dengan sosialisme. Sebuah sistem ekonomi bukanlah produk dari aksi-aksi pemerintahan. Apa yang dapat dilakukan oleh kaum proletar adalah menggunakan kekuasaan politiknya dengan seluruh tenaga guna mempermudah dan memperpendek jalan perkembangan ekonomi menuju kolektivisme”
“Kaum proletar akan memulai reforma-reforma ini yang terkandung di dalam apa yang disebut program minimum; dan langsung dari sini, logika posisinya akan mendorongnya ke kebijakan-kebijakan kolektivisme.”
“Implementasi 8-jam-kerja dan pajak penghasilan progresif yang tajam akan mudah dilaksanakan, walaupun di sini perhatian utamanya bukan pada penyetujuan ‘dekrit’ tetapi pada pengorganisiran cara melaksanakan kebijakan-kebijakan tersebut. Tetapi kesulitan utamanya akan terletak – dan di sinilah terpapar transisi menuju kolektivisme! – di dalam manajemen produksi oleh negara terhadap pabrik-pabrik yang telah ditutup oleh pemiliknya yang merespon kebijakan-kebijakan di atas. Untuk menetapkan sebuah hukum penghapusan hak warisan dan untuk mengimplementasikan hukum seperti ini akan merupakan tugas yang cukup mudah. Tetapi untuk bertindak sebagai pewaris kapital tanah dan industri berarti bahwa negara buruh haruslah siap untuk mengorganisir sistem produksi sosial.”
“Hal yang sama, tetapi lebih luas, benar untuk ekspropriasi – dengan atau tanpa kompensasi. Ekspropriasi dengan kompensasi akan lebih menguntungkan secara politik tetapi lebih sulit secara finansial, sedangkan ekspropriasi tanpa kompensasi akan lebih menguntungkan secara finansial tetapi lebih sulit secara politik. Tetapi kesulitan-kesulitan terbesar akan ditemui di dalam pengorganisiran produksi. Kita ulangi, pemerintahan proletar bukanlah sebuah pemerintahan yang dapat membuat mujizat-mujizat.”
“Sosialisasi produksi akan dimulai dari cabang-cabang industri yang memberikan kesulitan-kesulitan paling kecil. Di periode awal, sosialisasi produksi akan terbatas di beberapa industri, yang berhubungan dengan perusahaan-perusahaan swasta melalui regulasi distribusi barang. Semakin luas cakupan produksi sosialis, akan semakin tampak jelas keunggulannya dan akan semakin kuat rejim politik yang baru ini, dan akan semakin tegas kebijakan-kebijakan kaum proletar. Di dalam kebijakan-kebijakan ini, kaum proletar dapat dan akan mengandalkan bukan hanya kekuatan-kekuatan produksi nasional, tetapi juga teknologi seluruh dunia. Seperti halnya di dalam kebijakan revolusionernya, ia akan mengandalkan bukan hanya relasi-relasi kelas di dalam negeri saja tetapi juga seluruh pengalaman sejarah kaum proletar internasional.”
Dominasi politik kaum proletar tidaklah kompatibel dengan perbudakannya secara ekonomi. Tidak peduli di bawah bendera apapun kaum proletar berkuasa, ia harus mengambil jalan kebijakan sosialis. Adalah utopisme yang teramat besar bila kita berpikir bahwa kaum proletar, yang telah meraih dominasi politik melalui mekanisme internal dari sebuah revolusi borjuis, dapat – bahkan bila kaum proletar menginginkannya – membatasi misinya pada pembentukan kondisi-kondisi republik-demokrasi untuk dominasi sosial kaum borjuasi. Dominasi politik kaum proletar, bahkan bila ini hanya bersifat sementara, akan sangat melemahkan perlawanan kapital, yang selalu membutuhkan dukungan negara, dan akan memberikan perjuangan ekonomi kaum proletar sebuah dorongan yang besar. Dari pemerintahan revolusioner ini, kaum buruh akan menuntut perlindungan untuk para pemogok kerja dan sebuah pemerintahan yang bergantung pada kaum buruh tidak dapat menolak tuntutan ini. Tetapi ini berarti melumpuhkan pengaruh pasukan buruh cadangan dan membuat kaum buruh dominan bukan hanya di bidang politik tetapi juga di bidang ekonomi, dan menghapus kepemilikan pribadi alat-alat produksi. Konsekuensi-konsekuensi sosial-ekonomi yang tidak terelakkan dari kediktatoran proletar akan menampakkan diri mereka dengan segera, jauh sebelum demokratisasi sistem politik telah terpenuhi. Batasan antara program ‘minimum’ dan ‘maksimum’ akan segera menghilang seiring berkuasanya kaum proletar.
Hal pertama yang harus diatasi oleh rejim proletar setelah berkuasa adalah solusi masalah agraria, yang mana nasib mayoritas populasi Rusia tergantung padanya. Di dalam solusi untuk permasalahan ini, seperti halnya dengan masalah-masalah yang lain, kaum proletar akan dibimbing oleh tujuan fundamental dari kebijakan ekonominya, yakni untuk memimpin bidang pertanian sebesar mungkin guna melaksanakan organisasi ekonomi sosialisme. Akan tetapi, bentuk dan tempo dari eksekusi kebijakan agraria ini harus ditentukan oleh sumberdaya material yang dimiliki oleh kaum proletar, dan juga dengan memperhatikan supaya sekutu-sekutu potensialnya tidak terlempar ke pangkuan kaum kontra-revolusioner.
Masalah agraria, yakni masalah nasib pertanian di dalam relasi-relasi sosialnya, tentu saja tidak hanya mengenai tanah saja, atau bentuk-bentuk kepemilikan tanah. Akan tetapi, tidak diragukan bahwa solusi untuk masalah tanah, bahkan bila ini tidak menentukan evolusi agraria, akan setidaknya menentukan kebijakan agraria dari kaum proletar. Dalam kata lain, apa yang dilakukan oleh rejim proletar terhadap masalah tanah harus terikat erat dengan sikap umumnya terhadap arah dan kebutuhan perkembangan pertanian. Untuk alasan itu, masalah tanah menempati urutan yang pertama.
Satu solusi dari masalah tanah, yang telah dibuat sangat popular oleh kaum Sosialis-Revolusioner, adalah sosialisasi semua tanah; sebuah istilah, yang bila dibersihkan dari komestik Eropanya, berarti ‘keadilan dalam penggunaan tanah’ (atau ‘redistribusi hitam’). Maka dari itu, program distribusi tanah yang sama-rata mensyaratkan penyitaan semua tanah, bukan hanya tanah pribadi secara umum, atau tanah pribadi milik petani, tetapi bahkan tanah komunal. Bila kita ingat bahwa penyitaan ini haruslah menjadi salah satu aksi pertama dari rejim yang baru, di saat relasi komoditi-kapitalis masih dominan, maka kita akan saksikan bahwa ‘korban’ pertama dari penyitaan ini adalah (atau mereka yang merasa diri mereka adalah korban) kaum tani. Bila kita ingat bahwa para petani, selama beberapa puluh tahun, telah membayar uang tebusan yang seharusnya memberikannya hak kepemilikan tanah; bila kita ingat bahwa beberapa petani yang lebih berada telah memperoleh – tentu dengan berkorban cukup besar, yang masih dipanggul oleh generasi sekarang – lahan tanah yang besar sebagai milik pribadi, maka dengan mudah dapat dibayangkan berapa besarnya perlawanan yang akan dibangkitkan oleh usaha untuk mengubah tanah komunal dan lahan-lahan kecil milik pribadi menjadi milik negara. Bila rejim baru ini melakukan hal ini, mana ini akan membangkitkan sebuah oposisi besar dari kaum tani.
Untuk apa tanah komunal dan lahan-lahan kecil milik pribadi diubah menjadi milik negara? Guna membuatnya tersedia untuk eksploitasi ekonomi yang ‘sama-rata’ oleh semua pemilik tanah, termasuk petani tanpa-tanah dan buruh tani. Oleh karena itu, rejim yang baru ini tidak akan meraih apapun secara ekonomi dengan menyita lahan-lahan kecil dan tanah komunal, karena, setelah distribusi-ulang, tanah-tanah negara atau publik ini akan diolah secara pribadi. Secara politik, rejim yang baru ini akan membuat sebuah kesalahan yang teramat besar, karena ini akan membuat massa tani melawan kaum proletar kota sebagai pemimpin kebijakan revolusioner.
Terlebih lagi, distribusi tanah yang sama rata mensyaratkan larangan hukum atas penggunaan tenaga kerja upahan. Penghapusan kerja-upahan dapat dan harus menjadi konsekuensi perubahan ekonomi, tetapi ini tidak dapat ditentukan oleh hukum. Tidaklah cukup untuk melarang pemilik tanah kapitalis menggunakan tenaga kerja upahan, pertama-tama kita perlu menjamin keberadaan buruh tani tanpa-tanah – dan sebuah keberadaan yang rasional dari sudut pandang ekonomi. Di bawah program persamaan penggunaan tanah, melarang penggunaan tenaga kerja upahan akan berarti, pada satu pihak memaksa buruh tani tanpa-tanah untuk mengolah lahan yang kecil, dan pada pihak yang lain mengharuskan pemerintahan untuk menyediakan mereka dengan stok-stok dan alat-alat yang dibutuhkan untuk produksi mereka yang tidak-rasional secara sosial.
Kita harus mengerti bahwa intervensi kaum proletar di dalam pengorganisiran pertanian akan dimulai bukan dengan mengikat para buruh tani yang tersebar pada lahan-lahan kecil yang tersebar, tetapi dengan eksploitasi lahan besar oleh negara atau komune-komune. Hanya setelah sosialisasi produksi telah mantap pijakannya maka proses sosialisasi selanjutnya dapat didorong, menuju pelarangan penggunaan tenaga kerja upahan. Ini akan membuat pertanian kapitalis kecil mustahil, tetapi akan tetap memberikan ruang bagi pertanian subsisten atau semi-subsisten, yang penyitaan secara paksanya bukanlah bagian dari rencana sosialis kaum proletar.
Bagaimanapun juga, kita tidak dapat melaksanakan sebuah program distribusi tanah yang sama-rata, yang pada satu pihak mengharuskan penyitaan formal – yang tidak ada gunanya – terhadap lahan-lahan kecil, dan pada pihak yang lain menuntut pemecahan pertanian-pertanian besar menjadi lahan-lahan kecil. Kebijakan ini, yang memboroskan dari sudut pandang ekonomi, hanya memiliki sebuah motif reaksioner-utopis yang tersembunyi, dan terutama akan melemahkan partai revolusioner.
-----------------
Tetapi, seberapa jauhkah kebijakan sosialis kelas buruh dapat diimplementasikan di dalam kondisi-kondisi ekonomi Rusia? Kita dapat katakan satu hal dengan penuh keyakinan – bahwa ini akan menemui halangan politik jauh lebih awal daripada ia akan menemui halangan keterbelakangan teknik bangsa ini. Tanpa dukungan negara yang langsung dari kaum proletar Eropa, kelas buruh Rusia tidak akan dapat bertahan dalam kekuasaan dan tidak akan dapat mengubah dominasi sementaranya menjadi sebuah kediktatoran sosialis yang kekal. Tidak ada keraguan sama sekali dalam hal ini. Dan juga tidak ada keraguan bahwa sebuah revolusi sosialis di Barat akan memungkinkan kita secara langsung mengubah dominasi sementara kelas buruh menjadi sebuah kediktatoran sosialis.
Pada 1904, Kautsky, yang berdiskusi mengenai prospek-prospek perkembangan sosial dan mempertimbangkan kemungkinan sebuah revolusi yang awal di Rusia, menulis: “Revolusi di Rusia tidak akan segera melahirkan sebuah rejim sosialis. Kondisi-kondisi ekonomi bangsa ini tidaklah matang untuk hal tersebut.” Tetapi Revolusi Rusia akan memberikan sebuah dorongan yang kuat kepada gerakan proletar di seluruh Eropa, dan sebagai konsekuensi dari perjuangan yang akan meledak, kaum proletar mungkin akan berkuasa di Jerman. “Hasil seperti ini,” lanjut Kautsky, “pasti akan mempengaruhi seluruh Eropa. Ini pasti akan menyebabkan dominasi politik kaum proletar di Eropa Barat dan menciptakan kemungkinan bagi kaum proletar Eropa Timur untuk memendekkan tahapan-tahapan dari perkembangan mereka dan, dengan mengkopi contoh dari Jerman, membentuk institusi-institusi sosialis secara artifisial. Masyarakat secara keseluruhan tidak dapat secara artifisial melompati tahapan-tahapan perkembangannya, tetapi adalah mungkin bagi bagian dari masyarakat ini untuk mempercepat perkembangan mereka yang terhambat dengan meniru negeri-negeri yang lebih maju, dan bahkan memimpin perkembangan ini karena mereka tidak terbebani oleh tradisi yang menyeret negeri-negeri yang lebih tua … ini dapat terjadi,” kata Kautsky, “tetapi seperti yang sudah kita katakan, prognosis ini bukanlah sebuah prognosis tak-terelakkan, namun hanyalah sebuah kemungkinan, jadi mungkin dapat terjadi dengan berbeda.”
Kalimat-kalimat ini ditulis oleh ahli teori Sosial-Demokrat Jerman pada saat dia mempertimbangkan pertanyaan apakah sebuah revolusi akan pecah pertama kali di Rusia atau di Barat. Di kemudian hari, kaum proletar Rusia menunjukkan kekuatan yang luar biasa, yang tidak diperkirakan oleh kaum Sosial-Demokrat Rusia bahkan di dalam mood mereka yang paling optimis. Arah revolusi Rusia telah ditentukan, sepanjang karakter fundamentalnya bersangkutan. Apa yang dikira mustahil dua atau tiga tahun yang lalu, telah menjadi mungkin, dan semua fakta menunjukkan bahwa ini hampir menjadi tak-terelakkan.