Eleanor Marx-Aveling
Karl Marx
(Beberapa Catatan Ringan)
Sumber : Erich Fromm, Konsep Manusia Menurut Marx, h. 328-38,
Penerbit : Pustaka Pelajar, September 2000
Versi Online : Situs Indo-Marxist--Situs Kaum Marxist Indonesia, September 2002
Marxists Internet Archive, Des. 2002
Teman-teman saya di Austria minta dikirimi beberapa kenang-kenangan menyangkut ayah saya. Dan mereka tidak dapat meminta sesuatu lainnya yang lebih sulit dari saya. Laki-laki dan perempuan Austria akan berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan sesuatu yang berkenaan dengan kehidupan dan karya Karl Marx, sehingga saya tidak bisa berkata "tidak" pada mereka. Dan saya akan berusaha untuk mengirimi mereka beberapa catatan yang tercecer dan terpotong-potong tentang ayah saya.
Banyak cerita aneh yang tersebar berkenaan dengan Karl Marx, mulai dari kekayaannya yang berjuta-juta (tentu dalam pundsterling) sampai dengan cerita tentang subsidi yang diberikan oleh Bismarck, dengan mengunjungi Berlin secara rutin selama The International masih hidup (!). Tetapi secara keseluruhan, bagi orang-orang yang mengenal Karl Marx, tidak ada legenda yang lebih lucu daripada cerita yang banyak dikenal yang menggambarkan dia sebagai seorang yang muram, tidak menyenangkan, keras hati dan tidak mudah didekati, seperti Jupiter Tonans, halilintar yang bergemuruh, yang tidak pernah tersenyum, duduk menyendiri di Olympus. Orang-orang yang mengetahui Karl Marx justru mengagumi bahwa dia adalah jiwa yang riang dan gembira, orang yang penuh humor, yang tawa hatinya selalu menggelitik dan memancing tawa orang lain, seorang teman yang ramah, ksatria dan simpatik.
Manakala melihat kehidupan kesehariannya, seperti juga ketika berhubungan dengan teman-temannya dan bahkan dengan kenalan-kenalannya, saya kira orang akan berkomentar bahwa sifat utama Karl Marx terletak pada rasa humornya yang tinggi dan simpatinya yang tiada batas. Keramahan dan kesabarannya benar-benar mulia. Orang yang kurang baik seringkali dibuat takut oleh gangguan dan tuntutan yang selalu datang dari berbagai tipe orang, dan Marx tidaklah demikian. Seorang pengungsi Komune -orang tua yang sangat membosankan-yang bersama Marx selama tiga jam, ketika akhirnya diberitahu oleh Marx bahwa dirinya tidak punya waktu lagi karena masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, menjawab "Mon cher Marx, je vous excuse", adalah sifat hormat dam keramahan Marx.
Seperti bagi orang tua tersebut, bagi siapa saja, laki-laki maupun perempuan, yang dipercaya Marx (dan dia memberikan waktunya yang berharga untuk memperhatikan tidak sedikit orang yang justru benar-benar menyalahgunakan kebaikan hatinya), Marx slalu menjadi orang yang sangat bersahabat dan ramah. Kemampuannya untuk menarik perhatian orang dan membuat orang merasa bahwa dia Marx tertarik dengan apa yang menjadi ketertarikan orang-orang, sangatlah mengagumkan. Saya telah mendengar orang-orang yang memiliki beragam jabatan dan kedudukan membicarakan kemampuan khusus Marx dalam memahami mereka beserta masalahnya. Ketika dia memikirkan sesuatu secara sungguh-sungguh, kesabarannya luar biasa. Tidak ada pertanyaan yang dianggap remeh untuk dijawabnya, tidak ada argumentasi yang kekanak-kanakan ketika berdiskusi secara serius. Waktu dan ketekunan belajarnya selalu ditujukan untuk menlayani laki-laki maupun perempuan yang ingin belajar.
* * *
Ketika bercengkrama dengan anak-anak, mungkin Marx-lah orang yang paling luwes. Anak-anaknya memang tidak pernah mempunyai seorang teman bermain yang lebih menyenangkan. Kenangan pertama dengan ayah saya adalah ketika saya berusia sekitar tiga tahun, dan "Mohr" (julukan di rumah untuk Marx) memanggul saya di pundaknya mengelilingi kebun kevcil kami di Grafton Terrace, dan menyuntingkan bunga di rambut keriting saya yang coklat. Mohr adalah "seekor kuda" yang sangat menyenangkan. Pada awalnya, saya tidak ingat dengan kenangan-kenangan tersebut, namun saudara-saudara saya menceritakannya (dua kakak perempuan dan dan seorang adik kecil saya, yang kematiannya membuat kedua orang tua saya lama bersedih), anak-anak akan menjadikan Mohr sebagai kuda yan kami naiki, dan dia harus "menarik bebannya" ......Secara pribadi -mungkin karena saya tidak memiliki saudara perempuan yang hampir seusia-saya menyukai Mohr ketika menjadi kuda-kudaan. Dengan duduk di pundaknya, memegangi rambutnya yang lebat, hitam dan beberapa yang sudah menguban, saya puas "mengendarainya" berkeliling kebun kecil kami dan mengitari lapangan -kini di atasnya telah didirikan bangunan-yang melingkari rumah kami di Grafton Terrace.
Satu kata untuk menjulukinya "Mohr". Di rumah kami, semua memiliki nama panggilan. (Para pembaca Capital akan mengetahui bagaimana Marx memberikan nama-nama panggilan itu). "Mohr" nama setengah resmi Marx, bukan hanya kami yang memanggilnya demikian tetapi semua teman dekat Marx. Dia juga dipanggil "Challey" (awalnya "Charley") dan "Nick Tua". Ibu saya selalu dipanggil dengan sebutan "Mohme". Sahabat tua kami Helene Demuth -sahabat seumur hidup kedua orang tua kami-setelah berganti-ganti nama panggilan, akhirnya kami memanggilnya "Nym". Engels setelah tahun 1870, menjadi "Jenderal" kami. Seorang teman yang sangat dekat -Lina Sholer -kami panggil "Mole Tua". Saudara saya Jenny juga dipanggil "Qiu Qui, Kaisar Cina" dan "Di". Saudara saya lainnya, Laura (Madame Lafargue), dipanggil "the Hottentot" dan "Kakadou". Saya dipanggil "Tussy" -sebuah nama yang masih terus dipakai-dan Quo Qquo, Penerus Kaisar Cina", dan juga lama dipanggil dengan sebutan "Getwerg Alberich" (dari Niebelengun Lied).
Mohr menjadi seekor kuda yang sempurna karena mempunyai kualifikasi tersendiri. Dia adalah seorang tukang cerita yang unik dan tak tertandingi. Saya mendengar bibi-bibi saya berkata bahwa ketika masih anak-anak, Marx adalah seorang tiran yang bengis bagi saudara-saudara perempuannya; dia akan menunggangi Markusberg sebagai kudanya dengan sepenuh kecepatan di Trier, dan parahnya Marx akan memberinya kue yang diadoni dengan tangannya yang kotor. Tetapi "kuda-kuda" itu akan berpacu dan makan kue tanpa protes, karena dianggapnya sebagai imbalan yang diberikan Karl. Bertahun-tahun kemudian Marx suka menganrang cerita-cerita untuk anak-anaknya. Ayah menceritakannya kepada saudara-saudara saya -saya masih terlalu kecil waktu itu-ketika mengadakan perjalanan, dan ceita-cerita ini mengalir bermil-mil sepanjang perjalananan tanpa dibagi menjadi bab-bab. "Ceritakan lagi yang lainnya!" selalu menjadi rengekan dua orang gadis. Satu cerita yang paling menarik dan menyenangkan di antara banyak cerita yang dikisahkan Mohr adalah "Hans Rockle". Cerita ini dikisahkan selama berbulan-bulan secara berseri. Sangat menakjubkan orang yang telah merangkai cerita iniyang dipenuhi dengan puisi, kecedikan dan humor! Hans Rockle sendiri adalah seorang pesulap mirip Hoffmann, yang menjadi penjaga sebuah toko mainan, dan keberadaannya selalu susah dicari. Tokonya penuh dengan mainan yang sangat menarik, seperti orang-orangan, laki-laki dan perempuan, dari kayu, raksasa dan orang kerdil, raja dan ratu, pekerja dan majikan, binatang dan burung sebanyak binantang-binatang Nabi Nuh yang naik ke kapalnya, berbagai jenis dan ukuran meja dan kursi, kereta, serta kotak. Meskipun dia seorang pesulap, Hans tidak tidak pernah memenuhi keinginan setan atau penyembelih hewan, dan oleh karenanya harus menjual mainan-mainannya kepada setan, perbuatan ini sangat dibenci orang. Cerita ini berkembang secara mengasyikkan dan selalu berakhir di toko Hans Rockle. Beberapa bagiannya mengerikan dan menyeramkan; beberapa lainnya menggembirakan; semua diceritakan dengan semangat yang tak pernah kering, cerdas dan jenaka.
Mohr juga akan membacakan buku kepada anak-anaknya. Untuk saya, juga untuk kakak-kakak saya sebelumnya, dia membacakan seluruh buku Homer, Nielbelungen Lied, Gudrun, Don Quixote, Arabian Nights, dan sebagainya. Karya-karya Shakespeare menjadi Bibel di keluarga kami, jarang terlepas dari tangan dan mulut kami. Sebelum saya berusia enam tahun saya hafal drama-drama Shakespeare di luar kepala.
Pada hari ulang tahun ke enam saya, Mohr menghadiahkan sebuah novel pertama, Peter Simple. Kemudian saya juga diberi novel karya Marryat dan Cooper. Dan ayah membaca setiap novel yang saya baca, kemudian mendiskusikannya dengan saya. Ketika saya, karena terinspirasi oleh kisah laut Marryat, bercita-cita menjadi seorang "Post-Captain" (apapun itu) dan meminta saran ayah apakah saya boleh berdandan seperti anak laki-laki dan menjadi seorang tentara perang, ayah mengijinkannya, apapun yagn menurut ayah baik untuk dilakukan. Kami, saya dan ayah, tidak akan menceritakan rencana ini sampai semua persiapnnya matang. Sebelum rencana ini dimatangkan, namun demikian, Scott mania telah muncul, dan saya mendengar cerita horornya seolah-olah saya sendiri menjadi anggota suku Campbell yagn menjijikkan. Alur ceritanya dimulai di Highlands, dan saya bertahan di sana selama 45 tahun. Perlu saya katakan bahwa Scott adalah seorang pengarang yang bukunya seringkali dibaca dan dibaca lagi oleh ayah, yang dikagumi dan diketahuinya secara baik sebagaimana Balzac dan Fielding. Ketika berbicara tentang buku-buku mereka dan buku-buku lainnya lainnya, ayah, meski tanpa saya sadari, akan menunjukkan mana buku-buku terbaik, mengajarkan tanpa merasa diajari sampai saya merasa bosan berpikir dan memahaminya.
Dengan cara yang sama, orang yagn "pahit" dan "sakit hati" ini akan berbicara tentang politik dan agama pada saya. Saya ingat betul ketika saya mungkin berusia lima atau enam tahun merasakan kecemasan religius tertentu dan (kami sudah pernah datang ke Gereja Katolik Roma untuk mendengarkan musik yang indah); saya menceritakan semua ini kepada Mohr dan dia menjelaskannya secara gamblang dan langsung, sehingga sejak itu kecemasan ini tidak menganggu pikiran saya lagi. Saya juga teringat ketika dia mengisahkan sebuah cerita, yang sebelum dan sesudahnya tidak pernah dikisahkan, tentang seorang tukang kayu yang dibunuh oleh orang-orang kaya. Berkali-kali ayah mengatakan, "Di atas semua itu kami benar-benar dapat memaklumi agama Kristen, karena agama ini mengajarkan kepada kita untuk menghargai anak".
Marx sendiri pernah berkata "Berikan anak-anak pada saya," karena kemanapun dia pergi anak-anak itu akan mengikutinya. Ketika dia duduk pada sebuah kursi di salah satu kebun di Heath at Hampstead -sebuah tempat yang luas dan terbuka di sebelah utara kota London, dekat rumah tua kami-sekelompok anak akan segera mengelilingi dan memanggilnya dengan sebutan yang sangat ramah dan akrab "orang besar dengan rambut dan jambang yang panjang, serta mata coklat yang bagus". Anak-anak entah siapa, akan mendatanginya ketika Marx sedang jalan-jalan, dan memintanya berhenti.... Suatu ketika, saya ingat, seorang anak sekolah kecil yang berumur sekitar sepuluh tahun tanpa sungkan menghadang pemimpin The International yang "menakutkan" ini di Maitland Park dan memintanya bertukar pisau. Setelah anak itu sedikit menjelaskan apa maksudnya menukar pisau, terjadilah peristiwa ini. Pisau anak itu hanya bermata satu, sedangkan pisau Marx bermata dua, tetapi keduanya tumpul. Setelah tawar-menawar secara panjang lebar, bertukarlah pisau kedua orang ini, dan karena pisau pemimpin The International itu tumpul maka dia menambhkan satu sen dollar kepada anak kecil tadi.
Saya juga ingat, kesabaran dan kebaikannya yang luar biasa ketika perang Amerika dan Blue Books telah mengusir Marryat dan Scott, dia menjawab setiap pertanyaan dan tidak pernah mengeluhkan gangguan yang menimpanya. Dia tidak merasa terganggu karena seorang anak kecil mengajaknya mengobrol ketika dia sedang menyelesaikan buku besarnya. Anak itu tidak pernah diberi kesempatan untuk berpikir bahwa dirinya sedang berbicara dengan orang yang sibuk. Saya juga ingat pada suatu ketika saat itu saya sangat yakin bahwa Abraham Lincoln betul-betul membutuhkan nasehat saya berkenaan dengan perangnya, dan saya menulis beberapa surat panjang kepadanya, kemudian Mohr membaca dan mengeposkannya. Bertahun-tahun kemudian dia menunjukkan kepada saya surat-surat itu yang ternyata tidak dikirimkannya, namun malah disimpan karena surat-surat itu menggelikannya.
Sepanjang masa kanak-kanak kami, Mohr adalah seorang teman yang sangat ideal. Di rumah, kami semua adalah teman, dan dia selalu menjadi seorang yang sangat humoris. Bahkan ketika bertahun-tahun dia menderita radang bisul sampai akhir hayatnya, humor-humor Mohr tidak pernah lekang.......
* * *
Saya telah menuliskan sedikit kenangan yang terpotong-potong ini, tetapi tidak akan lengkap jika saya tidak menambahkan sepatah kata tentang ibu saya. Tidaklah berlebihan mengatakan bahwa Karl Marx tidak akan pernah menjadi seperti yang banyak dikagumi orang jika tidak ada peran Jenny von Westphalen. Kehidupan dua orang hebat ini tidaklah satu, tetapi saling melengkapi. Kecantikan ibu saya menyenangkan ayah yang memujinya sampai akhir hayat dan menimbulkan kekaguman bagi orang-orang seperti Heine, Herwegh dan Lassalle; kecantikan dan kecerdasannya sama-sama brilian. Jenny von Westphalen adalah seorang dengan sejuta pesona. Ketika Jenny dan Karl masih kecil, mereka bermain bersama; mereka bertunangan ketika Karl berusia tujuh belas dan Jenny dua puluh satu tahun, dan sebagaimana Jacob dan Rachel, mereka menunggu tujuh tahun sebelum akhirnya melangsungkan pernikahan. Kemudian sepanjang kebersamaannya, mereka berdua ditemani oleh Helena Demuth yagn setia dan terpercaya mengarungi dunia yang sarat dengan badai dan tekanan, pengusiran, kemiskinan yang getir, fitnah, perjuangan yang keras dan dahsyat; mereka tidak pernah mengelak maupun tenggelam walaupun didera tugas berat dan bahaya. Kehidupan mereka benar-benar seprti kata Browning:
Oleh karena dia selamanya adalah pasangan saya,
Kesempatan tidak pernah mengubah cinta saya
Waktu pun tidak bisa memisahkan kamiDan kadang-kadang saya berpikir bahwa ikatan di antara mereka yang sama kuatnya dengan komitmen mereka pada kaum pekerja adalah rasa humor mereka yang tinggi. Tidak pernah ada orang yang menikmati humor seperti mereka berdua. Lagi dan lagi, khususnya ketika mereka sedang sama-sama rileks dan tenang, saya melihat mereka tertawa sampai air matanya berlelehan ke pipi, dan bahkn orang-orang yang bersedih ketika bersamanya tidak ada pilihan lain kecuali tertawa. Saya seringkali melihat mereka tidak berani saling menatap karena satu lirikan saja bisa menebar tawa yang panjang. Kalau saya amati mereka seperti dua anak sekolah yang selalu tertawa, sehingga menjadi kenangan indah saya yang tidak bisa ditukar dengan lainnya dan mungkin sifat itu menurun pada saya. Ya, saya berkhayal di sela-sela penderitaan, perjuangan dan kekecewaan, mereka adalah pasangan yang bahagia laiknya Jupiter Tonans. Jika mereka sedang dihinggapi kekecewaan, jika mereka diliputi rasa tidak enak, mereka tetap memiliki dua sahabat sejati, yaitu Engels dan Helene Demuth. Di mana nama Marx dikenal, di situ juga dikenal nama Frederick Engels. Selain itu, orang-orang yang mengetahui Marx di rumahnya juga akan teringat dengan nama seorang perempuan yang mulia, Helene Demuth.
Bagi para mahasiswa yang mempelajari watak manusia, akan terlihat aneh pada orang ini, yagn seperti pejuang, karena sangat ramah sekaligus ksatria. Mereka akan memahami bahwa dia bisa sangat membenci sesuatu hanya karena dia sangat mencintainya; bahwa jika penanya yang tajam dapat memnejarakan sebuah jiwa sebagaimana Dante sendiri, karena dia sangat ramah dan tidak lekas marah; bahwa humornya yang sarkartis dpat melukai seperti asam yang korosif, dan sekaligus humor sedemikian dapat menjadi balsem bagi mereka yang sedang dilanda kesusahan dan penderitaan.
Ibu saya meninggal pada bulan Desember 1881. Lima belas bulan kemudian ayah saya yang tidak pernah bisa terpisah dengannya juga bersatu dengan ibu dalam kematian. Setelah diserang demam dan kegelisahan, ayah tidur untuk selamanya. Jika ibu adalah seorang perempuan ideal, maka ayah juga, "Dia seorang manusia, manfaatkanlah keseluruhan dirinya untuk semua, kita tidak akan melihat manusia seperti dia lagi".(end)