Menyusul diterbitkannya Revolusi Permanen pada bulan Maret 2009 di Indonesia, yakni penerbitan karya Leon Trotsky untuk pertama kalinya di Indonesia, sang penyunting karya ini – dengan bantuan kawan-kawan seperjuangan lainnya, seperti kawan Rafiq sebagai penerjemah, kawan-kawan Resist Jogja, kawan Alan Woods yang berkenan menuliskan kata pengantar, dan kawan-kawan lainnya yang telah mendukung secara moral maupun finansial – dengan bangga mempersembahkan Revolusi yang Dikhianati kepada rakyat pekerja Indonesia. Ditulis oleh Trotsky pada tahun 1936 ketika berada dalam pengasingannya di Norwegia, Revolusi yang Dikhianati adalah salah satu karya yang paling bersejarah di dalam pemikiran Marxisme.
80 tahun sebelum Revolusi yang Dikhianati ditulis, Marx yang masih muda pada saat itu menulis bahwa dengan basis teknologi dan tingkat produksi yang rendah “hanya kemiskinan yang akan menjadi umum, dan dengan kemiskinan maka perjuangan untuk kebutuhan hidup akan dimulai kembali, dan semua sampah lama itu akan bangkit lagi.” Inilah yang menjadi premis utama dari analisa yang dikembangkan oleh Trotsky mengenai proses degenerasi Uni Soviet. Tidak mencari-cari di awang-awang penyebab degenerasi ini, tidak di dalam kepribadiannya Stalin atau individu-individu lain, tetapi di dalam kondisi material yang ada.
Dengan satu analogi yang sangat ekspresif, Trotsky menjelaskan basis bagi lahirnya sebuah birokrasi di dalam negara buruh: “Ketika terdapat cukup barang di satu toko, para pembeli dapat datang kapanpun mereka inginkan. Ketika barang sedikit, para pembeli terpaksa mengantri. Ketika antrian terlalu panjang, perlulah ditunjuk seorang polisi untuk menjaga ketertiban. Demikianlah awal munculnya kekuasaan birokrasi Soviet. Mereka ‘tahu’ siapa yang harus mendapat jatah terlebih dahulu dan siapa yang harus menunggu.”
Kontradiksi utama dari Uni Soviet adalah kepemilikan sosialisnya dan norma distribusi borjuisnya. Kedua tendensi ini saling bergempur satu sama lain: “Dua tendensi bertolak belakang tengah tumbuh dari dasar rejim Soviet. Selama ini menumbuhkan kekuatan produktif, jika dibandingkan dengan kapitalisme yang tengah membusuk, rejim ini menyiapkan basis ekonomi bagi sosialisme. Selama ini semakin menegaskan secara ekstrim norma-norma distribusi borjuis, demi keuntungan lapisan masyarakat teratas, rejim ini menyiapkan restorasi kapitalisme. Kontras antara bentuk kepemilikan dengan norma distribusi tidak dapat tumbuh tanpa batas. Ada dua pilihan: norma borjuis, dalam satu atau lain bentuk, akan merasuk ke dalam alat-alat produksi; atau norma distribusi borjuis ini dipaksa tunduk pada sistem kepemilikan sosialis.”
Pada akhirnya, mulai dari tahun 1970-an kita menyaksikan kemandegan ekonomi Uni Soviet. Kekuatan produktif Uni Soviet sudah tidak bisa lagi berkembang. Kepemilikan sosialis terhambat oleh birokrasi. Begini tulis Trotsky: “Uni Soviet dapat membangun pabrik-pabrik raksasa menurut pola Barat dengan komando birokratik—sekalipun, pastinya, dengan biaya tiga kali lipatnya. Tetapi, semakin jauh Anda berjalan, perekonomian semakin terjerat pada masalah kualitas, yang lolos dari cengkeraman birokrasi laksana bayangan. Produk-produk Soviet seperti diberi label kelabu, pertanda ketidakpedulian. Di bawah perekonomian terencana, kualitas menuntut demokrasi bagi produsen dan konsumen, kebebasan mengkritik dan inisiatif—kondisi yang tidak sesuai dengan rejim totaliter yang mengedepankan ketakutan, dusta dan penjilatan.”
Pada awalnya, memang birokrasi, walaupun dengan harga yang sangat mahal, mampu membawa perekonomian Uni Soviet maju ke depan karena basis kepemilikan sosialis dan perekonomian terencana. Sampai-sampai Uni Soviet, yang mulai dari sebuah negeri terbelakang dimana 90% rakyatnya buta huruf, dapat mengirim satelit yang pertama ke angkasa (Sputnik 1 pada tahun 1957), manusia pertama ke angkasa (Yuri Gagarin pada tahun 1961), dan wanita pertama ke angkasa (Valentia Tereshkova pada tahun 1963), mengalahkan semua negeri kapitalis raksasa. Untuk pertama kalinya manusia mampu melihat bumi indah yang biru ini dalam keseluruhannya dari angkasa, dan sepasang mata yang melihatnya pertama bukanlah dari negeri-negeri kapitalis maju yang telah berkembang selama ratusan tahun, tetapi dari Uni Soviet yang berangkat dari keterbelakangan mengerikan warisan Tsar Rusia.
Dengan semakin kompleksnya dan tingginya level teknik dan ekonomi, manajemen dengan birokrasi sudah tidak bisa lagi menjadi mata dan telinga yang peka. Satu-satunya kekuatan yang mampu mengendalikan kekuatan produksi yang besar ini adalah demokrasi buruh yang akan mampu menjadi indikator yang sensitif bagi dinamika ekonomi. Tetapi prospek ini semakin melemah. Dari sini, maka satu jalan lainnya adalah dengan sistem pasar, yang bila digabungkan dengan keberadaan norma distribusi borjuis, ini berarti restorasi kapitalisme.
Walau prognosisnya tertunda selama lebih dari 50 tahun, tetapi pada akhirnya keruntuhan Uni Soviet membawa kemunduran ekonomi yang besar-besaran. “Keruntuhan kediktatoran birokratik yang sekarang, jika tidak digantikan oleh kekuatan sosialis yang lain, niscaya akan berarti kembalinya hubungan kapitalistik yang disertai oleh kemunduran industri dan kebudayaan yang penuh bencana.” Inilah yang terjadi setelah keruntuhan Uni Soviet pada tahun 1991, “kemunduran industri” dalam bentuk anjloknya GDP sebesar 60% dan “kemunduran budaya” dimana prostitusi, kejahatan, perang sipil, rasisme, anti-semitisme, dan mistisisme merajalela.
Apa yang akan terjadi pada para birokrasi ini setelah Soviet terguling? Trotksy memberikan jawaban ini lebih dari 70 tahun yang lalu: “Jika kita mengadopsi hipotesis kedua, yakni jika satu partai borjuis menggulingkan kasta penguasa Soviet, mereka akan menemukan tidak sedikit pembantu yang siap sedia di antara para birokrat, administratur, teknisi, direktur, sekretaris-sekretaris partai dan anggota lingkaran penguasa secara umum. Pembersihan terhadap aparatus negara juga akan diperlukan dalam hal ini. Tetapi pemulihan borjuis mungkin hanya akan menyingkirkan sedikit orang dibandingkan sebuah partai revolusioner. Tugas utama dari kekuasaan baru ini adalah untuk memulihkan kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi.” Inilah yang terjadi. Para kapitalis baru di Uni Soviet hampir semua adalah mantan administratur birokrasi, mantan petinggi-petinggi Partai Komunis Uni Soviet, yang setelah mengembalikan hak kepemilikan pribadi menjadi lapisan pertama yang menggadai semua perusahaan milik negara seharga kacang untuk dirinya sendiri.
Berangkat dari perspektif bahwa Uni Soviet bukanlah sebuah negara kapitalis, tetapi sebuah negara dengan bentuk kepemilikan sosialis tetapi dimana birokrasi telah merebut kendali politik, maka perspektif yang didorong oleh Trotsky adalah perspektif revolusi politik, yakni merebut kembali kekuasaan politik dari birokrasi tanpa merubah tatanan kepemilikan sosialis di Uni Soviet. Begini tulisnya: “Revolusi yang tengah dipersiapkan birokrasi atas dirinya sendiri bukanlah sebuah revolusi sosial, sebagaimana revolusi Oktober 1917. Ini bukan masalah mengubah pondasi ekonomi masyarakat, mengubah bentuk-bentuk kepemilikan dengan bentuk yang lain. Sejarah telah mencatat di tempat lain bahwa bukan hanya revolusi sosial yang menggantikan rejim feudal dengan rejim borjuis, melainkan juga revolusi politik yang, tanpa menghancurkan pondasi ekonomi masyarakat, menyapu habis sebuah lapisan penguasa lama (1830 dan 1848 di Perancis, Februari 1917 di Rusia, dll.). Penggulingan kasta Bonapartis, tentu saja, akan memiliki konsekuensi sosial yang besar, tetapi dalam dirinya sendiri revolusi ini akan dibatasi di dalam kerangka revolusi politik.”
Perspektif Trotsky mengenai tingkatan perubahan politik pun berganti sesuai dengan epos sejarah yang dimasukinya. Pada awalnya, ketika Trotsky masih anggota PKUS, dia mengedepankan reformasi politik dengan perjuangan faksi di dalam PKUS. Tetapi mesin-mesin birokrasi menguat di luar perkiraan dia, dan dia pun ditendang keluar dari PKUS dan negara Soviet. Bertahun-tahun setelah diasingkan dia masih menganggap bahwa yang diperlukan adalah sebuah reformasi politik. Akan tetapi, pengkhianatan terus-menerus oleh PKUS dan organ internasionalnya Komunis Internasional, yang berakhir pada kemenangan Hitler, mendorong Trotsky untuk merubah perspektifnya dari reformasi politik ke revolusi politik. PKUS sudah bukan lagi kendaraan politik garda depan proletariat, dan Komintern sudah bukan lagi organisasi internasionalnya Lenin. Internasional Keempat dibentuk pada tahun 1938, dan benar saja pada tahun 1943 Komintern dibubarkan sendiri oleh Stalin untuk menyenangkan hati para imperialis bahwa Uni Soviet tidak akan mencoba mendorong revolusi dunia.
Dalam membaca karya ini, kita harus melihatnya sebagai satu kesatuan dengan karya-karya Leon Trotsky lainnya dan perjuangan politiknya. Tidak seperti akademisi yang hanya menulis untuk menuangkan gagasan semata, Trotsky selalu menulis dengan tujuan politik. Karya-karyanya adalah sebuah perspektif untuk aksi politik, yang tidak statis tetapi dinamis. Sang penyunting berharap bahwa karya ini dapat memperkaya gerakan Indonesia, bukan hanya dalam batasan wacana tetapi juga sebagai panduan aksi untuk menuju masyarakat sosialisme yang sejati di bumi Indonesia.
Ted Sprague
Montreal, 20 Maret 2010