti kesuburan tanah, irigasi dan lain-lain. Di Delanggu (Jateng) dengan 2 ha orang sudah bisa hidup ongkang-ongkang, karena tanahnya subur, sedangkan di Bojonegoro tidak demikian halnya.

Dengan analisa yang demikian, maka masalahnya menjadi jelas. Di satu pihak misalnya, seorang yang memiliki tanah yang agak banyak tetapi yang ikut sendiri mengerjakan pekerjaan pokok, walaupun di samping itu ia juga sekedar melakukan penghisapan secara feodal atau secara kapitalis, bukanlah seorang tuan tanah. Ia adalah tani kaya dan karenanya ia tidak menjadi sasaran dalam menjalankan landreform. Mengapa? Karena bagaimana pun juga, ia tetap merupakan tenaga produktif, karena ia juga bekerja sendiri, sehingga masih ada juga gunanya bagi revolusi dan perkembangan ekonomi kita.

Demikian pula misalnya seorang pegawai negeri yang memiliki sedikit tanah yang sepenuhnya digarap oleh orang lain. Walaupun ia melakukan penghisapan feodal (sewa tanah), tapi ia bekerja sendiri sebagai pegawai, dan jika penghasilannya yang pokok diperoleh dari jabatannya sebagai pegawai, maka ia tidak boleh diperlakukan sebagai tuan tanah. Ia adalah penyewakan-tanah kecil. Akan tetapi, jika tanahnya begitu luas dan subur sehingga ia tanpa bekerja pun bisa hidup ongkang-ongkang dari sewa tanah, maka ia adalah tuan tanah dan menjadi sasaran revolusi.

Hal ini saya anggap perlu diuraikan, karena selalu akan terdapat rintangan-rintangan dalam melakukan revolusi agraria atau landreform jika tidak ada kejelasan mengenai sasarannya. Sungguh, masalah terpenting dalam revolusi ialah mengenal siapa musuh revolusi di samping mengenal kawan revolusi!

Kaum Komunis Indonesia sudah sejak lama berpendirian, bahwa masyarakat Indonesia masih tetap merupakan masyarakat setengah feodal dengan sisa-sisa feodal yang berat. Program PKI yang disahkan 10 tahun yang lalu dalam Kongres Nasional ke-V PKI meliputi tuntutan-tuntutan landreform yang radikal yang sepenuhnya sesuai dengan semboyan Bung Karno “Tanah untuk mereka yang betul-betul menggarap tanah”. Sudah lama Program itu menjadi sasaran dan ejekan kaum reaksioner yang mencemooh PKI karena janji-janji tanah untuk kaum tani hanya bisa dipenuhi, katanya, dalam bentuk tanah untuk kuburan. Tetapi sekarang, Program resmi revolusi Indonesia sudah dengan tegas menyatakan kemutlakannya landreform dan menolak sama sekali pandangan Sumitro yang amat keliru itu.

Dalam hubungan ini, saya dapat kemukakan di sini beberapa pengalaman langsung dari suatu proyek riset (research) yang telah saya lakukan di seluruh Jawa dengan dibantu oleh kurang lebih 250 kader PKI dan organisasi-organisasi massa yang langsung saya pimpin, dan yang dibantu oleh kurang lebih 3000 petugas di desa-desa dan kecamatan-kecamatan. Sejak bulan Februari tahun ini sampai akhir bulan Mei, saya telah melakukan suatu riset mengenai keadaan kaum tani dan gerakan tani di seluruh pulau Jawa. Di dalam riset itu, telah diriset desa-desa yang tersebar dalam 124 kecamatan di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Desa-desa yang diriset dipilih secara teliti supaya dapat meliputi berbagai desa pertanian, nelayan, kehutanan, perkebunan dan sebagainya sehingga cukup bisa menggambarkan variasi yang sungguh luas yang terdapat di pulau Jawa ini.

Tak mungkin bagi saya pada kesempatan ini untuk memberikan uraian lengkap tentang hasil-hasil riset itu. Semuanya telah dan akan diumumkan dalam bentuk buku. Tetapi saya ingin mengemukakan beberapa hal, sebab saya anggap hasil-hasil riset itu erat sekali hubungannya dengan tema pokok Mubes ini, dan juga erat sekali hubungannya dengan beberapa anak-anak tema, terutama masalah produksi pangan.

Hasil riset yang paling penting ialah sepenuhnya membenarkan kesimpulan Dekon tentang masih adanya sisa-sisa feodalisme yang harus dikikis habis, bahkan hasil-hasil riset membuktikan, bahwa ini merupakan hal yang sangat mendesak. Riset itu menunjukkan dengan sangat jelas bahwa penindasan kejam di desa-desa berlangsung melalui apa yang saya namakan “7 setan desa”, yaitu tuan tanah jahat, lintah darat, tukang ijon, tengkulak jahat, kapitalis birokrat, penguasa jahat dan bandit desa. Istilah “jahat” mengenai tuan tanah dipakai karena yang dimaksudkan ialah tuan tanah-tuan tanah yang membangkang terhadap pelaksanaan UUPA dan UUPBH. Tuan tanah-tuan tanah yang mau melaksanakan kedua undang-undang negara ini, yang jumlahnya sangat sedikit, tidak termasuk golongan tuan tanah jahat. Demikian pula, tengkulak dan penguasa tidak semuanya jahat, tidak semuanya kejam. Yang menjadi sasaran perjuangan kaum tani dewasa ini hanya mereka yang jahat, yang kejam.

Bentuk penghisapan feodal yang paling pokok ialah monopoli tanah di tangan tuan tanah yang menghisap kaum tani melalui sistem sewa tanah feodal yaitu sewa tanah yang berbentuk hasil bumi, kerja atau uang. Kemelaratan kaum tani yang disebabkan oleh penghisapan feodal ini mengakibatkan bahwa mereka menjadi mangsanya kaum lintah darat, tukang ijon dan kaum tengkulak jahat yang melakukan berbagai macam penghisapan sehingga di samping menyebabkan semakin melaratnya kaum tani, juga menyebabkan proses pemusatan tanah berjalan terus-menerus, artinya sistem feodal menjadi semakin kuat.

Penemuan tentang adanya 7 setan desa adalah penting karena menunjukkan bahwa sisa-sisa feodalisme di negeri kita merupakan suatu sistem yang luas dan bersegi banyak dengan monopoli atas tanah sebagai porosnya. Kaum tani dihisap oleh tuan tanah dan karenanya melarat. Karena itu lintah darat bisa tumbuh subur, sebab kaum tani selalu membutuhkan pinjaman untuk menutupi kebutuhan yang paling elementer. Terdesak oleh kebutuhan-kebutuhan uang tunai, kaum tani dapat diperas secara kejam oleh tukang ijon. Demikian pula tengkulak jahat dapat memeras kaum tani baik dengan membeli hasil-hasilnya dengan harga jauh di bawah harga pasar maupun dengan menjual kebutuhan-kebutuhan kepada kaum tani dengan harga-harga jauh di atas harga pasar dengan sistem bayar-cicilan. Kaum kapitalis birokrat yang sedang dengan cepat muncul di berbagai desa-desa juga dapat melakukan penghisapan dengan gampang karena keadaan kaum tani begitu melarat. Penghisapan oleh tukang ijon, lintah darat, dan sebagainya, makin lama memaksakan kaum tani yang masih memiliki tanah untuk melepaskan tanahnya sebagai borg atau melalui berbagai sistem gadai.

Kaum tani ibarat bola pingpong yang dipukul oleh penghisap sini, lari ke penghisap sana, dipukul penghisap sana lari ke penghisap situ, dan seterusnya. Sedangkan setan-setan dosa yang saya namakan penguasa-penguasa jahat dan bandit-bandit desa merupakan alat-alat bagi kaum penghisap untuk mempertahankan dan memperdalam penghisapan dan oleh karenanya merupakan bagian integral daripada sistem feodalisme itu.

Adalah sama sekali tidak masuk akal kesimpulan Sumitro bahwa satu-satunya sumber kemelaratan kaum tani ialah tengkulak dan genggaman ekonomi melalui perkreditan dan perhutangan. Ini berarti menutup mata terhadap apa yang menyebabkan kaum tani sampai bisa menjadi mangsanya tengkulak dan si pemberi kredit. Mau tidak mau, kesimpulan Sumitro pun membuktikan tentang adanya penghisapan feodal, sekalipun ia berusaha untuk menyembunyikannya.

Penghisap feodal menguasai seluruh kehidupan kaum tani. Ia tidak hanya membikin mereka sengsara dan sangat melarat tetapi juga amat membatasi daya produktif mereka. Di dalam buku yang telah saya tulis mengenai hasil-hasil riset di Jawa Barat, saya menguraikan berbagai bentuk penghisapan yang terjadi di desa-desa dengan memberikan contoh-contoh yang diketemukan dalam riset yang saya lakukan itu. Dan berdasarkan bahan-bahan riset tersebut, saya menarik kesimpulan sebagai berikut:

“Dengan demikian kaum tani sudah menjadi sasaran penghisapan mulai dari ketika mereka menanam padi sampai kepada panennya dan juga waktu mereka mau menjual hasil panennya dan membeli barang-barang keperluan hidup sehari-hari dan barang-barang untuk berproduksi kembali seperti alat-alat pertanian, pupuk, dan lain sebagainya. Maka, syarat-syarat produksi kaum tani dikuasai betul oleh kaum tuan tanah, lintah darat, tukang ijon, kapitalis birokrat dan tengkulak”. (Kaum Tani Mengganyang Setan-setan Desa, Jilid I, hal. 32). Selanjutnya saya simpulkan sebagai berikut: “Kemerosotan taraf hidup kelas-kelas yang merupakan tenaga produktif pokok di desa mengakibatkan kemerosotan daya produksi pertanian. Di samping kekuarangan makanan yang menurunkan daya kerja buruh tani dan tani miskin, kemampuan tani miskin dan tani sedang untuk mengongkosi produksi terus merosot. Hal ini langsung membahayakan proses produksi pertanian itu sendiri.” (Kaum Tani Mengganyang Setan-setan Desa, Jilid I, hal. 37).

Dengan demikian kaum tani sukar untuk melakukan reproduksi, artinya menciptakan kembali hasil-hasil yang cukup untuk menggantikan modal yang dipergunakan dalam siklus produksi yang lalu termasuk tenaga kerjanya, apalagi untuk melakukan produksi, artinya menciptakan kekayaan materiil yang baru.

Dalam kesimpulan-kesimpulan ini, saya berusaha menggambarkan, bahwa hubungan-hubungan produksi feodal merupakan suatu sistem yang luas, yang bersegi banyak dan yang sangat menghambat perkembangan tenaga-tenaga produktif di desa-desa. Tenaga-tenaga produktif di desa hanya akan dapat dibebaskan dari tekanan-tekanan ini dengan diakhirinya hubungan-hubungan feodal tersebut. Inilah sebabnya mengapa landreform merupakan bagian mutlak daripada revolusi Indonesia.

Tidak perlu kiranya saya menunjukkan betapa kesimpulan-kesimpulan ini berbeda dengan kesimpulan-kesimpulan Sumitro. Dalam segala hal dapat saya tekankan bahwa riset yang telah saya lakukan itu sepenuhnya membuktikan kepalsuan analisa Sumitro dan kebenaran Dekon tentang perlunya sisa-sisa feodalisme dikikis habis.

Pelaksanaan Dekon Di bidang Agraria Hanya Bisa Dijamin Dengan Mengganyang Setan-Setan Desa.

Pelaksanaan Dekon di desa-desa, artinya pelaksanaan strategi dasar ekonomi, hanya mungkin tercapai dengan mengganyang setan-setan desa. Dan ini sudah menjadi keyakinan kaum tani Indonesia yang sedang bangkit dalam suatu gerakan untuk melawan setan-setan desa ini. Gerakan ini terutama timbul sebagai reaksi kaum tani terhadap aksi sepihak reaksioner setan-setan desa itu sendiri yang sudah lama berusaha keras untuk menghalang-halangi pelaksanaan Undang-undang Negara yang maju, yaitu Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil (UUPBH) dan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).

Timbulnya kebangkitan kaum tani yang terutama mengambil bentuk dalam apa yang telah secara luas dikenal sebagai aksi sepihak kaum tani melawan aksi sepihak tuan tanah yang membangkang terhadap UUPA dan UUPBH ternyata telah membikin geger tuan tanah dan pembela-pembelanya, telah menimbulkan kehebohan dalam masyarakat kita, sehingga ada baiknya kiranya kalau saya jelaskan pokok-pokok persoalannya karena menurut saya, persoalan ini tak mungkin dilepaskan dari tema Mubes ini, dari prinsip-prinsip dasar yang menjiwainya dan dari berbagai anak-anak tema yang akan dibahas dalam komisi-komisi Mubes nanti.

Diundangkannya UUPBH dan UUPA dalam tahun 1960 merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan politik dan ekonomi Indonesia. Dua undang-undang ini tidak merupakan landreform yang radikal, yang menghabis-tamatkan sisa-sisa feodalisme. UUPA hanya membatasi luas pemilikan tanah oleh tuan tanah, artinya masih memungkinkan seorang untuk “duduk ongkang-ongkang menjadi gemuk, gendut karena menghisap keringatnya orang-orang yang disuruh menggarap tanah itu”. Hanya, luas tanah yang boleh digunakan sebagai alat penghisapan dibatasi. Memang benar seperti apa yang dikatakan oleh Bung Karno dalam Djarek, bahwa “pada taraf sekarang ...... landreform di satu pihak berarti penghapusan segala hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah dan mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur” (Tubapi, hal. 224). Sedangkan UUPBH walaupun menguntungkan kaum tani, juga sangat terbatas sifatnya, yaitu hanya sekedar mengusahakan perbaikan sedikit dalam bagi-hasil yang diperoleh oleh penggarap. Jika sebelumnya UUPBH, sebagian besar penggarap tanah dengan sistem bagi-hasil harus menyerahkan 50% atau lebih dari hasil kotornya kepada tuan tanah, artinya ongkos produksi ditanggung oleh penggarap dari bagiannya itu, maka jika UUPBH dilaksanakan, penggarap umumnya memperoleh paling sedikit 50% dari hasil bersih (pembagian di masing-masing daerah ditentukan oleh Bupati sesuai dengan ancer-ancer 1:1 seperti yang ditetapkan di dalam UUPBH) sedang penggantian ongkos-ongkos produksi jatuh di tangan penggarap dan tidak di-bagi-hasil-kan.

Tetapi kenyataan membuktikan, bahwa sekalipun terbatas, kedua undang-undang ini telah menimbulkan perlawanan yang luas sekali dari tuan tanah-tuan tanah jahat yang mencari segala akal jahat seperti misalnya “hibah palsu”, “cerai-palsu” dan bahkan “mati-palsu”, untuk melakukan manipulasi dengan tanah lebihnya, untuk mencegah pelaksanaan UUPA terhadap tanah lebihnya dan, kalau akal-akal ini semuanya gagal, untuk menjamin supaya tanah lebihnya “dibagi” kepada anggota keluarga konco-konconya yang bukan penggarap, sehingga dengan demikian tanah tetap berada dalam kekuasaannya. Demikian pula, mereka sangat menentang UUPBH dan umumnya menolak untuk mengadakan perjanjian-perjanjian dengan penggarap yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan UUPBH itu. Betapa luas pelanggaran-pelanggaran terhadap UUPBH dapat dirasakan dari kenyataan, bahwa atas nasehat Dewan Pentimbangan Agung (DPA) Menteri Pertanian dan Agraria telah merasa perlu mengeluarkan Peraturan Menteri No. 4, 1964 yang mengadakan sanksi-sanksi terhadap tuan tanah yang melanggar UUPBH. Menurut Peraturan Menteri itu terhadap tuan tanah tersebut dipaksakan suatu bagi hasil 6:2:2, yaitu 6 untuk penggarap, 2 untuk Pemerintah dan 2 untuk tuan tanah.

Bahwasanya UUPA dan UUPBH mengalami kemacetan saya rasa tidak terlalu mengherankan. Bukankah ini hanya membuktikan bahwa di Indonesia memang ada tuan tanah dan ada sistem feodal? Yang boleh heran kiranya ialah mereka yang tadinya mengira bahwa di Indonesia tidak ada “tuan tanah secara besar-besaran”!

Mula-mula kaum tani menyambut UUPA dan UUPBH dengan hangat sekalipun undang-undang ini hanya menguntungkan mereka secara terbatas. Mula-mula kaum tani sangat mengharapkan dan menantikan pelaksanaannya. Tetapi apa yang terjadi? Manipulasi, pelanggaran, kehebohan, kemunafikan, yang semuanya menandai aksi sepihak reaksioner dari tuan tanah jahat dibantu terutama oleh penguasa-penguasa jahat untuk mencegah pelaksanaan undang-undang yang sah sehingga UUPA dan UUPBH macet, tidak berjalan. Maka tidak mengherankan pula jika tiba gilirannya bagi kaum tani untuk bangkit mengadakan aksi sepihak revolusioner yang sesuai dengan tujuan revolusi, yang tujuannya untuk melaksanakan undang-undang resmi negeri kita. Mengapa kebangkitan kontra-revolusioner tuan tanah-tuan tanah dan setan-setan desa lainnya tidak menimbulkan kehebohan, tetapi kebangkitan revolusioner kaum tani justru dihebohkan? Ini sungguh membukakan segala borok-borok yang tadinya tertutup oleh demagogi-demagogi revolusioner!

Dalam textbook-textbook ekonomi liberal tentang kaum tani dan desa-desa di negeri-negeri yang biasanya disebut “underdeveloped”, kaum tani sering dikritik dan diejek karena pasivitetnya, tidak suka hal-hal yang baru, sangat konservatif, dan lain-lain. Tetapi kalau kaum tani Indonesia justru membuktikan dirinya bahwa mereka tidak konservatif, pasif dan sebagainya, kok dikatakan “mengamuk”, “rewel”, dan sebagainya. Hendaknya disadari oleh kita semua bahwa kaum tani Indonesia sedang memberikan suatu pelajaran yang sangat penting kepada kita semua yaitu bahwa suatu revolusi tidak bisa terjadi kalau tidak digerakkan oleh kekuatan-kekuatan di dalam masyarakat sendiri. Riset yang saya lakukan membuktikan bahwa di mana berjalan agak baik pelaksanaan UUPA dan UUPBH, yang seperti dikatakan oleh Bung Karno merupakan “selangkah maju” di atas jalan revolusi kita, ini pada pokoknya disebabkan oleh karena aksi-aksi yang dilaksanakan oleh kaum tani sendiri, kadang-kadang dengan memberikan korban-korban yang tidak sedikit. Jadi bukan karena ketaatan para pejabat pada undang-undang negara. Dari riset yang telah saya lakukan, ternyata bahwa kira-kira 51.750 penggarap di Jawa Barat telah melaksanakan UUPBH atas luas tanah kira-kira 11.500 ha dan pada umumnya ini adalah hasil aksi-aksi sepihak. Anehnya, angka-angka ini adalah jauh lebih tinggi dari angka-angka Panitia Pusat Landreform yang sampai sekarang baru mencatat 25.345 perjanjian menurut UUPBH untuk seluruh Indonesia atau hanya 9.628 perjanjian untuk Jawa Barat. (Lihat “Laporan Perkembangan Pelaksanaan Landreform Sampai Akhir Tahun 1963”, tgl. 15 Januari 1964). Tetapi angka yang lebih tinggi ini toh tidak lebih daripada setetes air dalam lautan penduduk Jawa Barat sebanyak 6.558.650 tani dewasa, di antara mana kurang lebih dari 75% atau kurang lebih 5 juta adalah kaum tani yang menggarap tanah orang lain yang seharusnya sudah mengadakan perjanjian bagi hasil menurut UUPBH. Artinya pelaksanaan UUPBH hanya kurang lebih 1% (51.000 sebagai persentase dari 5 juta) di seluruh Jawa Barat!

Ternyata bahwa gerakan tani agak lebih lengkap angka-angkanya tentang pelaksanaan UUPBH sehingga keadaan pelaksanaannya memang adalah sedikit lebih baik daripada apa yang digambarkan oleh Pemerintah. Tetapi dari gerakan tani dapat kita ketahui pula bahwa pelaksanaan ini adalah berkat aksi-aksi kaum tani sendiri. Seharusnya Pemerintah berterima kasih kepada kaum tani karena telah mengadakan aksi-aksi untuk melaksanakan suatu undang-undang resmi. Tetapi anehnya, ada pejabat-pejabat pemerintah yang tidak berterima kasih, bahkan yang memfitnah kaum tani dengan kata-kata “kontra-revolusioner”, “anarkis”, “mengacau”, dan sebagainya.

Instruksi Pd. Presiden Leimena tgl. 15 Juni 1964 yang tidak membenarkan tindakan sepihak dari golongan mana pun hanya dapat dipahami jika berdasarkan instruksi ini akan diambil tindakan-tindakan terhadap tuan tanah-tuan tanah yang telah melakukan tindakan sepihak reaksioner melanggar UUPA dan UUPBH. Jika tindakan ini sungguh-sungguh diambil, maka aksi sepihak revolusioner kaum tani sama sekali tidak diperlukan dalam usaha melaksanakan UUPA dan UUPBH.

Stop Impor Beras! Hanya Mungkin Dicapai dengan Mengganyang Setan-setan Desa.

Baru-baru ini, Bung Karno telah mengetengahkan suatu semboyan yang amat tepat, yaitu “stop impor beras!”, atau “laksanakan prinsip berdiri di atas kaki sendiri di bidang pangan!”. Sungguh suatu keganjilan jika negeri kita yang begitu kaya raya dan subur makin

lama makin banyak mengimpor beras, sampai-sampai impor beras menelan tak kurang dari seperempat daripada penghasilan ekspor kita. Keadaan ini harus segera diakhiri.

Dalam mencapai tujuan ini, memang bisa diambil langkah-langkah yang bersifat sementara yaitu dengan memperluas konsumsi bahan-bahan makanan lainnya, terutama jagung. Tetapi satu-satunya cara yang permanen untuk mencapai self-sufficiency atau mencukupi diri dalam bahan makanan ialah dengan menaikkan produksi dan memperbaiki lalu lintas barang-barang antara desa dan kota. Tidak dapat dibenarkan jika “stop impor beras” mau dilaksanakan dengan jalan mengurangi konsumsi bahan-bahan makanan atau memperkecil jumlah distribusi pangan kepada pegawai negeri, angkatan bersenjata dan sebagainya. Jika distribusi ini dikurangi atau diganti dengan uang, aka ini akan mempunyai akibat yang sangat merugikan terhadap tingkat harga. Masalah pokok ialah produksi, dan selama masalah ini tidak dipecahkan selalu akan timbul kesulitan dalam masalah pangan, biar beras, jagung atau apa saja yang kita makan.

Seperti sudah saya jelaskan di atas, daya produksi kaum tani sedang merosot. Dengan masih berkuasanya setan-setan desa atas hasil pertanian kaum tani, maka sekalipun kaum tani berhasil memperoleh panen yang baik, ini selalu akan direbut dan dimonopoli oleh setan-setan desa itu. Dan setan-setan desa itu bukan hanya merupakan sumber penghisapan terhadap kaum tani; mereka tidak kurang kejam dalam mengacaukan dan memanipulasi distribusi hasil-hasil pertanian, semuanya untuk memperbesar kuntungan-keuntungan mereka sendiri. Jika misalnya kita membahas masalah harga dalam pasaran beras, maka ternyata bahwa ada kontradiksi antana harga rendah yang dibutuhkan oleh para konsumen di kota-kota dengan harga tinggi yang harus dibayar untuk beras dan hasil-hasil pertanian lainnya. Tetapi hendaknya disadari, bahwa harga-harga tinggi itu sama sekali tidak membawa keuntungan bagi kaum penggarap yang hanya kenal melarat saja, dan yang terus dihisap oleh tukang ijon, tengkulak jahat dan sebagainya. Harga-harga yang tinggi itu merupakan akibat daripada salah urus kaum kapitalis birokrat dan akibat pula dari manipulasi serta monopoli setan-setan desa atas hasil produksi pertanian. Para penggarap sendiri tentu akan jauh lebih beruntung jika mereka tidak dihisap, jika mereka bisa memperoleh harga yang pantas bagi hasil-hasilnya dan membeli kebutuhan-kebutuhannya dengan harga pantas pula.

Dalam hubungan ini pula, perlu saya tegaskan bahwa ocehan-ocehan kaum sarjana ekonomi tertentu bahwa kaum tani “tidak dirugikan oleh inflasi” adalah suatu kebohongan besar. Analisa yang meleset ini juga timbul karena keadaan konkret di desa-desa sama sekali tidak diketahui. Kaum buruh tani, tani miskin dan juga kaum tani sedang semuanya menderita sekali akibat adanya inflasi, karena mereka itu memang banyak membeli kebutuhan-kebutuhannya dan pasar sedangkan peningkatan harga-harga semakin menjadikan mereka sebagai mangsa setan-setan desa, terutama tukang ijon, lintah darat dan tengkulak jahat. Berbeda sekali dengan kesimpulan palsu itu, riset yang telah saya lakukan di Jawa membuktikan bahwa inflasi menyebabkan makin cepat proses konsentrasi tanah, makin melaratnya kaum tani dan makin kuat dan berdominasinya setan-setan desa, sehingga makin mendesak pula masalah pelaksanaan landreform untuk mencegah kemerosotan daya produksi yang menjadi salah satu ciri utama dalam desa-desa itu dewasa ini.

Dengan demikian nyatalah, bahwa mengganyang setan-setan desa tidak hanya akan menguntungkan kaum tani tetapi juga secara langsung akan menguntungkan kaum konsumen bahan-bahan pertanian di kota-kota. Jika setan-setan desa ini bisa dikikis habis, kita akan bisa mencapai struktur harga antara desa dan kota yang menguntungkan baik kaum produsen di desa-desa maupun kaum konsumen di kota-kota, karena terbukalah kemungkinan untuk menciptakan suatu hubungan pertukaran (komersial) yang langsung antara produsen dan konsumen dengan tidak melalui setan desa lagi.

Jelaslah kiranya, bahwa pelaksanaan semboyan “stop impor beras!”, pelaksanaan prinsip berdiri di atas kaki sendiri di bidang pangan, penciptaan struktur harga yang menguntungkan antara desa dan kota semuanya tergantung pada tuntutan pokok yang dikemukakan dalam Dekon yaitu mengikis habis sisa-sisa feodalisme, yang secara konkret berarti mengganyang setan-setan desa sampai habis.

III. MENGEMBANGKAN ILMU EKONOMI INDONESIA YANG SESUAI DENGAN TUGAS NASIONAL DEMOKRATIS MENUJU KE MASYARAKAT SOSIALIS INDONESIA

Saudara-saudara yang berkumpul dalam Musyawarah ini adalah pekerja ilmu. Melalui Musyawarah ini Saudara-saudara berusaha menggunakan ilmu masing-masing untuk membahas masalah-masalah ekonomi Indonesia. Dengan mengambil Pelaksanaan Dekon sebagai tema pokok, maka pendekatan terhadap masalah-masalah ekonomi adalah tepat, sebab Dekon merupakan suatu program ekonomi yang ilmiah karena sesuai dengan strategi umum revolusi Indonesia.

Akhir-akhir ini, makin banyak diketengahkan semboyan “ilmu untuk Rakyat” atau “ilmu untuk revolusi” sehingga sudah dirasakan bahwa semboyan “ilmu untuk ilmu” telah mengalami kekalahan total dalam masyarakat. Tetapi ini tentu belum berarti, bahwa semboyan yang tepat, yaitu “ilniu untuk revolusi”, sudah dilaksanakan di mana-mana dan dengan cara yang tepat pula. Untuk menyadari benar-benar tepatnya semboyan “ilmu untuk revolusi” adalah perlu sekali lebih dahulu membongkar kepalsuan semboyan “ilmu untuk ilmu”, sebab kalau kita tidak berbuat demikian, bisa jadi ada orang yang menganggap bahwa “ilmu untuk ilmu” adalah ilmu yang objektif, sedangkan “ilmu untuk revolusi” adalah ilmu yang subijektif.

Ilmu yang tidak berpihak, artinya ilmu yang objektif dalam arti kata “impartial” hanya ada dalam bayangan orang-orang tertentu. Ilmu apa pun adalah berpihak, juga ilmu-ilmu eksakta dan ilmu-ilmu alam dalam arti bahwa ilmu itu bagaimanapun juga diperkembangkan ke arah jurusan yang melayani kepentingan-kepentingan kelas atau golongan yang berkuasa dalam masyarakat. Hal ini dapat kita buktikan dengan jelas kalau kita memperhatikan perkembangan ilmu tumbuh-tumbuhan, ilmu geologi, ilmu kedokteran dan sebagainya selama negeri kita dikuasai oleh kaum imperialis Belanda.

Apalagi, ilmu-ilmu sosial, termasuk dan terutama ilmu ekonomi, sepenuhnya mencerminkan kepentingan kelas atau golongan dan tak bisa dipisahkan dari kepentingan kelas atau golongan. Ilmu adalah bagian daripada bangunan atas sesuatu masyarakat, artinya merupakan alat bagi kelas-kelas yang berkuasa untuk mempertahankan kekuasaannya. Ini berlaku di masyarakat feodal, di masyarakat kapitalis, maupun di masyarakat sosialis.

Di dalam masyarakat Indonesia di mana masih terdapat sisa imperialisme dan sisa-sisa feodalisme, sudah barang tentu ilmu akan dipergunakan sebanyak-banyaknya oleh mereka yang menguasai kehidupan ekonomi di negara kita, yaitu kaum imperialis dan tuan tanah serta kaki tangan-kaki tangannya untuk mempertahankan diri, apalagi dewasa ini di kala Manipol dan Dekon sudah menyatakan bahwa tugas kita ialah mengikis habis sisa-sisa imperialisme dan feodalisme.

Tetapi di samping sisa-sisa tersebut, juga terdapat aspek revolusioner, aspek Rakyat, dalam kekuasaan politik di Indonesia dan terdapat pula gerakan Rakyat yang bekerja sama dengan aspek revolusioner dalam kekuasaan politik itu untuk mengganyang sisa-sisa imperialisme dan feodalisme sebagai tugas pokok dalam tahap revolusi sekarang ini. Aspek revolusioner dalam kekuasaan negara serta gerakan Rakyat ini tentu juga seharusnya mempergunakan ilmu untuk memperkuat dan memperhebat perjuangan mereka, memperkuat dan memperhebat aspek revolusioner tersebut. Inilah yang dinamakan “ilmu untuk revolusi” atau “ilmu untuk Rakyat”.

Kepada kita yang bertekad mewujudkan semboyan “ilmu untuk revolusi” secara nyata dituntut pekerjaan yang banyak untuk merealisasi semboyan ini, artinya untuk memperkembangkan ilmu atau teori-teori ilmiah yang dapat mendorong maju gerakan revolusioner. Secara konkret, bagi para pekerja ilmu sosial, ini berarti mengembangkan teori-teori ilmiah yang dapat mendorong maju pelaksanaan Manipol dan Dekon. Ilmu semacam ini memang berpihak. Dan berpihak yang demikian adalah objektif karena berpihak kepada kebenaran, artinya berpihak kepada sesuatu yang berjalan menurut hukum perkembangan sejarah yang diciptakan oleh Rakyat.

Tentu mengembangkan ilmu yang mengabdikan diri kepada revolusi hanya bisa terjadi dalam suatu proses perjuangan terhadap ilmu yang melawan arus revolusi atau yang kontra-revolusioner. Teori-teori ilmiah yang revolusioner hanya dapat dimenangkan sambil menelanjangi teori-teori yang kontra-revolusioner. Tanpa menelanjangi teori-teori yang kontra-revolusioner, teori ilmiah yang revolusioner tidak mungkin berkembang.

Hal-hal yang saya kemukakan di atas kiranya berlaku secara khusus di bidang ilmu ekonomi karena ilmu ini adalah ilmu yang paling dekat dengan kepentingan-kepentingan Rakyat. Bahkan seperti sudah saya katakan di atas, politik adalah pernyataan terpusat daripada ekonomi, dan ekonomi adalah dasar dan tujuan daripada politik.

Adalah satu kenyataan, bahwa pada umumnya ilmu ekonomi yang diajarkan dalam perguruan-perguruan tinggi Indonesia masih melanjutkan tradisinya yang lama yang mendapat inspirasi dari ilmu ekonomi borjuis, ilmu ekonomi liberal. Jika tadinya ahli-ahli ekonomi borjuis Belanda besar pengaruhnya dalam perguruan tinggi Indonesia di bidang ekonomi, kedudukan mereka itu makin lama makin terdesak oleh ahli-ahli ekonomi borjuis Amerika Serikat yang secara khusus melayani kepentingan-kepentingan kaum imperialis AS untuk menjadikan Indonesia dan negeri-negeri baru merdeka lainnya sebagai daerah-daerah kekuasaan neo-kolonialis mereka.

Teori-teori ekonomi liberal yang masih mempunyai tradisi kuat dalam fakultas-fakultas ekonomi Indonesia sudah tentu menjadi perintang utama untuk memperkembangkan dan mewujudkan program revolusioner kita di bidang ekonomi, yaitu Dekon. Saya dapat mengerti, kalau kaum sarjana ekonomi Indonesia mengalami kesukaran besar karena Dekon mengharuskan mereka untuk merombak sama sekali ilmu ekonomi yang mereka miliki selama ini. Banyak di antaranya yang sama sekali tidak mau merombaknya sehingga mereka bersikap yang sangat negatif dan mengejek terhadap Dekon. Malahan saya pernah membaca bahwa ada seorang dosen ekonomi yang suka menanyakan kepada mahasiswa-mahasiswanya yang sedang diuji untuk mengemukakan “segi-segi negatif” daripada Dekon.

Ada pula yang tidak sampai secara terbuka bersikap negatif terhadap Dekon, artinya mereka menerima dalam mulut, tetapi selalu menegaskan, bahwa Dekon harus dilaksanakan “secara pragmatis” yang pada pokoknya berarti berbuatlah apa yang dikehendaki dengan melepaskan prinsip-prinsip. Semuanya ini dilakukan dengan dalih “agar sesuai dengan hukum-hukum ekonomi”, seolah-olah Dekon itu sendiri adalah program yang tidak sesuai dengan hukum-hukum ekonomi, tidak berdasarkan hukum-hukum ekonomi, artinya hukum-hukum yang sesuai dengan tugas-tugas revolusi nasional-demokratis sekarang untuk menuju ke ekonomi sosialis Indonesia.

Dalam hubungan dengan masalah ini, saya ingin membahas beberapa segi daripada teori-teori yang disebarkan oleh Sumitro. Saya anggap hal ini penting untuk dapat mengembangkan suatu ilmu ekonomi Indonesia yang memang benar-benar bisa diabdikan kepada kepentingan-kepentingan revolusi. Hal ini sukar dicapai kalau teori-teori Sumitro yang berpengaruh di perguruan tinggi kita, terutama sejak tahun 1950, belum ditelanjangi, belum diganyang habis-habisan.

Di atas telah saya kemukakan betapa palsunya kesimpulan Sumitro mengenai masalah agraria di Indonesia. Mengikuti pandangan Sumitro dalam hal ini berarti menentang Dekon yang menuntut agar sisa-sisa feodal dikikis habis. Menurut Sumitro di Indonesia tidak ada masalah penghisapan feodal, oleh karena itu dengan sendirinya perjuangan melawan sisa-sisa feodal adalah suatu omong kosong. Kekeliruan pandangan ini sudah berakibat jauh sekali seperti kita lihat dewasa ini, di mana aksi-aksi yang dijalankan oleh kaum tani untuk melaksanakan UUPA dan UUPBH yang merupakan suatu perjuangan anti-feodal, bukan hanya tidak disokong dan didorong oleh kalangan-kalangan tertentu, tetapi bahkan dihebohkan dan dikutuk sebagai aksi kontra-revolusioner. Sebab pokok daripada sikap ini ialah tidak mengakui atau tidak mau mengakui bahwa memang ada sisa-sisa feodal di desa-desa Indonesia, bahkan sisa-sisa yang berat yang melakukan penghisapan feodal secara kejam, dan bahwa sisa-sisa feodal sedang berusaha keras untuk mempertahankan diri.

Sumitro terutama memperkembangkan teori-teori mengenai masalah pembangunan ekonomi dan berusaha menjelaskan mengapa ekonomi Indonesia adalah ekonomi yang terbelakang. Sumitro berusaha menegaskan keterbelakangan ekonomi Indonesia sebagai akibat adanya suatu “vicious circle” atau lingkaran yang tak berujung pangkal, suatu “vicious circle of poverty” yang digambarkan sebagai berikut: tidak ada penanaman modal karena tidak ada tabungan, tidak ada tabungan karena pendapatan-pendapatan adalah rendah, pendapatan-pendapatan adalah rendah karena produktivitas adalah rendah, dan produktivitas adalah rendah karena tidak ada penanaman modal. Jadi bagi Sumitro, keterbelakangan ekonomi Indonesia dan kemiskinan Rakyat Indonesia tidak ada hubungan apa pun dengan penghisapan imperialisme dan feodalisme. Menurut Sumitro Indonesia adalah miskin, karena apa? Karena Indonesia adalah miskin! Sungguh suatu penemuan yang mengagumkan!

Jadi, ada lingkaran tak berujung pangkal daripada kemelaratan. Dan di mana, menurut Sumitro, terbuka harapan untuk memulai dengan pembangunan? Sumitro menjawab persoalan ini dengan mengutamakan masalah tabungan. Bahkan untuk Sumitro, tabungan memegang peranan yang strategis. Lihatlah, betapa bedanya dengan Dekon yang menyatakan bahwa mengikis habis sisa-sisa feodal dan sisa-sisa imperialis merupakan hal yang strategis bagi perkembangan ekonomi Indonesia!

Sumitro berkata: “Tiap usaha untuk menaikkan produktivitas harus bersandar atas tabungan. Tabungan di sini diartikan sebagai kemampuan dan kesediaan untuk menahan nafsu konsumsi selama beberapa waktu supaya di masa depan terbuka kemungkinan konsumsi yang lebih meluas”. (Ekonomi Pembangunan, hal. 65). Ini suatu kesimpulan yang aneh! Rakyat kita justru mendeita karena taraf konsumsi yang sedemikian rendahnya dan ini bukah hanya berarti taraf hidup yang rendah melainkan juga daya produksi yang merosot. Tetapi teoretikus reaksioner Sumitro ternyata belum puas, dan mau menyuruh Rakyat kita untuk terus “menahan nafsu konsumsi”! Ini betul-betul mengingatkan kita pada anjuran para konseptor peraturan ekonomi 26 Mei 1963 yang juga menyuruh Rakyat kita menderita katanya “untuk beberapa waktu”, tetapi ternyata makin lama makin banyak kesulitan-kesulitan ekonomi dan makin merosot taraf hidup Rakyat. Betapa berbeda semuanya ini dengan kesimpulan di dalam Dekon yang mengatakan: “Sesuai dengan pertumbuhan kesadaran sosial dan kesadaran ekonomi rakyat Indonesia, maka tiap konsepsi dan tindakan Pemerintah harus dapat dirasakan dan dimengerti oleh rakyat, bahwa kepentingan mereka diperhatikan”. (Dekon, pasal 26).

Kesimpulan-kesimpulan Sumitro dengan sendirinya mengakibatkan berbagai anjuran tentang tindakan yang perlu diambil, dan dapat kita rasakan betapa anjuran-anjurannya itu merugikan kepentingan Rakyat dan menguntungkan kaum penghisap.

Misalnya, Sumitro berkata sebagai berikut: “Pembentukan modal baru akan tercipta, kalau pembagian pendapatan yang ganjil benar disertai oleh suatu pandangan hidup pada pihak golongan atas yang berjiwa puritanis, yang menekankan kerja keras dan hidup secara hemat”. (hal. 75). Jadi, dia bukannya mencela “pembagian pendapatan yang ganjil” yang terdapat dalam masyarakat Indonesia, tetapi bahkan melihatnya sebagai faktor yang positif dan baik, asal disertai “jiwa puritanis” atau “jiwa suci” di golongan atas. Dengan demikianlah akumulasi modal terjadi di negeri-negeri kapitalis Barat yang telah menyebabkan kemelaratan luar biasa bagi Rakyat pekerja. Dan inilah contoh yang dianjurkan Sumitro untuk ditiru di Indonesia!

Tetapi ternyata, Sumitro tidak sampai ke situ saja, karena nyatanya ia tidak begitu yakin bahwa golongan atas kita akan memenuhi harapan-harapannya. Maka ia cari lagi sumber-sumber tabungan, dan sampailah dia pada suatu teori yang mengagumkan sekali, yaitu teori mengenai apa yang dinamakannya “disguised unemployment” atau pengangguran yang tak kentara. Esensi daripada teori ini adalah neo-Malthusianisme, yaitu bahwa penduduk Indonesia, terutama pulau Jawa adalah terlalu banyak sehingga sebagian adalah sama sekali tidak produktif walaupun mereka sebenarnya bekerja. Jadi, walaupun mereka bekerja mereka dianggap “menganggur”. Bahkan ia menyimpulkan bahwa dari 56 juta penduduk agraria Indonesia, artinya kaum tani kita, 16 juta “menganggur tak kentara” atau tidak produktif (lihat Ekonomi Pembangunan, hal. 83) hal mana tidak dihubungkan sama sekali dengan masih adanya feodalisme (memang menurut Sumitro “feodalisme tidak ada”) tetapi dengan masalah “kebanyakan orang”.

Kelebihan penduduk ini menurut Sumitro merupakan sumber tabungan yang sangat penting di dalam ekonomi kita. Dan apa yang dianjurkannya? Supaya kelebihan penduduk ini dipindah ke lapangan kerja lain, ke proyek-proyek pembangunan untuk menjadi produktif. Tetapi menurut Sumitro, harus dijaga di atas segala-galanya supaya tidak terjadi suatu kenaikan tingkat kosumsi kaum penduduk desa (artinya kaum tani) secara keseluruhannya. Kaum tani yang tinggal di lapangan pertanian disuruh olehnya mengongkosi kehidupan mereka yang pindah itu. Dengan demikian 56 juta kaum tani Indonesia disuruh mempertinggi produksinya tetapi dilarang untuk mempertinggi konsumsinya. Setiap kenaikan konsumsi oleh kaum tani yang makin produktif ini bahkan dinamakan “pemborosan”. Dan jika “pemborosan” ini sampai terjadi, maka ía akan mengundang modal dari luar negeri (hal. 86) untuk menyediakan “tabungan komplementer”. Dengan siasat licik ini, penanaman modal asing akan dapat menggerakkan tabungan-tabungan tersembunyi dari kaum tani yang “menganggur tak kentara” itu, atau dalam kata lain menguasai tenaga-tenaga produktif kita secara gratis. Inilah caranya untuk memindahkan sebagian kaum tani kita dari mangsa penghisapan feodal untuk secara langsung menjadi mangsa modal monopoli asing.

Tetapi di samping itu, bagaimana pun juga “pemborosan” yang mungkin terjadi harus diperkecil sedapat mungkin. Cara-caranya ialah cara-cara yang klasik, yaitu dengan mempertinggi pajak yang dikenakan terhadap kaum tani, yaitu: “(a) pajak tidak langsung pada barang-barang yang dibeli oleh golongan petani, (b) pajak bumi, biasanya pajak atas pemilik tanah” (yang nota bene memang akhirnya selalu menjadi beban bagi penggarap—DNA) “dan (c) pajak dalam natura”. Mengenai yang terakhir itu dikatakan bahwa “hal ini dapat dilaksanakan kalau diadakan pengawasan langsung oleh negara atas kehidupan khalayak ramai serta kalau bahan makanan dipungut secara langsung juga oleh alat-alat negara”. (hal. 88).

Keberutalan Sumitro tidak berhenti sampai di situ saja. Bahkan dia mengemukakan bahwa penggerakan kaum tani yang “menganggur tak kentara” memang “telah dijalankan dalam sejarah Indonesia”. Dan dalam bentuk apa? Pembikinan bangunan-bangunan besar oleh raja-raja feodal di zaman tengah, penanaman paksa, romusha, kinrohoshi, keharusan penyerahan padi di zaman kekuasaan kolonial Belanda dan di bawah pendudukan Jepang, diakuinya “tidak berbeda dengan pikiran tentang mobilisasi golongan penganggur tak kentara untuk berbagai rupa investasi dalam pembangunan ekonomi, meskipun dalam bentuk dan corak yang berlainan” (hal. 91). Untuk sedikit menutupi kejahatannya, Sumitro mengakui bahwa ini “dapat ditafsirkan sebagai kebijaksanaan yang kurang populer”. Memang cara-cara kaum kolonialis Belanda dan kaum fasis Jepang menghisap kaum tani Indonesia bukan hanya “kurang populer” tetapi dikutuk tujuh keturunan oleh Rakyat Indonesia!.

Demikianlah teori Sumitro yang meletakkan seluruh beban pembangunan atas pundak Rakyat pekerja, terutama kaum tani, yang tak lain akan berarti bukan hanya membiarkan penghisapan feodal berjalan terus, tetapi malahan menyempurnakan negara sebagai alat untuk memperhebat penghisapan feodal dan penghisapan modal asing atas kaum tani kita.

Masih ada satu segi lagi yang perlu dibahas sedikit lebih mendalam dalam hubungan ini, yaitu peranan modal asing yang oleh Sumitro diberikan tempat yang sangat penting, seperti sudah saya singgung di atas. Misalnya saja, inflasi yang dilihatnya sebagai sumber tabungan paksa yang menggeserkan pendapatan kepada golongan atasan dan oleh karenanya mendorong pembangunan, menurut Sumitro dapat dibenarkan sepenuhnya asal diiringi dengan pinjaman uang dari luar negeri untuk mengongkosi tambahan impor berupa barang-barang konsumsi, yang katanya, akan membantu dalam menekan inflasi. Dengan ini bertemulah kita dengan dasar teori daripada peraturan-peraturan ekonomi 26 Mei 1963 yang sengaja menjalankan suatu politik inflatoir dengan harapan akan dapat “mengimbangi” inflasi itu dengan modal asing yang diharapkan akan didapat dari AS sebanyak $400 juta. Apakah dari sini belum cukup jelas, bahwa peraturan ekonomi 26 Mei 1963 sama sekali bukan pelaksanaan Dekon, tetapi sepenuhnya pelaksanaan teori bangkrut Sumitro?

Bagi Sumitro, yang harus dipentingkan ialah penanaman modal asing dan untuk kepentingan ini ia menganjurkan bahwa “harus ada kerjasama antara negara-negara ekspor modal dan negara-negara yang membutuhkan modal. Maksud kerja sama ini ialah untuk menciptakan suatu ‘iklim’ yang menguntungkan lalu lintas modal dalam hubungan internasional”. Kerja sama tersebut ditujukan untuk “kestabilan ekonomi dunia” yang “tergantung dari kestabilan politik di dalam negeri maupun di lapangan internasional dalam hubungan antar-negara” (hal. 331, huruf tebal dari saya — DNA). Demikianlah usaha Sumitro mempertahankan “the old established order” dan demikianlah pengabdiannya teori-teori Sumitro pada modal asing, atau lebih tegasnya pada modal monopoli imperialis. Modal monopoli imperialis yang sudah ber-tahun2 membikin Rakyat kita miskin dan membikin kaum imperialis kaya raya, mau dipertahankan dan diperbesar dengan dalih “untuk mengakhiri kemiskinan Rakyat Indonesia”. Benar-benar dapat kita rasakan satunya teori-teori Sumitro dengan kelakuannya sebagai pemberontak atau agen kaum imperialis Inggeris dan AS, yang sekarang giat mengabdikan ilmunya pada kepentingan kaum imperialis Inggeris dan AS yang berdiri di belakang proyek neo-kolonialis “Malaysia”. Inilah contoh daripada praktek semboyan “ilmu untuk ilmu”. Betapa objektifnya!

Sebenarnya, membongkar kebobrokan teori-teori Sumitro masih bisa saya lakukan dengan panjang lebar, tetapi ini kiranya cukup untuk membuktikan bahwa teori-teori tersebut mewakili kepentingan kaum penghisap terutama kaum imperialis, tuan tanah, kaum kapitalis komprador dan kaum kapitalis birokrat, dan seharusnya menjadi kewajiban perguruan tinggi kita untuk mengganyang habis teori-teori itu. Demi pelaksanaan Dekon dan perkembangan ilmu ekonomi Indonesia yang revolusioner teori-teori ekonomi reaksioner Sumitro harus diusir dari perguruan-perguruan tinggi kita dan dari alam pikiran kaum sarjana ekonomi kita.

Ilmu Ekonomi Indonesia Harus Mengabdi Kepada Kepentingan Rakyat Pekerja dan Revolusi

Memperkembangkan ilmu ekonomi yang sesuai dengan tugas revolusi nasional-demokratis kita menuju ke masyarakat Sosialis Indonesia tak mungkin dicapai jika tidak didasarkan atas prinsip mengabdikan diri kepada kepentingan-kepentingan Rakyat pekerja, terutama kaum buruh dan kaum tani yang telah dinyatakan sebagai soko guru revolusi kita dan juga sebagai “tenaga-tenaga yang paling produktif” (Gesuri, hal. 33).

Pada dewasa ini di mana salah satu tugas kita yang terpenting ialah mengikis habis sisa-sisa feodalisme, ilmu ekonomi terutama perlu diabdikan kepada kepentingan-kepentingan anti-feodal ini. Ini berarti mengakhiri kesimpulan-kesimpulan yang meleset tentang tidak adanya feodalisme di Indonesia dan mengadakan riset di desa-desa Indonesia untuk bisa mengenal keadaan masyarakat kita. Tujuan riset serta ilmu terutama ialah untuk melaksanakan tugas Dekon yang anti-feodal, dan oleh karenanya ia harus menjadikan kaum tani yang tertindas sebagai sumber informasnya.

Dalam hubungan ini ada yang mau menyangkal sifat ilmiah dari riset yang telah saya lakukan di pulau Jawa, yang menjadikan buruh tani dan tani miskin, yaitu golongan-golongan yang terhisap di desa-desa, sebagai sumber informasi yang utama. Ada orang yang  berpendapat bahwa karena buruh tani dan tani miskin umumnya buta huruf dan tingkat kebudayaannya sangat rendah, maka informasi dari mereka tidak dapat dipercayai.

Saya sebaliknya berpendapat, bahwa buruh tani dan tani miskin justru merupakan sumber yang paling bisa dipercaya karena mereka sama sekali tidak berkepentingan untuk menutupi adanya fakta-fakta penghisapan feodal di desa-desa. Bahkan mereka sepenuhnya berkepentingan untuk membongkarnya. Tentu kalau maksud riset kita ialah untuk menutupi penghisapan, maka yang paling baik ialah untuk menjadikan tuan tanah dan setan-setan desa lainnya sebagai sumber informasi. Ilmu yang mengabdikan diri kepada revolusi, kepada Rakyat Indonesia, kepada soko guru revolusi, hanya akan bisa diciptakan dengan riset yang mengambil kekuatan-kekuatan revolusi itu sebagai sumbernya.

Akhirnya, dalam hubungan ini perlu saya tegaskan, bahwa ilmu ekonomi Sosialis Indonesia justru merupakan ilmu yang harus menjadi alat dalam menyelesaikan tugas-tugas nasional-demokratis, karena inilah syaratnya bagi kita jika mau membangun Sosialisme di kemudian hari.

Akhir-akhir ini ada golongan-golongan tertentu yang menyindir-nyindir saya dan PKI sabagai orang yang mau melakukan “fasen-sprong”, artinya mau cepat-cepat melakukan revolusi sosialis sebelum waktunya. Tetapi kenyataan adalah justru sebaliknya. Kaum Komunis selalu menekankan kepada tugas sekarang, tugas anti-feodal dan anti-imperialis, dan bukan tugas kemudian hari, yaitu tugas pembangunan Sosialisme. Kaum Komunis Indonesia selalu menekankan pada masalah revolusi nasional-demokratis. Ini sering disambut dengan ejekan-ejekan: buat apa bicara tentang itu-itu saja, kita kan sudah tahu. Tetapi jika kaum Komunis bertindak dengan secara konkret melaksanakan tugas-tugas nasional-demokratis, maka kehebohan sengaja ditimbulkan, dan kami dikatakan “kaum fasen-sprong”! Dapatlah dirasakan bahwa di balik ejekan terhadap seseorang yang berbicara tentang tugas nasional-demokratis, sebenarnya terdapat ketidak setujuan yang benar-benar dapat dirasakan sekarang ini di mana perbuatan kaum tani untuk melaksanakan tugas nasional-demokratis atau tugas anti-feoda1 menimbulkan kehebohan yang tidak kecil.

Oleh karena itu, saya berpendapat bahwa tugas pokok sekarang dalam mengembangkan ilmu ekonomi yang mengabdi kepada revolusi Indonesia ialah tugas menggunakan ilmu ekonoini sebagai alat untuk mempercepat selesainya tahap revolusi nasional-demokratis kita, sebagai satu-satunya jaminan bahwa masyarakat sosialis Indonesia akan dapat dibangun di kemudian hari.

Ekonomi Politik Marxis Sebagai Satu-satunya Ilmu Ekonomi yang Dapat Mengembangkan Teori-teori Ekonomi yang Revolusioner

Masalah terakhir yang ingin saya sampaikan dalam bagian ketiga prasaran saya ini ialah tentang ekonomi politik Marxis (EPM) sebagai satunya ilmu ekonomi yang paling mampu mengembangkan teori-teori ekonomi yang revolusioner.

EPM merupakan salah satu dari tiga komponen Marxisme dan sama sekali berbeda dengan ilmu ekonomi borjuis, karena titik tolaknya ialah hukum penyesuaian antara hubungan-hubungan produksi dengan tenaga-tenaga produktif sesuatu masyarakat. Tenaga-tenaga produktif yang terdiri dari tenaga-kerja, alat-alat kerja dan sasaran kerja merupakan unsur yang paling dinamis dan yang terus-menerus berkembang dengan kemajuan-kemajuan teknik. Tetapi dalam keadaan di mana hubungan-hubungan produksi, artinya hubungan-hubungan antara manusia dengan manusia dalam proses produksi yang dicerminkan dalam hubungan-hubungan kelas dalam masyarakat berdasarkan pemilikan atas alat-alat prduksi, menghambat perkembangan tenaga-tenaga produktif dan menghalang-halangi kemajuannya lebih lanjut, maka revolusi menjadi hal yang mutlak dengan tujuan mengubah hubungan-hubungan produksi itu sebagai satu-satunya jalan untuk membebaskan tenaga-tenaga produktif itu. Kaena ekonomi politik Marxis berpandangan, bahwa struktur ekonomi, yaitu cara produksi menentukan struktur masyarakat, maka masalah ekonomi dilihatnya sebagai sesuatu yang integral dengan masalah politik. Dengan demikian, bagi seorang yang menguasai ekonomi politik Marxis, adalah gampang sekali untuk mengerti strategi dasar ekonomi Indonesia seperti yang dikemukakan dalam Dekon.

Oleh karena itu, ekonomi politik Marxis sewajarnya diberi tempat yang pantas dalam curiculum semua universitas-universitas di negeri kita. Tetapi tentu ini tak akan ada gunanya kecuali jika yang mengajarkan mata pelajaran ini betul-betul memahaminya, menguasainya dan mencintanya. Bung Karno sendiri sudah dengan tegas memberikan kepada ilmu Marxis suatu tempat yang sangat khusus dalam perkembangan ilmu revo1usioner. Dalam suatu tulisan yang ditulis oleh Bung Karno 30 tahun yang lalu dan yang dimuat di dalam Di bawah Bendera Revolusi, Bung Karno berkata sebagai berikut: “Teori Marxisme adalah satu-satunya teori yang saya anggap kompeten buat memecahkan soal-soal sejarah, soal-soal politik dan soal-soal masyarakat”. Tiga puluh tahun kemdian Bung Karno tetap pada pendiriannya itu, yang dapat kita lihat dari pesan tertulis beliau kepada Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia (ISRI) di mana dikatakan bahwa: “semua sarjana Indonesia yang ingin mengintegrasikan dirinya dengan Rakyat selalu mempelajari dan menguasai dua hal: pertama, situasi dan kondisi serta sejarah Rakyat dan masyarakat Indonesia; kedua, Ilmu dan teori Marxisme”.

Anjuran Bung Karno ini adalah tepat sekali. Anjuran yang pertama menunjukkan arti pentingnya riset dan sasaran riset, yaitu “mempelajari dan menguasai situasi dan kondisi serta sejarah Rakyat dan masyarakat Indonesia”. Anjuran yang kedua dengan tegas menekankan bahwa setiap sarjana Indonesia harus menguasai ilmu dan teori Marxisme sebagai senjata ampuh untuk mengenal keadaan Rakyat dan masyarakat Indonesia dan mengubahnya sesuai dengan kukum-hukum perkembangan yang objektif. Dengan demikian ditegaskan, bahwa sarjana Marxis mempunyai hari depan yang gilang-gemilang di Indonesia.

IV. DEKON ADALAH JALAN KELUAR BAGI KESULITAN-KESULITAN EKONOMI DEWASA INI.

Pelaksanaan Dekon menjadi masalah pokok yang dibicarakan dalam Musyawarah Besar ini. Karena maksud kaum sarjana ekonomi mengadakan Mubes ini ialah untuk berusaha membantu Pemerintah dalam mencari jalan keluar dari kesulitan-kesulitan ekonomi dewasa ini, maka jelaslah bahwa Mubes ini menyadari tentang pelaksanaan Dekon sebagai jalan keluar dari kesulitan-kesulitan tersebut.

Dekon telah diumumkan kepada Rakyat Indonesia hampir 16 bulan yang lalu, yaitu pada tanggal 28 Maret 1963, tetapi seperti kita sama-sama mengetahui, sejak waktu itu, kesulitan-kesulitan ekonomi bukannya berkurang tetapi bahkan bertambah. Apakah ini salahnya Dekon? Sama sekali tidak! Dekon memang telah diumumkan dan telah diterima dan disambut hangat oleh seluruh Rakyat Indonesia tapi harus kita akui, bahwa pelaksanaannya belum dimulai, bahkan pencìderaan terhadapnyalah yang terjadi dengan peraturan-peraturan ekonomi 26 Mei 1963. Mudah-mudahan Mubes ini akan berhasil merumuskan konsepsi-konsepsi yang konkret tentang apa yang perlu segera dilakukan dalam rangka melaksanakan Dekon.

Peraturan-peraturan ekonomi 26 Mel yang oleh para konseptornya diberi advertensi “untuk melaksanakan Dekon” bukannya hanya tidak melaksanakan Dekon, tetapi malahan melanggarnya. Misalnya saja, Dekon dengan tegas menyatakan bahwa “tidak akan diambil tindakan-tindakan moneter yang drastis seperti umpamanya devaluasi” (Dekon, pasal 31) tetapi tindakan-tindakan ekonomi 26 Mei justru merupakan devaluasi betapa pun juga perubahan kurs diselimuti dengan istilah “perangsang”. Tentang mengatasi masalah-masalah seperti inflasi kekurangan devisen dan sebagainya, Dekon mengatakan bahwa “tidak mungkin diatasi hanya dengan tindakan moneter konvensional belaka” (Dekon, pasal 13), tetapi justru inilah yang terjadi dengan tindakan-tindakan 26 Mei. Dan harus kita akui pula, bahwa tindakan-tindakan ekonomi tanggal 17 April 1964 juga pada pokoknya hanya merupakan “tindakan-tindakan moneter konvensional belaka”, sehingga memang belum

sesuai dengan Dekon. Oleh karena itu tindakan-tindakan ekonomi tanggal 17 April 1964 yang merupakan “saudara sepupu” dari “26 Mel 1963” harus paling kurang sepenuhnya disesuaikan dengan pikiran-pikiran progresif yang hidup dalam DPRGR.

Sebagai penutup prasaran saya ini, akan saya perinci secara singkat soal-soal yang menyebabkan Dekon merupakan jalan keluar dari kesulitan-kesulitan ekonomi, sehingga pelaksanaannya mutlak perlu dan harus segera dimulai dengan sungguh-sungguh.

  1. Satunya Strategi Dasar Ekonomi Dengan Kebijaksanaan Jangka Pendek Di bidang Ekonomi.

 

Dekon sekaligus membahas strategi dasar ekonomi Indonesia dan kebijaksanaan jangka pendek di bidang ekonomi. Ini berarti bahwa dua hal itu merupakan satu kesatuan. Tindakan-tindakan praktis yang perlu dijalankan dalam rangka kebijaksanaan jangka pendek merupakan tindakan-tindakan yang dibutuhkan untuk mencapai strategi dasar tersebut. Maka dari itu, adalah tidak tepat jika yang jangka pendek dibahas secara terpisah dari yang jangka panjang. Makin sesuai kebijaksanaan jangka pendek dengan strategi dasar ekonomi, maka makin pendek jadinya jangka panjang itu.

(1) Satunya Konsepsi-konsepsi Ekonomi Dengan Syarat-syarat Pelaksanaannya.

Dekon berulangkali menekankan, bahwa kegotong royongan nasional berporoskan Nasakom mutlak perlu untuk bisa menanggulangi kesulitan-kesulitan ekonomi. Terutama dalam Dekon pasal 34 ditekankan soal ini dan ditegaskan sebagai berikut: “Agar tercapai kegotong royongan nasional berporoskan Nasakom untuk menanggulangi kesulitan-kesulitan ekonomi, maka perlu diadakan pengintegrasian antara Pemerintah dan Rakyat yang terorganisasi, dalam bidang administratif maupun eksekutif, di pusat maupun di daerah-daerah”. Kegotong royongan nasional berporos Nasakom telah diwujudkan di berbagai badan dan lembaga-lembaga negara, tetapi belumlah diwujudkan di badan eksekutif pusat, seperti yang diharuskan oleh Dekon. Partai-partai Nasakom mempunyai andil besar dalam usaha raksasa untuk menanggulangi kesulitan-kesulitan ekonomi dan kalau partai-partai itu diwakili secara wajar di dalam Kabinet, dapat dipastikan bahwa ini akan membuka kemungkinan yang luas untuk menjamin sepenuhnya pengintegrasian antara Pemerintah dengan Rakyat.

Satu hal lagi yang sungguh penting juga, dan yang mendapat tempat dalam Dekon, ialah masalah rituling. Sudah terlalu lama ekonomi negeri kita dijadikan sarang main orang-orang yang korup dan yang tidak mengkonsolidsi sektor negara melainkan mengkonsolidasi dirinya sendiri dengan berbagai jalan sehingga menjadi kapitalis-kapitalis birokrat. Praktek-praktek yang demikian masih terus berlangsung dan perlu segera diakhiri karena membahayakan dan menggerowoti ekonomi negara. Bidang utama bagi usaha-usaha rituling ialah bidang personalia, sebab betapa pun baiknya rituling struktur dan organisasi, kalau personalia tetap orang-orang yang korup dan sebagainya, usaha-usaha itu tak mungkin membawa faedah apapun. Ada orang yang suka bilang, bahwa rituling personalia tak ada gunanya, karena mungkin orang-orang baru yang ditunjuk adalah sama jelek dengan yang diritul. Tentunya ini bukan rituling yang tepat. Karena itu, harus ada patokan-patokan jelas dalam mengangkat orang-orang baru, seperti Manipolis. jujur, mampu, ahli dan patriotik.

(2) Production-Approach Merupakan Salah Satu Prinsip Utama dari Dekon

Dekon merupakan suatu kemenangan bagi apa yang dikenal sebagai “production-approach” (pendekatan dari segi produksi). Ini jelas dari penegasan tentang tidak cukupnya tindakan-tindakan moneter yang konvensional tetapi lebih-lebih jelas dari penegasan, bahwa “yang harus diselenggarakan ialah memperbesar produksi berdasarkan kekayaan alam yang berlimpah-limpah” (pasal 6). Secara lebih terperinci dikatakan, bahwa “ini berarti bahwa kita harus mengutamakan pertanian dan perkebunan, kita harus mementingkan pertambangan”, dan juga bahwa kita harus “meletakkan dasar-dasar untuk industrialisasi” (pasal 6).

Jadi, Dekon tidak hanya mengambil “productionapproach” tetapi ia juga menekankan kepada pertanian dan perkebunan sebagai dasar ekonomi, dan juga kepada masalah industrialisasi. Juga Dekon dengan konkret berbicara tentang perlunya semua potensi nasional digerakkan dengan memperinci potensi-potensi nasional sebagai potensi Pemerintah (sektor negara), potensi koperasi dan potensi swasta (nasional) dan (domestik). Ditegaskan pula, bahwa “peranan rakyat ...... rakyat sebagai buruh, rakyat sebagai tani, pendeknya rakyat sebagai produsen ...... merupakan potensi dan kekuatan riil dan materiil” (pasal 18).

Dengan penegasan-penegasan ini, Dekon membikin jelas apa yang harus menjadi tujuan daripada setiap tindakan ekonomi, yaitu menggerakkan potensi produktif ini.

(3) Prinsip Percaya Pada Kekuatan Diri Sendiri.

Tentu hal ini sangat erat hubungannya dengan masalah production-approach karena justru menggerakkan potensi-potensi nasional merupakan jaminan satu-satunya untuk bisa berdiri di atas kaki kita sendiri. Tetapi di samping aspek ini, Dekon juga menekankan kepada kekuatan kita sendiri dalam membahas masalah-masalah persediaan pangan yang cukup serta menyediakan cukup bahan-bahan baku dan bahan penolong dan sebagainya untuk indusri dalam negeri, alat-alat pengangkutan dan sektor produksi pada umumnya. Dekon sama sekali tidak membenarkan hubungan-hubungan kredit yang mengikat, seperti misalnya kredit imperialis AS yang terikat pada kesediaan kita menjalankan tindakan-tindakan ekonomi yang sesuai dengan kepentingan mereka dan yang juga terikat pada kesediaan kita untuk melepaskan konfrontasi dengan “Malaysia”.

Kebenaran prinsip Dekon ini semakin dirasakan setelah negeri kita mengalami tindakan-tindakan 26 Mei tahun yang lalu yang justru melanggar prinsip ini dan menaruh semua kepercayaan pada kekuatan “bantuan” ekonomi imperialis.

(4) Politik Perpajakan dan Anggaran Belanja yang Sesuai.

Dekon juga memuat beberapa prinsip penting mengenai hal perpajakan, misalnya bahwa pajak tidak boleh menambahkan beban atas pundak Rakyat, bahwa sistem perpajakan harus mendorong usaha-usaha produsen, meratakan akumulasi modal dalam pembangunan dan menjadikan perusahaan-perusahaan negara sebagai sumber keuangan negara yang utama. Tentang anggaran belanja negara ditegaskan, bahwa ia harus digunakan sebagai alat untuk menyukseskan kebijaksanaan yang termuat dalam Dekon itu.

* * *

Beberapa prinsip ini adalah antara lain prinsip-prinsip Dekon juga jika dilaksanakan dengan baik, pasti akan membawa negeri kita dari situasi ekonomi yang sulit kepada situasi di mana kita berangsur-angsur semakin berhasil dalam menanggulangi kesulitan-kesulitan tersebut.

Dekon merupakan jalan keluar karena di samping mengemukakan strategi dasar ekonomi yang sesuai dengan strategi umuin revolusi Indonesia, ia juga mendasarkan segala hal pada usaha-usaha untuk menggerakkan potensi nasional, terutama kaum produsen. Ini benar-benar suatu pandangan yang berbeda dengan kaum penganut “vicious circle” yang bukannya mau menggerakkan potensi nasional dan potensi produsen, tetapi bahkan bertujuan menekan potensi-potensi itu.

Dekon memang merupakan “Manipolnya Ekonomi” yaitu program revolusioner di bidang ekonomi, dan ia harus dilaksanakan secara revolusioner pula. Mudah-mudahan Mubes ini akan memberikan sumbangan yang kita semua harapkan dalam menganjurkan konsepsi-konsepsi yang sepenuhnya sesuai dengan semangat dan isi revolusioner Dekon.